“Eh, bentar!”
Candra menahan kedua temannya yang hendak bangkit dari duduk. Dia merasa ada yang mengalihkan perhatiannya sebelum pulang. Sebuah ponsel dengan case silver bergliter yang tengkurap di atas meja. Candra menyunggingkan sedikit senyum lalu mengambilnya.
Memberikan kepada Leo. “Nih!”
“Tuh, bukan HP lo kan?” tanya Riski memastikan.
“Bukanlah.”
“Lo kasih aja ke ‘seatmate kesayangan’ lo,” ujar Candra dengan senyum menggoda.
Leo menatap ponsel itu lalu bergantian ke Candra. “Diliat isinya kalo bisa dibuka, siapa tahu ada yang ‘uwu’.”
Leo menaikkan alisnya. Pikirannya seolah berkata mengenai kebodohan cewek yang sudah meninggalkan ponselnya sendiri. Mengangkat ponsel itu lalu membawanya masuk ke saku jaketnya.
Cuma HP, tapi ketinggalan. Pantesan kalo sekolah otaknya ditinggal di rumah.
***
Leo menegakkan tubuhnya setelah merasa ada yang bergetar dari atas meja. Seakan menandakan sebuah panggilan yang masuk dari ponselnya. Tapi, setelah melihatnya Leo baru menyadari kalau bukan ponselnya yang menimbulkan suara itu.
Sebuah nama kontak yang terlihat membuat alisnya terangkat. Masih gamang untuk menerima atau membiarkannya, Leo akhirnya menggeser tombol hijau.
“Halo!”
Dari suaranya Leo tahu siapa si penelepon. Tidak menyukai basa-basi, Leo langsung masuk pada intinya. Tentu saja intinya adalah menanyakan soal ponsel ini. “Apa?”
Terdengar cewek itu berdengus padanya. “Kok HP gue bisa ada di lo?!”
Kenapa harus tanya, seharusnya Helene menyadari kalau ini adalah kesalahannya sendiri. Dan, yang kedua yang seharusnya dikatakan di telepon adalah ucapan terima kasih kepada Leo. “Siapa yang tadi ninggalin HP-nya di kafe?”
“Iya, gue, tapi kok lo bawa?”
“Masih mending gue bawa, nggak gue buang.”
Leo sudah meletakkan kesabarannya paling dasar. Menghadapi cewek banyak bicara semacam Helene. “Udahlah, pokoknya besok harus lo bawa. Jangan macem-macem sama HP gue!” Ancam Helene sebelum menutup panggilan tersebut.
Tangannya mulai menjauhkan ponsel tersebut dari telinga. Melihat sekejap layar yang semakin meredup. Menampilkan foto dari sang pemiliknya. Hal tersebut hanya akan mengingatkan Leo dari cewek yang suka mencari masalah dengannya.
***
Hari pagi menyambut lagi. Namun, kali ini sangat berbeda. Di mana semalam Helene tidak bisa melelapkan istirahatnya karena otaknya terus berpikir mengenai ponselnya. Segala macam pertanyaan konyol terlintas di kepalanya.
Dari mulai bagaimana kalau Leo membuka ponselnya, bagaimana kalau Leo melihat seluruh foto-fotonya. Helene tidak bisa menahan malunya kalau sampai Leo melihat semua aibnya. Mau ditaruh mana mukanya?
Semoga saja Leo mendengarkan ucapannya tadi malam, untuk tidak melecehkan ponselnya. Helene sangat berharap akan itu.
“Gimana sama HP kamu? Ketemu?” Helene mendongak kemudian mengangguk.
“Dibawa temen.”
“Pacar barunya, Ma.” Sahut Tania.
Helene mendelik. “Tan!”
Mamanya mengernyit mendengar maksud kata ‘baru’ yang Tania ucapkan. “Loh, pacar kamu bukan Virgo lagi?”
“Masih, kok.”
“Sebaiknya kamu benahi nilai kamu dulu, sebelum pacar-pacaran.” Marchel yang sedari tadi diam kini berujar, memberi wejangan kepada putrinya.
“Iya, Pa.”
***
Helene sudah datang terlalu pagi hari ini. Koridor yang dilewatinya masih sepi. Sama seperti kelasnya yang masih ada dua siswa yang mengisi. Pikirannya tidak tenang kalau belum bertemu dengan Leo, tidak bukan Leo tapi ponselnya.
Lima menit dia menunggu, kelas mulai berdatangan siswa lain. Namun, Leo belum juga menampakkan batang hidungnya. Helene berdiri melihat dari bangkunya ke arah jendela. Beberapa orang yang berlalu lalang itu tidak salah satunya orang yang dia tunggu.
Helene menarik kursinya, kembali menunggu sambil duduk. Dia menyangga dagunya dengan kedua tangan sambil mengamati orang-orang yang terus berdatangan.
“Pagi semua!”
“Pagi!”
“Lo kenapa, Len?” tanya Vega melihat gelagat Helene yang tampak gelisah.
“Nungguin Leo.”
Vega berkerut kening, mengamati setiap sisi wajah Helene. “Lo sehat?”
Helene sudah tidak menjawab Vega. Kepalanya mendongak dengan kedua mata yang berbinar. Seseorang yang dia tunggu akhirnya datang bersama dengan kedua sahabatnya.
Sorot matanya tidak dapat dibohongi. Seolah memohon kepada Leo. Cowok yang berdiri di hadapannya itu menatapnya datar tanpa ekspresi. Tapi Helene tahu kalau tatapan mata itu sebenarnya ingin menertawakan.
Tak lama setelahnya Helene dibuat mendelik karena keterkejutannya. Leo melempar ponsel kesayangannya tanpa rasa kasihan. Helene sangat bersyukur kala kedua tangannya berhasil menangkap ponsel itu.
“Ya ampun, HP gue!”
Helene mengusap-usap layar ponselnya. Menatapnya dengan tatapan iba. “Lo nggak apa-apain kan? Nggak lo buka kan? Lo nggak liat foto gue kan?”
“Bentar,” Vega semakin heran dengan apa yang tengah terjadi di antara mereka.
“HP-nya Helene ketinggalan di kafe, terus dibawa sama Leo.”
Vega beralih memandang Helene yang sibuk bercekcok dengan Leo. Dia meraih lengan Helene tapi langsung ditepis. “Lo kok nggak cerita?”
Helene menyuruh Vega untuk tidak mengganggunya sebentar. “Lo nggak buka HP gue kan?” tanyanya mengintimidasi.
“Kenapa kalo gue buka?”
“Hah?!” Helene tercengang. Jantungnya sudah jatuh sampai ke perut. Bahkan kedua kelopak mata yang terbuka itu sulit untuk berkedip. Jadi, Leo melihat semua isi ponselnya?
Mau isinya cuma foto gue, itu aib semua. Woy!
“Lo pikun apa gimana? Mikir! Bisa nggak orang lain buka HP lo!”
***
Udah pada nungguin yaa?
Hehehe maapkan guys, soalnya lagi sibuk banget akhir-akhir ini. Maap ya sekali lagi✌️Part 13 buat kalian
Jan lupa vote dan comment😘
9 Agustus 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Ficção AdolescenteTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021