Re-frain 14 | Tutor

17 3 0
                                    

Setelah makan malam selesai, seluruh anggota keluarganya dilarang meninggalkan ruangan ini. Sulit ditebak, hal penting apa yang akan dijadikan bahan perbincangan. Seluruh orang di ruangan ini hanya diam sedari tadi, menunggu Marchel memulai .

“Helene!”

Helene terperanjat. Bahkan suasana  semakin mencekam. “Kamu ini pacaran mulu, lihat nilai kamu turun!”

Helene rasa Papanya baru saja menerima kabar mengenai nilainya yang mengenaskan dari Pak Imron, guru matematikanya. Helene bahkan baru ingat, kalau Pak Imron dan Papanya merupakan teman SMA. Tentu saja itu menjadi mata-mata untuknya dalam masalah nilai matematika seperti ini.

“Itu karena susah, Pa.” Belanya. Untuk saat ini tidak ada yang akan membantunya. Bahkan Mamanya masih bergeming di tempat duduknya.

“Makanya belajar, kalau nilai kamu masih aja seperti ini, Papa akan membatasi semua aktivitas kamu.”

Helene tertohok akan perkataan dari Papanya. Seumur-umur baru kali ini Papanya bertindak tegas dengannya. Bahkan Tania yang lebih tua darinya tidak pernah diperlakukan seperti ini. Cewek yang duduk dihadapannya, yang menertawakan lewat tatapan.

Seburuk itu? Setengah dari nilai penuh itu saja sudah memalukan. Dan yang Helene dapatkan adalah sepertiga dari nilai penuh. Sangat-sangat memalukan. Bahkan Helene sempat berpikir, apa yang baru saja didapatnya?

“Rasain, makanya belajar!”

Setelah membuat Papanya kecewa, yang paling parah sekarang adalah diejek Tania. Helene hanya mampu menggertakkan giginya. Itu yang paling tidak dia sukai, sudah jatuh ditimpa ejekan pula.

“Lo mau gue bilang ke Bokap kalo setiap malem lo nonton drakor?”

“Tapi gue masih pinter.” Sahutnya sombong.

Helene semakin terpancing oleh ucapan Tania yang sangat sombong itu. Kalau bukan saudaranya sudah habis pasti. “Dasar nyebelin!”

“Wlee.” Tania berjalan pergi sambil menjulurkan lidahnya kepada Helene. Yang sontak itu membuat Helene ingin melempari cewek itu dengan pisau buah yang ada di dekatnya.

Dasar sombong, gue sumpahin nilai lo anjlok abis ini. Batin Helene sangat kesal.

***

Helene tidak berhenti berpikir sejak semalam. Bagaimana caranya agar dirinya bisa mengembalikan hati Papanya. Bahkan berpikir pula apa langkah yang pastinya akan diambil oleh Marchel untuknya. Helene yakin kalau Papanya itu tidak akan tinggal diam.

“Helene, bisa ikut Bapak?”

Helene langsung menoleh. Melihat Pak Imron sudah ada di samping mejanya. Dia yang baru saja merapikan buku-buku menatap sebentar orang sekeliling yang perlahan berkurang. Baru kemudian menjawab, “Bisa, Pak.”

Helene mengikuti langkah laki-laki yang sebaya dengan Papanya. Melewati koridor hingga berakhir ke sebuah ruangan yang berisikan guru-guru. Helene pun disuruh menunggu di sebuah sofa yang mengelilingi meja kecil ditengahnya.

Berapa lama menunggu, kini Pak Imron sudah duduk di sofa sebelah kanannya. Helene langsung mendongak. Mendengarkan Pak Imron yang lekas berbicara. “Jadi begini, Len, kamu tentu sudah paham maksud Bapak memanggil kamu.”

“Masalah nilai, Pak?” tebaknya.

“Iya.”

“Dikarenakan Bapak sudah terlanjur bersedia menerima tapi ternyata pekerjaan Bapak ada yang berbenturan. Jadi kamu nanti akan Bapak carikan tutor pengganti.”

Helene terlihat menerawang. “Bagaimana, Len?”

“Saya setuju saja, Pak.”

“Baik kalau begitu, nanti kalian ketemu dulu, untuk membicarakan jadwalnya.”

Helene mau atau tidak mau harus menerima. Entah nanti siapa yang akan menjadi tutornya. Mau orang galak atau tidak, Helene harus sangat siap.

“Baik, Pak.”

***

Karena janjinya dengan Pak Imron, Helene harus menolak pulang cepat bersama Virgo. Cewek itu sudah menunggu di tempat yang telah ditentukan oleh Pak Imron sejak dua menit yang lalu. Sesekali matanya menyapu, mendeteksi kedatangan seseorang.

Helene sontak berdiri melihat Pak Imron yang datang menghampirinya bersama seseorang. Matanya membulat sempurna diikuti tubuhnya yang menegang. Helene menatap seseorang itu kemudian Pak Imron.

“I-ini maksudnya?”

“Leo yang akan menjadi tutor buat kamu.”

Seperti baru mendapat sebuah hantaman yang kuat di bagian perutnya, Helene merasa tertohok. Cowok yang ditatapnya penuh ragu itu malah memalingkan wajahnya.

“Harus ya, Pak?”

“Ingat Helene, apa yang sudah dikatakan Papa kamu!”

Seketika Helene menghela napas. “Baik, saya mau.”

Pak Imron tersenyum setelah mendengar persetujuan Helene. “Patuh sama Leo, dia yang cuma bisa bantu kamu.”

Helene ogah-ogahan memandang wajah musuhnya. Rasanya ini seperti terjebak di dalam jurang gelap bersama seekor binatang buas. Yang bisa saja menerkamnya ketika merasa lapar. Helene dapat melihat seringaian tipis yang Leo tunjukkan.

“Bapak tinggal dulu ya.” Ucap Pak Imron kemudian pergi.

“Pulang sekolah, setiap senin sampe rabu, tempatnya gue yang tentuin,” putus Leo sepihak.

“Iya.”

“Kenapa harus Leo coba?” gumamnya.

Helene merasa sudah kalah telak dari musuhnya. Wajah orang yang paling dia benci akan setiap hari menghiasi harinya lebih lama dari biasanya. Helene hanya bergidik jika harus membayangkan bagaimana harinya selanjutnya.

***

Sebelum melelapkan diri, sebaiknya baca part 14 ini dulu. Hehehe
Oh iya, hari ini aku mau ucapin selamat nambah tua buat salah satu temanku yang sangat berpengaruh besar terhadap karya-karyaku. Siapa sih? Penasaran? Ada deh, pokoknya dia orang😁😁
Wish you all the best 💛

Selamat baca, jan lupa menjejak ya


13 Agustus 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang