Setiap pagi Helene akan melewati koridor ini karena lebih tidak jauh untuk menuju kelasnya. Hari ini masih sama, dengan kruknya serta perban yang membalut kaki kirinya. Sudah lebih dari seminggu, dan Helene semakin lama semakin terbiasa menggunakan tongkat.
Sudah setengah jalan dia melewati koridor itu. Namun ketika melihat dari kejauhan ada sekitar dua orang yang berlari mendekat, Helene tidak dapat menduga apa pun. Setahunya, jam tangannya itu tidak salah jika menunjukkan waktu yang terlalu pagi untuk siswa-siswa datang ke sekolah.
Helene mematung, belum sempat dirinya menyingkir kedua orang itu sudah terlebih dulu melewatinya. Bayangkan saja, betapa brutalnya mereka berlarian. Seakan tidak pernah melihat jika ada dirinya di tengah jalan.
Satu tumpuannya melemah, tongkatnya terjatuh ke lantai. Tangannya masih mencari-cari dinding untuk berpegangan. Kakinya kembali merasakan sakit yang luar biasa. “Lo gila?!”
Helene terpelonjak. Napasnya terengah dibarengi matanya yang memanas. “Gue nggak tau.” Nadanya bergetar menjawab Leo.
Bagaimana cara berpikir cowok itu yang datang secara tiba-tiba dengan menyergah. Helene sedang membutuhkan bantuan dan Leo justru memakinya. Cowok itu selalu membuatnya gusar, namun Helene kali ini tidak ingin membalas perkataannya karena kakinya yang semakin sakit.
Leo langsung menahan tubuh Helene yang hendak jatuh. Menggambil pinggang itu mendekat, hingga sedikit memeluknya. Leo menatapnya dengan amarah. Cewek ini sudah bosan hidup atau bagaimana? Dia malah mencari masalah.
“Mana tongkat lo?”
Helene kemudian berpegangan sebentar dengan dinding sementara Leo mengambil tongkatnya yang terjatuh. Cowok itu lalu memberikannya kepada Helene. Sepersekian detik selanjutnya, mereka berdua berjalan bersama untuk ke kelas mereka. Sebenarnya Leo itu risih dengan cara jalan Helene, namun dia lebih tidak ingin merepotkan dirinya lagi untuk menggendong cewek ini.
***
Sekarang Helene sudah berada di kelas, dengan Leo tentunya. Kakinya sudah diangkat setinggi panggul. Helene sengaja meletakkan kakinya di atas kursi lain. Setidaknya ini sedikit mengurangi rasa nyeri yang berangsur kembali. Berkali-kali Helene menghela napas, mencoba mengurangi air matanya yang lancang menetes itu.
Cewek ini menangis. Namun, sebisa mungkin ia menutupinya dari Leo dan mungkin juga untuk beberapa orang lain yang baru datang. Di kelas mereka sudah mulai berdatangan siswa lainnya, namun belum sampai belasan.
“Gue kan udah bilang jangan cengeng.” Leo, cowok yang memutar tubuhnya menyamping, lebih tepatnya ke arah Helene. Dia berujar tenang, tidak ada unsur membentak atau memaki.
Sesegera mungkin Helene mengusap air mata di pipinya. Menatap Leo sebentar kemudian beralih menatap kakinya. “Lo nggak tau, sakit kaki gue.”
Leo membuang napas pasrah. “Lo mau apa sekarang?”
“Mau pulang,” ucap Helene lirih seperti bergumam.
“Oke, gue bantu ke UKS.”
***
“Kakinya nggak papa, itu efek kaget aja karena benturan ringan.” Ucap wanita paruh baya setelah memeriksa pergelangan kaki yang diperban itu.
Wanita itu tersenyum sambil mengusap lengan Helene lembut. Dia menyalurkan ketenangan yang sekarang Helene perlukan. “Nggak perlu khawatir, kamu baik-baik aja.”
Bu Arum kemudian menatap Leo yang berdiri tidak jauh dari sana. Cowok itu masih di sana, sengaja belum kembali ke kelas meskipun bel masuk sudah berbunyi sejak tadi. “Itu nggak memperparah kakinya kok.”
“Untung juga nggak sempet jatuh.”
“Saya tinggal dulu ya,” Bu Arum lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelah melihat jika wanita tadi hilang ketika di ambang pintu, Leo menarik sebuah kursi untuk dia duduki. Membalas tatapan Helene padanya. “Denger? Lo aja yang lebay.”
“Lo mau kemana?” Helene menahan Leo dengan tanyanya. Cowok itu berhenti di langkah kelimanya namun tidak membalikkan tubuh.
“Balik ke kelas, gue udah satu jam ketinggalan pelajaran.”
Helene mengulas sebuah senyuman setelah Leo benar-benar meninggalkannya. Dari balik jendela kaca yang tidak tertutupi oleh tirai dapat dilihatnya Leo yang berjalan santai melewati koridor hingga menghilang. “Makasih ya, Leo.”
Leo sudah kembali ke kelasnya. Sedang berada di meja guru yang kebetulan saat ini yang mengajar Bu Anna, wali kelas mereka sendiri. Baru setelah Bu Anna mempersilakannya, Leo kemudian berjalan ke tempat duduknya. Tentu saja segala pertanyaan mencuat dari teman-temannya. Termasuk Candra yang keponya minta ampun.
Candra membalikkan tubuhnya menghadap Leo. “Helene kenapa emangnya?”
“Kakinya copot?” tebaknya asal membuat Leo langsung memukul cowok itu dengan buku tebalnya. Candra kalau sudah bicara suka sulit dikontrol.
“Lo liat aja di UKS!” Ucapnya tenang.
Vega yang sedari tadi mendengar percakapan antara keduanya tak selang beberapa lama mendorong bangkunya mundur. Sontak hal itu memebuat Candra heran. Mau apa cewek ini?
Vega berjalan ke depan, ke arah Bu Anna. “Lo yang nyuruh, dia nekat.” Sahut Candra melihat Vega yang sepertinya mengikuti kata Leo tadi.
***
2 of 3
Selamat membaca🥰24 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021