“Mau ke mana?”
Baru saja Helene menutup pintu kamarnya, suara familiar dari seorang wanita membangunkannya. Dengan sling bag yang sudah bertengger di bahunya, Helene nampaknya sudah siap untuk menghabiskan sorenya untuk keluar. “Mau keluar sebentar doang, kok, Ma.”
“Ya udah, jangan pulang malem-malem.”
Rosa membelai surai putri bungsunya sambil tersenyum. Helene sudah beranjak dewasa, batinnya.
“Siap!”
Helene mengangkat tangan yang terbuka ke alis kanannya, membentuk sebuah tanda hormat untuk Mamanya. Sambil terkekeh, dirinya kemudian menjabat tangan Mamanya untuk meminta izin keluar.
Beberapa jam yang lalu, dirinya mendapat sebuah telepon dari nomor yang tidak dikenal. Dari suaranya Helene yakin kalau manusia ini bukan salah satu dari teman-temannya. Awalnya, Helene ragu untuk menjawab, namun detik selanjutnya hanya terdengar suara seorang cewek yang sangat dekat di telinganya.
“Halo!”
“Gue butuh ketemu sama lo.”
Helene mengernyit berkali-kali. “Ini siapa, ya?”
“Jam 5 gue tunggu di depan taman.”
Setelah menutup sambungan telepon tersebut, suara pendingin ruangan yang sempat teredam karena sebuah telepon kembali terdengar. Helene melemparkan ponselnya ke atas tempat tidur. Menyusul kemudian tubuhnya yang terduduk di tepi kasur empuknya.
Helene mungkin akan bergelut dengan pikirannya karena hal ini. Seseorang yang tiba-tiba menyuruhnya untuk berada di tempat ini sangat membuatnya memutar otak. Terdengar bodoh kalau Helene akan menuruti perintah seseorang yang ada dalam telepon itu, tapi pada kenyataannya, dirinya bersedia menemui seseorang itu.
Bahkan dalam otaknya tidak ada pemikiran negatif mengenai seseorang yang tiba-tiba mengajaknya bertemu. Helene tidak punya niatan untuk berburuk sangka terhadapnya.
Di bangku taman yang terlihat di sekitarnya ramai, Helene mendatangi sebuah bangku yang sudah ada seseorang disana. Cewek dengan balutan jaket denim model crop berwarna soft pink dan celana hitam ketat yang serasi di tubuhnya segera duduk di samping cewek itu.
Ditatapnya dari ujung kepala hingga ujung kaki lawan bicaranya. Sesekali tangannya juga menyibak helaian rambut yang mengenai wajahnya. “Lo masih inget gue?”
“Masih,” ucapnya sambil beranggut-anggut seolah mengingat sesuatu. “Emang kenapa harus ketemu sama gue?”
Cewek itu memandangnya bengis. “Lo suka sama Leo?”
Helene membalas tatapan itu tanpa ekspresi. “Kenapa lo tanya gitu?”
Hembusan angin sore yang membelai terasa dingin menerpa kulit. Namun, rasa itu berbeda ketika sampai ke dalam tubuhnya. Entah mengapa rasa panas tiba-tiba membakar bagian dalam dari dadanya.
“Gue nanya, seharusnya lo jawab.” Ucap cewek itu ketus.
Air mukanya berubah seketika. “Enggak, gue nggak suka.”
“Bagus. Gue minta, lo jangan lagi deketin Leo. Atau lo bakal tahu akibatnya gimana.” Setelah mengucapkan kata itu dengan nada mengancam, cewek itu berjalan pergi meninggalkannya.
Helene hanya diam. Matanya tidak meninggalkan sedikit pun kepergian cewek yang baru saja berbicara padanya. “Aneh, sih, emang dia siapa nyuruh-nyuruh gue?” gumamnya kemudian.
***
“Emang lo kenal sama orangnya?” Helene menggeleng. Tangannya terus bergerak untuk memasukkan sesendok es krim yang sudah berada di depan mejanya.
Vega menatapnya lebih, ingin meminta penjelasan atas kasusnya tadi sore. “Enggak, sih, cuma gue pernah inget namanya.”
Di sudut kafe tempatnya duduk bersama Vega, Helene masih sibuk sendiri dengan makanannya. Sedangkan Vega justru sibuk dengan otak yang berputar pada kejadian yang diceritakan Helene baru saja. Sepulangnya dari taman tadi Helene menyuruh Vega untuk menemuinya di kafe ini.
“Tapi asli,” Vega mendorong gelasnya ke samping, “maksud dianya nyuruh lo ngejauhin Leo itu karena dia suka sama Leo?” tanyanya serius.
Helene menggerakkan sendoknya yang kosong ke udara. “Maybe.”
Kerlap-kerlip lampu yang menghiasi sisi kafe ini begitu terlihat indah. Namun, tujuan Helene kesini bukan untuk mencari spot foto yang instagramable untuk feed-nya. Kali ini Helene akan melupakan hal yang biasanya akan dia cari, Helene ingin ke tempat ini karena lokasinya yang tidak terlampau jauh dari taman.
“Tapi lo bakal beneran ngejauhin Leo?”
Helene menatap sepenuhnya Vega. “Ya, mana mungkin. Tiap hari bakalan ketemu, les dia tutor gue, mana bisa jauh kalo tiap hari aja ketemu mulu.”
Vega tersenyum puas mendengar pemaparan Helene. Sedangkan cewek yang hendak menyuapkan es krimnya ke mulut itu berpikir berkali-kali atas ucapannya. Pembelaan yang dirinya katakan bukanlah yang sebenarnya ingin tersampaikan.
“Good. Pertahankan, sayang.”
***
Maaf ya, teman-teman. Beberapa hari ini Re-frain jarang update karena sibuk ada sekolah tatap muka, dan kemungkinan nggak bisa sering buka juga.
Selamat membaca 💖6 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021