Di sini. Leo sudah sampai ke tempat tujuannya. Sekolahnya tercinta, SMA Buana. Tidak memerlukan waktu lama untuknya karena jalanan sudah tidak seramai ketika dia berangkat seperti hari-hari biasa.Cowok yang masih duduk di atas motornya itu baru saja melepas helm full face berwarna hitam miliknya. Karena sebuah telepon yang tiba-tiba berdering dari salah satu sahabatnya, Candra, akhirnya Leo berhasil mengurungkan niatnya untuk tidak masuk sekolah hari ini.
Di tempat parkir ini masih ada beberapa siswa yang baru datang setelahnya. Leo tidak heran, karena hari ini tidak jam pembelajaran yang kondusif. Jadi tidak ada masalah kalau harus datang lebih siang dari jam masuk biasanya.
Sekarang sekitar pukul delapan. Lapangan basket outdoor mulai ramai anak-anak keanggotaan OSIS yang bertugas memimpin jalannya acara class meeting. Leo berjalan menyusuri koridor yang tidak bisa dikatakan sesepi biasanya, membawa tubuhnya untuk sampai ke kelasnya yang berada di lantai dua. Tepat sebelum dia masuk, kedua manusia ini terlihat antusias menyambut kedatangannya.
“Gitu dong, sekolah! Minimal ada yang bayarin jatah makan gue hari ini.”
“Dasar tukang nyari gratisan!”
Kalau bukan bujukan Candra yang seakan tidak bisa membuatnya menolak, Leo mungkin tidak berada disini. Pasalnya, masih ada sesuatu yang seharusnya sedang dia tangani.
Manusia yang selalu mengakui dirinya paling tampan di antara kedua temannya itu merangkul bahu Leo. Mendapatkan tatapan tidak suka dari Leo tidak berpengaruh sama sekali untuk Candra. Bahkan dia baru sadar ketika Leo menurunkan lengannya dari bahu. Leo paling tidak suka jika ada seseorang yang merangkul bahunya seperti apa yang Candra tadi lakukan padanya.
“Kenapa?”
Sial, kenapa tatapan itu tiba-tiba tertuju kepada seseorang disana?
Leo mengalihkan pandangannya saat Riski mendapatinya. Dalam hati terus merutuki apa yang dilakukannya adalah sebuah kekhilafan. “Kalo mau nyapa, nyapa aja. Kasian doi udah kangen pake banget.”
Namun, Leo tentu tidak akan melakukan hal yang dikatakan Riski. Egonya masih terlalu tinggi untuk terkalahkan. Cowok itu memilih untuk berjalan keluar dengan diikuti Candra dan Riski. Setidaknya cara yang paling aman sekarang adalah pergi.
***
Instingnya mengatakan kalau ada sepasang mata yang menangkap keseluruhan dari apa yang dirinya kerjakan. Helene sempat melihat seseorang yang berjalan keluar dari ambang pintu. Namun, beberapa siswa yang berjalan masuk ke kelas membuat Helene harus kembali menyibak penglihatan.
Helene yakin kalau instingnya kali ini tidak salah. Helene sudah terlalu hafal dengan tatapan yang sudah ribuan kali menyorotnya. Hingga lelucon dari kelima temannya yang duduk berkumpul mengelilingi mejanya sudah tidak diindahkan lagi. Helene segera menyambar ponselnya yang digunakan live oleh Vega.
“Len, ada yang nanya nih, ‘Kak Helene-nya ma—“
Tanpa berkata banyak Helene menutup live yang sudah ditonton ribuan pengikutnya. “Lo kenapa?”
Helene membuka WhatsApp-nya, mencari sebuah kontak bernama Candra. Cowok slengean itu pasti tahu jawaban yang sedang dia cari benarnya.
“Lo kenapa sih, Len? Ganggu gue lagi live aja.”
“Lo juga sih, Ga, live minjem HP orang, ya gitu.”
“Ada yang lebih penting daripada kegiatan lo yang cuma buang-buang kuota.”
“Situ kan tajir, kuota buat sekali live nggak bakal keliatan kalo berkurang.”
Beberapa detik setelah pesannya terkirim, sebuah pesan muncul tepat di bawah pesan sebelumnya. Memang tidak salah dan juga bukan halusinasi kalau yang dilihatnya tadi adalah Leo. Dari jarak jauh pun Helene sudah bisa merasakan kehadiran Leo.
Yang bisa dilakukannya sekarang adalah bersyukur, karena cowok itu sudah kembali. Setidaknya itu yang diharapkannya, meski tidak dengan sifatnya yang dulu.
Gue harap lo udah bisa maafin gue dengan waktu selama ini.
***
Kata maaf yang Helene ucapkan sudah berkali-kali ditolak. Dengan cara seperti apapun itu tetap saja tidak ada respon positif yang diterima. Semakin lama, perasaan bersalah itu makin merayap masuk ke dalam sela-sela kehidupannya. Helene hanya bisa tersenyum kecut mengingat kejadian yang selalu berakhir sesal itu. Dia sudah membahas sesuatu yang pasti akan Leo tolak mentah-mentah untuk didengarkan.
Dan itu yang membuat sebuah ikatan tanpa nama itu renggang. Seperti kehilangan perekat untuk bisa dekat. Semua yang diungkapkan dari mulutnya hanya dianggap sebagai omong kosong yang mencoba benar. Dan sekarang yang menjadi tanggung jawab atas keprofesionalannya dengan sebuah janji adalah menepati.
Helene memang tidak pernah berkata yang sebenarnya dengan Mamanya Leo. Belum sempat berucap sebuah kesimpulan lain yang bukan fakta itu tiba-tiba merebak masuk. Hingga sampai pada kenyataan bahwa dirinya yang mengatakan langsung kepada Bunga atas persetujuannya.
Duduk diam di dalam taksi adalah keputusan terakhir untuk kembali mencoba. Mendengar ucapan Vega dari telepon rasanya seperti medapatkan sebuah keajaiban. Helene sekarang hanya perlu Tuhan melihat apa yang sebenarnya ingin dia luruskan.
Sopir taksi tadi sudah mengantarkannya ke tempat tujuan. Tidak pernah melupakan untuk berterima kasih, Helene kini sudah diperkenankan untuk menginjakkan kakinya di depan pintu besar ini. Hatinya tidak bisa berhenti berdoa agar apa yang menjadi harapannya menjadi nyata.
Cewek yang mengenakan kaos berbalut jaket denim crop berwarna putih yang serasi dengan rok tutu warna abu-abu sudah mantap ketika berhasil menekan bel yang tersedia. Butuh waktu sepersekian detik, Helene akhirnya bisa melihat langsung Leo dari kedua matanya. Cowok berambut hitam itu yang membukakan pintu untuknya.
Tidak bisa senang begitu saja, Helene dengan cepat mencegah pintu itu untuk kembali tertutup. Lumayan sakit karena sikunya sempat membentur permukaan pintu sedikit keras. Leo menatapnya dingin. Namun, rasa sakit yang sempat dirasakannya mendadak lenyap seketika.
“Tunggu!”
“Lo harus dengerin gue!”
Tujuan utamanya hampir saja terlupakan. Sebelum itu menjadi kenyataan akhirnya Helene angkat bicara mengenai masalahnya. “Gue mau semua ini clear. Gue udah capek dengan sikap lo yang gini.”
“Kalo lo capek, lo bisa pulang sekarang!”
Terlalu tenang nada kalimat yang Leo ucapkan. Seakan makin membuat Helene menyerah sebelum bertarung.
“Leo, tunggu, gue belum selesai.”
***
Aku udah selesai ujian huhuhu😚
Jadi, alasan kenapa menghilang itu ya karena itu😁
Oke, selamat membaca teman-teman! Semoga puasa hari ini tetap lancar💙💙💙3 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021