“Le, kita makan dulu ya?”“Gue laper banget, nggak bisa ditahan nanti malah nggak konsen.” Ucap Helene diselingi cengiran.
Leo menepikan motornya ke tepi jalanan yang terdapat beberapa deret gerobak penjual makanan. Baru setelah motornya terparkir, Helene turun lalu berdiri di samping Leo. “Lo mau makan apa?”
Cewek itu nampak berpikir sejenak, “Makan ketoprak enak kali ya, tapi lagi pengen batagor.”
Leo masih duduk di atas motornya. Memperhatikan cewek yang terlihat bingung untuk menentukan makanan apa yang hendak dia makan. Matahari masih berada di langitnya. Ditambah lagi hembusan angin yang menyibak-nyibak surai berwarna hitam panjang hingga mengenai sisi wajah Helene.
“Mau kan?” Leo tidak menjawab. Dia justru berjalan dahulu menuju ke bangku panjang untuk duduk di sana. Helene menerima persetujuan Leo dengan langsung menuju ke penjualnya dan memesan dua porsi batagor untuknya dan cowok itu.
Dua piring yang berisi batagor pesanannya sudah datang. Helene langsung menyambutnya dengan mata yang berbinar. Dengan semangat yang menggebu, Helene langsung menarik piringnya mendekat. Tidak lupa untuk mengikat rambutnya agar tidak mengganggunya saat makan. Sekarang Helene sudah siap dengan rambutnya yang dikucir kuda. Dia bahkan tidak menghiraukan sorotan teduh dari seseorang yang sejak tadi memperhatikannya.
Melihat Helene yang nampak sangat lahap dengan makanannya, tidak disangka jika cewek itu menjejakkan sesuatu di sudut bibirnya. “Makan aja kayak anak tk.”
Helene menghentikan sejenak sendoknya, pipinya mengembung penuh sambil menatap Leo. Cowok itu mendorong kotak tisu di depannya. Sekejap merasa kalau perhatian Leo sejak tadi tertuju padanya. Di mana Helene bisa bersembunyi dari sorotan cowok itu? Mau bagaimana pun juga hatinya sekarang menghangat bukan karena sinar matahari yang masih terlihat dari ufuk barat.
Helene mengabaikan kotak tisu itu dan memilih untuk mengambil segelas es teh manisnya. Menangkupnya dengan kedua tangan. Rasa dingin itu menjalar ke tangannya namun tidak juga merubah suasana hangat pada hatinya.
Dari balik bulu matanya, Helene dapat melihat Leo yang nampak lebih tampan dari hari biasanya. Sudut bibirnya terangkat, berharap jika Leo tidak melihat itu karena Helene berpura-pura meminum es tehnya untuk menutupi senyumnya.
“Kenapa lo senyum?”
Seketika Helene terbatuk karena ucapan Leo. “Minum aja nggak bisa.” Ejek Leo lagi.
Di tengah batuknya, cewek itu masih bisa mendengar jelas ucapan Leo yang mengejeknya. Dia memukul lengan cowok itu sedikit keras, selalu saja cowok itu memulai pertengkaran dengannya.
***
“Lo masih hidup?”
Helene mengangkat kepalanya yang sebelumnya ditumpukan pada kedua telapak tangannya. Mendengar seluruh penjelasan Leo membuat kantuknya tiba-tiba menyerbu. Tapi sebisa mungkin dia tahan karena jamnya untuk pulang masih lama. “Masih lah.”
“Apa?”
“Apanya yang apa?”
“Gue tadi bilang apa?”
“Ya, itu tadi pokoknya.”
Leo menarik napas, merasa lelah dengan sikap Helene yang seperti ini. “Kerjain latihan soalnya!”
Leo bangkit dari duduknya. Setelah menyuruh Helene untuk mulai berperang dengan soal-soal, ia ingin ke dapur untuk melegakan tenggorokannya yang mulai kering karena terlalu banyak berbicara.
“Sekarang?”
“Enggak, nunggu kucing bertelur.”
Cewek itu menggerutu keras. “Ih, dasar!”
Sempat mendesah berkali-kali melihat soal yang tertuju padanya. “Ini soal banyak tau nggak?” teriaknya dari depan ruang tv. Leo pasti bisa mendengar ucapannya dari dapur.
“Kalo lo denger semua penjelasan gue, lo bisa jawab.”
Mendesah. Lagi-lagi Helene mendesah kalau Leo sudah berucap seperti itu. Leo tidak pernah mau mengalah dengan ucapannya. Helene bahkan mengacak rambutnya berkali-kali karena merasa pusing mengerjakan soal tersebut.
“Kumpulin sekarang!”
Helene mendelik, “Baru juga ngerjain,” protesnya menolak.
“Dua minggu lagi udah akhir semester, pertemuan kita tinggal satu minggu lagi. Kalo lo nggak bisa bertahan sama nilai lo, mending nggak usah sekolah.”
“Rugi.”
Ucapan itu terdengar panas di telinganya. Dengan entengnya Leo memberi kata motivasi yang sangat hancur untuk didengarkan. “Mohon maaf, itu kalimatnya nggak bisa diperhalus lagi? Nyesek loh dengernya. Untung gue tegar, coba kalo gue baperan.”
Benar saja, kalau bukan Helene yang ada di posisi itu, mungkin sudah ada air mata karena mendengar kalimat menyakitkan yang Leo katakan. Leo tidak membentaknya, namun kalimat yang terdengar pelan itu mampu menyayat hati.
“Makanya serius.”
Merasa terperenyak, Helene melotot tajam. “Heh, sejak kapan gue main-main?”
“Lo lupa? Siapa yang kemarin live pas ada jam?”
Otaknya sedang mencari-cari alasan. Merangkai kalimat mana yang tepat untuk dijadikan sangkalan untuk Leo. “G-gue nggak merasa,” kilahnya.
Helene bisa saja mengakui, namun dia tidak bisa mengakui kekalahannya atas Leo. Sebenarnya kejadian itu bermula saat Leo meninggalkannya sendirian, lagipula Helene sudah menyelesaikan tugasnya. Baru beberapa menit Helene membuka live di Instagram, Leo tiba-tiba memunculkan akunnya di layar ponsel Helene.
Kaget, Helene langsung menutup live-nya. Kalau sifat Leo seperti Papanya, pasti sudah dibanting ponselnya yang tidak bersalah.
***
Haloo!
Selamat berhari minggu, teman-teman semuanya🥰
Aku hadir lagi, part 33 ini terdeteksi manis menurutku, hehehe.
Semoga suka, ya😁
Selamat membaca💙
11 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021