Re-frain 30 | True Stalker

13 2 0
                                    

“Lo ajak gue kemana?”

“Katanya mau ke apart, kok kesini?” tanyanya lagi.

“Diem!” Leo menaikkan sebelah tangan kanannya, menyuruh Helene untuk bisa berhenti berbicara. “—Sebelum gue sumpel tuh mulut pake sepatu!”

Helene hanya mengernyit. Dia terus mengikuti Leo hingga masuk ke dalam rumah ini. Sudah seperti apa hubungan yang dimiliki si pemilik rumah dengan cowok seperti Leo ini, hingga dengan santainya tanpa ada rasa sopan Leo langsung masuk ke dalam.

“Den Leo, Non Aurora nya lagi di kamar.”

“Makasih, Bi.”

Helene juga ikut tersenyum membalas senyuman simpul dari wanita paruh baya yang tadi mengatakan sesuatu kepada Leo. Cewek ini masih terus mengikuti langkah kaki cowok yang sekarang mulai membuka sebuah pintu kamar.

“Leo!”

Helene makin bingung melihat jika Leo nampak lebih akrab dengan cewek yang duduk bersandar pada tempat tidurnya itu. Helene tidak merasa asing dengan cewek ini, dia ingat kalau sebelumnya mereka pernah bertemu di apartemen Leo. Iya, cewek itu yang pernah mengata-ngatainya saat itu.

“Lo sama siapa?”

“Sama Helene.”

Leo sudah duduk di tepi tempat tidur cewek itu, sedangkan Helene berdiri tidak jauh di belakang Leo. Helene rasa kehadirannya bukan untuk ada di antara mereka berdua. Sebenarnya motif dan tujuan Leo untuk membawanya kesini untuk apa? Karena sebaiknya Helene tidak melihat langsung drama kehidupan cowok ini.

“Kenapa sakit?”

“Gue kepikiran Nyokap gue.”

Mereka ini sebenernya apa sih? Temen? Sahabat? Pacar? Eh, mana mungkin ada yang mau sama orang yang mulutnya pedes kayak dia.

“Lo harus makan, Ra.”

“Mulut gue pahit, nggak enak.”

Helene menyilangkan kedua lengannya di depan dada sambil bersandar pada pintu. Dari empatnya berdiri sangat jelas terlihat jika Leo sejak tadi masih membujuk cewek ini untuk sekadar mengikuti perintahnya. Bahkan sesekali Helene menaikkan alisnya dan mencebikkan mulutnya mendengar ucapan cewek itu.

“Ra, lo harus makan, biar nggak makin sakit.”

“Gue nggak bisa lama-lama, gue ada kerjaan.”

“Kerjaan ngapain?”

“Lo sekarang makan aja!”

***

“Siapa sih tuh orang tadi?”

“Menurut lo?”

“Kok bawa-bawa gue kesana, gue kan bisa lo suruh ke apart duluan, nungguin disana, atau apa kek?”

“Gue nggak sembarangan masukin orang ke apartemen.”

Helene menyipitkan matanya mendengar perkataan Leo. Bagaimana manusia ini bisa lupa? Bahkan Helene saja masih begitu ingat kalau Leo yang justru memasukkan dirinya ke apartemennya sendiri.

“Tapi lo yang udah memperbolehkan gue masuk sejak saat itu. Gue kan juga termasuk dalam ‘orang yang bukan siapa-siapa lo’ kenapa gitu?”

Dalam hatinya tersenyum puas, Helene sudah membalik kata-kata yang Leo ucapkan padanya. Berharap besar kalau kalimatnya bisa membuat Leo kalah telak darinya.

“Lo kenapa sih ngomong mulu?”

Helene seolah terenyak. Cowok itu menyergahnya di depan pintu lift yang bergerak terbuka. Mengeluarkan beberapa orang yang melihat keduanya heran. Helene bersikap seolah sedang tidak terjadi apa-apa terhadapnya dan cowok ini. Dan setelah beberapa orang itu keluar, Helene mengikuti Leo untuk berjalan masuk ke lift itu.

“Gue butuh jawaban dari tadi,” sahutnya lumayan lirih.

“Lupain, itu nggak penting!”

Helene membulatkan matanya, dengan entengnya Leo berkata kalau ini bukan hal penting. Terletak di mana otak cowok ini sekarang, Helene merasa kalau sudah dibawa terbang terlalu tinggi dan sekarang dijatuhkan begitu saja. Dia juga butuh kejelasan atas semua ini.

“Oke, jadi hal semacam itu bukan hal yang penting bagi lo, tapi penting bagi gue,” gumamnya sambil menatap punggung cowok yang berjalan di depannya itu.

***

“Gue penasaran deh, siapa sih cewek tadi?”

“Hubungannya apa juga sama mulut cabe?”

Helene mengambil ponselnya yang tergeletak di ujung meja. Mengusapnya sebentar setelah kemudian memunculkan sebuah layar menyala. Di sebuah kolom pencarian, dia mulai mencari sebuah kemungkinan terbesar yang akan dirinya dapatkan malam ini.

Baru beberapa huruf yang dia ketikkan, sudah muncul beberapa akun yang membuatnya harus membuka pikiran. Tidak ingin semakin dibuat bingung dengan beberapa akun yang ada, Helene segera mencari akun seseorang. Dari sana tidak ada yang bisa menipu matanya lagi.

Sudut bibirnya terangkat menunjukkan bahwa yang dilakukannya tidak sia-sia. Dengan lihainya jemari lentiknya yang bergerak di atas layar itu, Helene berhasil menemukan apa yang sedang dia cari. Akun seseorang itu sudah tertera jelas di layar ponselnya.

Mulailah jari-jemari itu bergulir menggerakkan layar ke bawah. Melihat dengan cermat beberapa postingan yang hanya bisa terhitung dengan jari. Salah satu dari postingan itu tidak ada yang menjawab pertanyaannya.

“Dih sok ngartis, postingan dikit tapi followers bejibun!”

Helene menghela napas panjang, sudah sampai di paling bawah dari beberapa foto yang terposting oleh akun yang dia selidiki. Bahkan beberapa dari foto tersebut hanya diisi oleh foto dari beberapa rekan si pemilik.

“Ansos banget!”

Kemudian Helene beralih untuk membuka aplikasi lain, mungkin ini akan sedikit membantunya menemukan jawaban. Aplikasi bergambar burung itu selebihnya juga tidak sangat membantu. Bahkan itu hanya akan membuatnya hilang rasa untuk menilik lebih lanjut.

“Buset! Nggak pernah ngetwit tapi udah kayak orang penting! Bikin ngiri aja.”

Dari yang dilihatnya, Leo memang bukanlah orang yang suka mengekspos dirinya terlalu banyak ke hadapan publik. Tertutup, seperti kehidupannya dalam realitas. Helene tidak dapat menemukan secuil pun hubungan yang ada di antara Leo dan seorang cewek yang tengah dalam daftar pencariannya.

“Sebenernya mereka ada hubungan apa sih? Bikin gue bingung aja.”

***

Ini yang kedua🎉
Selamat membaca, semuanya!

28 Maret 2021

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang