“Len!”
“Udah, sayang!” Wanita itu memeluknya. Berusaha menenangkan tangisan Helene.
Setelah mengetahui semuanya, tentu saja Rosa ikut syok. Pasalnya, dalam dua tahun lebih anaknya berpacaran dengan Virgo tidak ada masalah yang serius di antara keduanya.
Terlihat salah jika membiarkan putrinya terus terpuruk di dalam kesedihan. Rosa tidak diam saja melihat Helene yang seperti ini, dia bahkan yang paling emosional ketika Helene mulai menangis. Hatinya merasa bersalah sudah membiarkan Helene memiliki hubungan dengan cowok itu.
Dari awal, dia sempat memperlihatkan ketidaksukaannya terhadap pacar anaknya yang bernama Virgo itu. Namun, perkataan Helene yang terus membujuknya telah membiarkan keduanya memiliki hubungan kemudian. Mungkin ini hal wajar perihal hati, namun tidak bisa dikatakan demikian bagi putrinya yang selalu sulit mengatasi kekecewaan.
“Kamu harus istirahat, ini udah malam, Nak.” Rayu Rosa lagi. Sebentar dia melepas pelukannya, menatap mata yang sembab karena air mata yang terus menetes tanpa ampun.
Helene menggeleng lemah. “Enggak bisa, Ma.”
Rosa berusaha membangkitkan senyumnya. Menghapus genangan air mata yang tersisa di wajah Helene. “Jangan dipikirin lagi ya, lupain!”
“Jangan nyiksa diri kamu.”
“Istirahat ya.”
Setelah merasa lebih tenang, Helene kemudian mengangguk. Tangisnya mulai mereda dan emosinya sudah perlahan menyurut. Helene menyetujui perintah Mamanya untuk segera istirahat. Senggukan kecil yang masih terdengar membuat Rosa seakan enggan meninggalkannya.
***
Helene masih menunjukkan sikap yang sama hingga saat ini. Ingatannya masih berputar pada kejadian tidak menyenangkan yang melibatkan hatinya. Bahkan jika terbayang sedikit saja itu berhasil mengundang air matanya untuk menetes kembali.
Perasaannya terkoyak. Orang yang tidak pernah terbesit di otaknya untuk melukainya justru melakukan yang sebaliknya. Mungkin dirinya yang terlalu bodoh dengan mudah percaya dengan orang. Atau memang hatinya yang terlalu dibutakan oleh rasa cintanya yang membuat Virgo seakan tidak pernah terlihat buruk di matanya.
Matanya yang sembab seakan menambah kekacauan yang terlihat pada dirinya. Helene hanya diam di kamarnya. Tidak mau melakukan apa-apa. Mamanya sengaja membuat surat untuknya yang tidak bisa mengikuti pembelajaran hari ini karena kondisinya yang tidak memungkinkan.
Helene masih terus diam setelah Rosa membuka pintu hingga bahkan sudah duduk di depannya. “Ada temen kamu datang.” Ucapnya kemudian membiarkan seseorang itu masuk.
“Len!”
Helene menatapnya biasa. Seakan tidak sedang terjadi apa-apa padanya. Helene tahu, mau sekeras apa pun dia menutupi, tapi Vega tahu jika dirinya sedang tidak baik saat ini. “Lo kenapa?”
“Nggak papa, cuma sakit biasa entar juga sembuh.” Ujarnya sepele.
Cewek yang duduk bersandar itu membiarkan Vega naik ke tempat tidurnya, duduk di atas kasurnya. Karena itu yang biasa Vega lakukan ketika di kamarnya. Sampai saat Vega memulai pembicaraan, Helene masih diam seolah tidak ingin mengatakan apa pun kepadanya.
“Gue kesininya sama anak-anak. Mereka ada di luar.”
“Anak-anak ya, Candra, Riski sama Leo.” Lanjutnya memperjelas. Helene tidak terkejut, toh, Leo juga sudah tahu kondisinya paling awal.
“Gue tadi tanya ke Leo, dianya bilang nggak tau. Ya udah gue pulang sekolah mampir. Eh, mereka ngikut, setengahnya gue ajak juga, sih.”
Sedangkan di ruang tamu, ketiga manusia itu sejak tadi disambut hangat oleh seorang wanita yang mengenakan baju ala rumahannya. Rosa datang dari dapur dengan membawa sebuah nampan untuk mereka. Setelah mengucap terima kasih, ia kemudian membuka suara.
“Leo, kalau kamu mau lihat keadaannya Helene, kamu boleh lihat nggak papa, Tante izinin.” Ujarnya sambil sedikit menampilkan senyum. Senyum yang sama seperti yang biasanya terbit di wajah cantik Helene.
Leo mengangguk sopan, namun kedua temannya itu justru lancang berucap. “Leo doang, Tan?”
“Ya, kalian boleh juga.”
Leo langsung menahan Candra dan Riski yang akan berdiri. Menatap keduanya bergantian dengan tatapan dingin. “Nggak usah.”
Dan seketika raut senang yang tadinya ada di antara keduanya hilang. Candra yang sudah setengah berdiri kembali duduk dengan agak malas. Mengetahui maksud tujuan Leo yang menyuruhnya untuk tetap pada tempat semula.
***
“Lo dicariin Helene.” Ucap Vega yang sudah berdiri di depan ketiganya. Dia baru saja turun dari kamar Helene.
“Lo berdua mau kemana?”
Bukan hanya Leo yang berdiri dan berjalan menuju ke arah tangga, namun kedua pengawalnya yang setia itu juga mengikutinya. “Ikut Leo lah,” sahut Candra.
Vega langsung menarik Riski dan Candra untuk tidak ikut Leo ke atas, sebab bukan mereka juga yang dipanggil Helene untuk menemui cewek itu. “Ngapain? Balik sama gue! Mereka punya urusan rumah tangga, jangan diganggu.”
Setelah memutuskan untuk masuk ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu, pandangannya seketika beradu pada sebuah mata lain yang menangkap kehadirannya. Leo menatap mata Helene yang terlihat tidak lebih baik dari kemarin. Bahkan dapat dirinya jamin kalau itu lebih buruk keadannya.
Helene menyuruhnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Sebelum akhirnya duduk, pandangannya sempat menyapu keseluruhan isi kamar cewek ini. Baru pertama kali ini Leo masuk ke kamar Helene, dan itu atas permintaan Helene sendiri.
Lemari besar di sisi kanan tempat tidur yang dilengkapi dengan salah satu kaca di pintunya. Juga meja belajar yang menyuguhkan beberapa buku di atasnya. Ada satu yang menarik perhatiannya, yaitu pajangan foto-foto tanpa bingkai pada sebuah dinding depan meja belajar Helene.
Cewek yang duduk dengan melipat kaki kanannya ke dalam serta kaki kiri yang belum sembuh itu dibiarkan menjelujur. Helene menyambutnya dengan tatapan hangat dan bukan tatapan untuk memulai pertarungan.
“Makasih ya,” Helene berusaha keras mengangkat kedua sudut bibirnya, namun air matanya itu tetap ikut jatuh.
***
To be continued!
Selamat membaca, teman-teman 💙
25 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Novela JuvenilTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021