Refrain 5 | Perpustakaan

27 4 0
                                    

Tania yang duduk bersandar pada sofa di ruang tengah langsung dikejutkan dengan kepulangan Helene yang terlihat aneh. Cewek itu berjalan memasuki rumah sambil tersenyum-senyum sendiri. Hal itu tentunya memunculkan kerutan kening dari Tania.

"Pulang sama siapa lo, senyum-senyum sendiri?"

Helene berhenti. Menatap Tania dengan tersenyum sinis seolah mengejeknya. "Pacar gue lah," ucapnya sombong.

"Siapa?"

"Lo hilang ingatan apa gimana? Ya, Virgo lah, siapa lagi?"

Helene rasa Tania mulai pikun, padahal baru setahun yang lalu pacarnya berhenti datang ke rumahnya. Karena alasan kepindahannya ke London, Virgo dan Helene terpaksa harus menjalani hubungan jarak jauh. Hanya lewat video call ketika mereka sama-sama tidak sibuk dan bertemu hanya ketika Virgo menyempatkan untuk pulang ke Indonesia.

"Gue kira udah ganti."

Helene memasang wajah datar. "Emang gue lo, yang suka gonta-ganti pacar."

"Enak aja kalo ngomong!" Seru Tania merasa tidak terima dengan ejekan Helene.

"Gue mah orangnya setia." Balas Helene tak mau kalah dengan kakaknya.

"Lo setia apa emang nggak ada yang mau selain Virgo?"

Helene mencebikkan bibirnya. Menggerakkannya mengikuti gaya bicara Tania tanpa suara. Ulahnya itu sontak membuat sebuah bantal melayang di udara mengerah kepadanya. Untuk gerakannya cepat, jadi bantal itu harus berakhir di lantai.

Belum selesai perdebatannya dengan Tania, Helene merasakan kalau ada sebuah getaran pada ponselnya. Dia segera berlari menuju ke kamarnya, sudah tidak mengindahkan Tania yang masih mengomel padanya. Sebuah notifikasi yang masuk itu rupanya dari kekasihnya.

Virgo
Besok aku jemput lagi, sayang.

Pesan tersebut mampu mengangkat kedua ujung bibirnya lebih tinggi daripada senyumnya saat pulang tadi. Rasanya pipinya makin pegal kalau terus tersenyum seperti ini. Virgo memang selalu berhasil membuatnya seperti ini.

***

Suara bel yang sudah berbunyi dua kali itu akhirnya berhenti setelah sang pemilik membuka pintu. Tatapan mereka yang sempat beradu itu langsung diputuskan sepihak. Pintu yang sudah terbuka setengah itu segera ditutup kembali. Namun, gerakan cepat oleh wanita itu berhasil menahannya.

"Leo!"

"Izinkan Mama bicara sama kamu!" Wanita itu mengiba.

Berharap sangat anaknya mau menerimanya kali ini. Sudah dua tahun ini dirinya hanya bisa melihat wajah anak laki-lakinya yang semakin tumbuh dewasa dari kejauhan. Dan kesempatan setelah akhirnya bisa menemukan apartemen anaknya pasti tidak akan dia sia-siakan.

Leo, anak laki-lakinya yang sekarang berdiri di hadapannya secara nyata. Nampak mengedarkan pandangan ke luar seakan mengamati sekeliling.

"Bicara apa lagi?" tanyanya dingin.

Dapat wanita itu rasakan jika masih terselip kekecewaan dalam tanyanya. Sudah tiga tahun kejadian itu berlalu namun sepertinya sulit untuk membuka pintu maaf kepadanya.

"Tinggal sama Mama ya?"

"Maaf, saya lebih nyaman tinggal sendiri."

Siapa Ibu yang tidak sakit hati dengan penolakan yang Leo tuturkan secara blak-blakkan. Leo ternyata belum bisa memaafkan.

Wanita itu meraih tangannya. Menatapnya lekat dengan beberapa bulir bening yang mulai lancang berjatuhan. "Leo, Mama cuma mau kita seperti dulu, Nak."

Leo melepas tautan terhadapnya. "Tapi, semua tidak bisa kembali seperti dulu."

"Mama mohon."

"Saya tetap tidak bisa."

"Baik, kalau kamu masih belum bisa. Mama pulang dulu, kamu jaga diri baik-baik ya." Ucapnya kemudian berjalan menjauh sambil menutupi suara senggukan atas tangisnya. Mencoba memahami dan menerima keputusan yang Leo buat.

***

"Saya minta tolong tiga anak saja, Helene, Leo, dan Riski, ke perpustakaan mengambilkan buku untuk pembelajaran kita hari ini."

Helene membulatkan matanya, kenapa harus namanya yang disebut. Setidaknya kalau iya, nama Leo juga tidak harus dilibatkan bersamanya. Itu pasti akan menjadi petaka baginya.

"Sekarang, Bu?"

"Ya, iyalah, Helene, ya masa kemarin." Gurau Bu Sinta.

"Langsung bilang saja sama Bu Megi, saya tadi sudah pesan ke beliau."

"Baik, Bu." Sahut ketiganya kompak.

Helene keluar kelas dengan tetap menggerutu. Entah mengapa setiap melihat wajah tanpa rasa kepedulian Leo, membuatnya kesal, sekesal-kesalnya.

"Kenapa sih? Lo lagi, lo lagi, lo lagi!"

Riski segera menggeser Helene, membuatnya berada di tengah-tengah kedua manusia itu. Menghentikan perdebatan yang baru saja dimulai. "Wait, wait! Pertengkaran rumah tangganya ditunda dulu, dilanjut nanti kalo istirahat aja."

Helene memukul Riski lumayan keras hingga cowok itu sempat mengaduh. Tidak peduli kalau itu sangat menyakitkan, itu akibatnya kalau bicara seenak jidatnya. "Rumah tangga, pala lu somplak!"

Di ruangan ini, mereka bertiga sudah dihadapkan dengan tumpukan buku-buku tebal. Ada dua tumpukan yang memiliki jumlah sama dan satu lagi yang lebih banyak. Leo menunjuk ke arah tumpukan yang paling tinggi untuk Helene bawa.

"Tuh, bawa!"

Helene tentu saja tidak terima, dia yang cewek malah disuruh bawa yang paling banyak. "Gue disuruh bawa yang banyak?! Lo ya kira-kira dong!"

Sehat nggak sih, nih orang! Makinya dalam batin.

Riski hanya menghela napas melihat kedua manusia ini, sepertinya salah jika dirinya ada di antara mereka berdua. "Lo berdua ngapain sih, selalu ribut?"

"Temen lo yang ngajak ribut!" Sela Helene.

Leo tidak terima begitu saja dengan perkataan Helene padanya. "Lo yang mancing!"

"Stop!" Lagi-lagi Riski harus bersabar, "Ini masih di perpus," lanjutnya.

"Udah cepetan bawa!" Suruhnya kemudian.

"Bantuin dong, lo nggak liat ini banyak!"

Leo menghetikan Riski yang hendak membantu Helene, "Biarin bawa sendiri biar nggak manja."

***


2 Juli 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang