Re-frain 16 | Selasa

16 3 0
                                    

Di hari kedua ini Helene sudah berhasil menekan kesabarannya untuk bertahan pada tutornya, Leo. Cowok yang bisa tiba-tiba kasar karena dia yang tidak mendengarkan penjelasan cowok itu. Helene rasa cowok itu bisa dengan mudah membalaskan dendamnya selama ini semenjak ada acara les semacam ini.

“Hafalin rumusnya sekarang! Gue selesai mandi, lo udah selesai.”

Helene berdecak. “Lo mandi sepuluh menit udah kelar, gue butuh waktu lebih buat hafalin ini.”

Yang ditatap justru beralih menjauh. Mengabaikan pandangan Helene yang mengikutinya hingga masuk ke dalam kamar. “Nggak mau tau.”

“Rese banget, maksa pula.” Gerutunya. Kemudian mulai mencoba menghapal rumus dalam buku itu.

Dalam waktu yang singkat, otaknya harus berfungsi sekarang. Beberapa rumus yang sudah melambainya itu harus masuk ke dalam ingatannya. Kalau tidak nanti nyawanya yang akan terancam.

Helene berhenti merapalkan rumus seketika melihat Leo yang sudah kembali. Bukan karena dia belum hapal, namun karena Leo dapat membungkam dirinya. Helene merasa kalau sisi lain dalam dirinya terkoyak. Hingga semula mulut yang sering berkata buruk mengenai cowok itu kini diam seribu bahasa.

Mulutnya seperti dikunci oleh kedatangan Leo. Bahkan kelopak mata yang selalu ingin berkedip itu belum juga bergerak ke bawah. Udara segar di ruangan ini rasanya semakin hilang kala cowok dengan kaos hitam dan celana selutut itu berjalan mendekat.

Helene segera tersadar dan langsung memalingkan wajahnya. Mencoba menutupi kegugupannya dengan memainkan pulpen pada tangannya. Ia harus cepat membuang pikiran mengenai Leo.

Helene, ingat, nggak boleh. Dia Leo. Ingat, Len!

“Apa? Kenapa liat-liat?” Helene terpelonjak mendengar suara itu.

Mengapa suasananya semakin mengancam? Kalau sampai ada salah yang dibuat oleh kecerobohannya, bisa berakibat fatal pada reputasinya. Sebisa mungkin Helene harus kuat iman untuk memperteguh ketidaksukaannya terhadap Leo.

“Idih.” Helene membuang muka selang beberapa waktu kembali melihat ke arah Leo. “Enggak, gue nggak liat. Lo kali yang merasa.” Sangkal Helene menindak lanjuti ucapannya.

***

Malam hampir menunjukkan setengah waktunya. Sedangkan cewek—yang sedang merebahkan tubuhnya dengan posisi kaki yang bertumpu pada sandaran tempat tidur—belum juga mengakhiri sambungan teleponnya. Padahal besok bukanlah hari libur.

Helene tidak peduli akan waktu tidurnya yang sudah berkurang. Hitung-hitung ini balasan untuk melepas rindu dengan kekasihnya yang akhir-akhir ini jarang bertatap muka. Kalau sampai ada yang tahu, pasti ponselnya akan langsung dianiaya di depan matanya.

“Len?”

Helene mengubah posisinya duduk. “Iya?”

Terdengar dari telinganya jika Virgo menarik napas dalam sebelum akhirnya berbicara. “Aku harus balik ke London.”

Seperti baru dihantam kuat kebohongan, Helene sempat diam beberapa detik. Menerawang hari-harinya ke belakang yang teramat singkat bersama Virgo.

“Kapan?”

“Tiga hari lagi.”

“Kok baru ngomong sekarang?”

Terdengar mungkin nadanya bicara kecewa, tapi Helene juga tidak bisa mencegah atau melakukan apapun untuk membuat Virgo tetap bersamanya. Itu bukan wewenangnya.

“Aku juga mendadak, sayang.”

“Jangan sedih, ya.” Helene diam. Mencoba mengangguk lemah meskipun itu sangat sulit.

Gimana nggak sedih coba? Waktunya bentar kayak mimpi.

“Besok kita ketemu ya?”

Setelah membiarkan Helene bersedih hati mendengar kabar kepulangannya ke London, Virgo kembali membuat Helene harus berpikir dua kali untuk mengiyakan atau menolak. “Pengen, tapi....”

“Tapi kenapa?” tanya Virgo mencoba memastikan sesuatu yang dihadapi pacarnya. Namun, Helene masih diam seolah enggan menjawab meski sudah dilempar tanya penasaran.

Takut ketahuan Papa.

“Bisa ya?” ajaknya lagi.

Helene tahu kalau Virgo tidak ingin kehilangan kembali waktu berharga bersamanya. Tapi ini seperti waktu pertama kali Virgo berpamit kepadanya untuk pindah ke London. Bedanya dulu Helene akan menghabiskan tiga hari setelahnya dengan menangis.

“Oke. Aku bisa.” Putusnya kemudian. Semoga keadaan mendukungnya untuk kali ini saja. Hatinya perlu Virgo untuk beberapa waktu sebelum ditinggal.

***

“Kenapa lo ngelamun mulu?”

“Lo kesambet ya?”

Helene menggerakkan kepalanya untuk menoleh secara perlahan. Kemudian menatap Tania dengan tatapan horor. Manusia yang satu ini telah menghancurkan lamunannya. “Lo kerasukan?”

“Enak aja kalo ngomong!” Sergah Helene sambil memukul bahu Tania.

“Gue sedih.” Ucapnya jujur

Helene rasa kalau dia berbicara jujur akan sedikit mengurangi beban pikirannya. Tetapi, langkah yang diambilnya justru bukan yang tepat. Karena sudah berbicara jujur di depan Tania yang notabene-nya suka membocorkan rahasianya.

Tania menoleh sekilas. “Sedih? Tumben bisa sedih?” tanya tidak percaya.

Mengabaikan tanya yang Tania lontarkan, Helene kembali melanjutkan ucapannya. “Virgo mau balik ke London.”

“Itu ide yang bagus, berarti nggak ada yang bakal ngerusak otak lo. Dengan itu kan nilai lo setidaknya terangkat dari kubangan.”

Tania tertawa setelah selesai berucap. Sedikit tersisip nada ejekan di dalam perkataannya tadi. “Ngomong apaan sih lo?”

“Ngomong fakta, kalo kemarin cowok lo itu jalan sama cewek lain.”

Tania berubah serius. Meski dirinya tahu kalau adiknya sudah menatapnya dengan tatapan tidak percaya. Helene seakan meminta pertanggung jawabannya atas kalimat fakta yang dikatakannya.

“Jangan fitnah dong!”

“Mana mungkin Virgo ngelakuin itu?” Helene bertanya pada dirinya, meyakinkan hatinya kalau jawabannya adalah ‘tidak mungkin’.

“Mungkin aja, lo aja sibuk sama diri lo, ya otomatis cowok lo pasti butuh orang lain, maksudnya butuh orang yang nggak sibuk sama dunianya.”

“Nggak mungkin! Virgo nggak gitu. Udah deh, jangan bikin gue emosi sepagi ini.”

***

Selamat membaca 💙

1 September 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang