Helene tidak bosan karena berulang kali mendengus dan memutar bola matanya. Sudah sepuluh menit semenjak kedatangannya, belum ada suara lagi. Orang yang duduk di sofa tidak jauh darinya itu masih belum juga berujar.
Helene menumpukan kepalanya pada lengan. Otaknya ingin istirahat sebentar saja. Terlalu berat semua yang dipikirkan otaknya sejak kemarin. Dari mengenai Virgo yang akan pulang ke London, sampai ucapan Tania padanya tadi pagi. Itu lebih hebat membebani hingga mata pelajaran tidak sepenuhnya masuk ke dalam otaknya.
“Lo kalo sekolah make otak nggak?” Helene menengadah. Menatap nyalang Leo yang berbicara di dekatnya.
“Makelah.”
“Kenapa jawab soal ngasal gini?”
Helene memandang buku yang baru diletakkan Leo di atas meja. “Gue nggak bisa.”
“Karena lo nggak mau usaha.”
Helene mengiyakan itu dengan mengangguk-anggukan kepalanya. Kali ini bukan perlawanan yang dia tunjukkan namun persetujuan.
“Kerjain ulang semua soalnya!”
Helene membalas ucapan Leo dengan mata yang membulat. “Lo waras nyuruh gue gitu?”
“Sangat waras.” Sahut Leo enteng.
Dengan sangat tidak rela, Helene harus mengulang semuanya dari awal. Mengerjakan ulang beberapa soal yang ada dalam buku itu. Dia bahkan sempat merapalkan sumpah serapah kepada cowok yang berjalan menjauhinya. Menatap punggung cowok itu dengan tatapan kebencian.
Lima soal sudah dia kerjakan, masih kurang beberapa soal lagi untuk bisa menyelesaikan semuanya. Jari-jemarinya mulai pegal karena tetap menulis. Menjawab soal matematika sebenarnya tidak terlalu banyak membutuhkan gerakan tangan kecuali menghitung. Namun, rumus yang banyak itu seakan tidak ingin membiarkannya sedikit bebas.
Layar yang menyala itu mengalihkan seluruh perhatiannya. Pulpen yang tadi dipegangnya sudah dilupakan karena sebuah notifikasi yang baru masuk. Helene meraih ponselnya terangkat dari meja. Membaca sesuatu pada layar ponselnya hingga melupakan soal yang harus dia penuhi.
Pesan dari Virgo rupanya mampu menghangatkan hatinya. Sebelum berakhir disini Helene sempat menemui Virgo. Waktu sekitar lima belas menit yang dia minta dari Leo rupanya sedikit mengurangi rasa rindunya terhadap kekasihnya. Setidaknya Helene masih bisa melihat Virgo sebelum perpisahan menyapa.
Helene kaget. Ekspresinya berubah drastis. “Leo! Lo apa-apaan sih?!”
Tiba-tiba kebahagian kecilnya diganggu. Ponselnya ditarik paksa oleh Leo yang berdiri di belakangnya. Cowok itu selalu saja, tidak pernah membiarkannya bahagia.
“Lo niat apa enggak?” tanyanya ketus. Masih dengan ponsel Helene yang ada pada tangannya.
Helene berdiri. “Iya, tapi balikin HP gue!” Tangannya mencoba meraih ponselnya dari Leo, namun Leo justru menjauhkannya agar Helene kesusahan menggapai itu.
Helene mendelik kesal. Kembali mencoba meraih ponselnya namun tidak berhasil juga. Tangannya terus bergerak di udara untuk menggapai. Leo tengah mempermainkannya dan tidak membiarkannya untuk mendapatkan kembali ponselnya. Ketidakberhasilannya membuatnya mendengus kesal dan menghentikan kegiatannya.
Helene menggertakkan giginya. Bahunya naik turun seolah mengatur napas sekaligus emosi. “Kerjain soalnya sekarang kalo mau HP lo balik!”
Cewek itu menghela napas. “Dasar rese.” Gumamnya dengan kesal kemudian duduk kembali.
“Apa lo bilang?” Helene meliriknya sengit.
“Lo jelek!” Sontak ucapannya dibalas jitakan di kepalanya oleh Leo. Helene mengaduh lalu menjauhkan tangan Leo dari kepalanya.
“Sakit tau!”
***
“Ma,” Rosa menoleh sebentar melihat Helene yang sudah berada di sampingnya. Tersenyum sebentar lalu melanjutkan kegiatannya.
“Kenapa, Len?”
Helene menyandarkan tubuhnya pada sisi meja dapur. “Boleh nanya nggak?”
“Ya bolehlah. Mau nanya apa?” tanya Rosa lagi.
“Mama pernah kesel nggak?”
Rosa menatapnya dalam-dalam. Menghentikan sejenak piring kotor yang sudah berada di tangannya. “Pernahlah.”
“Rasa keselnya itu langsung bisa sembuh atau butuh waktu lama?”
“Butuh waktu pastinya.” Helene hanya membulatkan mulutnya. Berbagai pertanyaan hinggap di otaknya, namun ia bingung untuk mengatakan pada Mamanya.
“Kenapa kok nanya kayak gitu?”
Helene tersenyum kikuk. “Enggak papa, cuma pengen tau aja.”
Sempat bergeming di tempatnya, Helene kembali membuka suara. “Ma,” ia menegakkan tubuhnya.
“Apa, sayang?”
“Helene kesel banget sama tutornya Helene, cara ngajarnya kasar.”
Helene menyadari kalau Mamanya tersenyum tipis tanpa menatapnya. “Itu berarti kamu yang salah kan? Nggak mungkin orang kasar tanpa alasan.”
“Emmm, tapi Helene tetep sebel aja, dia itu orang yang paling banget Helene benci.”
Mamanya tahu siapa tutor matematikanya. Pak Imron tentu sudah memberitahukan terlebih dulu kepada kedua orang tuanya. Jadi, Helene rasa ia bisa bebas mengatakan apa saja mengenai Leo.
“Kenapa harus benci emangnya dia punya salah sama kamu?”
Banyak. Helene diam, memilih menjawab dalam hati.
Rosa sudah menyelesaikan kegiatan mencuci piringnya. Mengambil beberapa tisu untuk mengeringkan tangannya lalu beralih sepenuhnya mendengarkan Helene berbicara. “Jangan terlalu benci, nanti suka.”
“Mama,” Rosa tersenyum jahil melihat Helene yang merengek padanya.
“Helene kan pacarnya Virgo, mana mungkin Helene suka sama Leo?”
“Jadi namanya Leo?” Rosa memanggut-manggutkan kepalanya masih memasang senyum yang sama.
Helene mendadak cengo. “Loh, emang Mama belum tau?”
“Mama nggak tau namanya.”
Mamanya menunjuk-nunjuk pipi Helene yang masih mencoba menolak perkataannya. “Jadi, suka nih sama Leo?”
“Cowok yang bawa HP kamu waktu itu kan ya?” tanyanya memastikan membuat Helene makin sebal.
“Ih, Mama!”
***
Hai!
Helene dan Leo hadir lagi!
Selamat membaca ya❤️10 September 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021