Re-frain 9 | Racun

18 4 0
                                    

"Len!"

Cewek yang dipanggilnya terlonjak karena kaget. Tidak dapat disangkal lagi keterkejutan di raut wajah Helene. Virgo sudah ada di ruang tamu rumahnya. Duduk menunggunya pastinya.

"Loh, kamu kok?"

Virgo berjalan mendekatinya. "Kamu dari mana aja?"

"Emmm, tadi aku-a-aku abis dari rumah temen." Helene menyengir.

"HP kamu mati?" tanya Virgo lagi.

Helene menebak kegelisahan dari ekspresi Virgo padanya. Dia langsung melihat ponselnya. Banyak sekali notifikasi yang dia lewatkan. Bahkan panggilan tak terjawab dari Virgo yang mendominasi.

"Tadi aku silent, jadi nggak tau. Maaf ya, sayang." Helene menyatukan kedua tangannya dengan ponsel yang juga berada ditengahnya.

Lewat rasa bersalahnya dia mengingat kalau ponsel itu di-silent saat berada di apartemen Leo. Helene juga tidak sedikit pun memberi kabar kepada Virgo. Kenapa dia bisa sebodoh itu? Dan pada intinya semua ini berhubungan dengan Leo.

Virgo tersenyum tipis dengan tangannya yang menurunkan tangan Helene. "Iya, lain kali jangan gitu, aku khawatir tau nggak."

"Iya, sayang, janji deh."

"Kamu kan udah sampe rumah, kalo gitu aku pulang dulu." Helene mengangguk.

Baru setelah pacarnya berpamit pulang, dari dalam Mamanya datang. Melirik sekilas cowok yang masih terlihat dari tempatnya berdiri. "Kok tumben pulangnya nggak sama pacar kamu itu?"

Helene langsung menoleh. "Tadi pulang sekolah langsung ke rumah temen, nggak sempet ngabarin Virgo."

"Temenmu yang mana? Mama tadi liat Vega jalan sama cowoknya."

Sekakmat. Helene hanya dapat menggaruk tengkuknya sambil mencoba berpikir bagaimana cara menjelaskan ini kepada Mamanya. Kalau biasanya nama Vega yang sering menjadi alasannya, kali ini tidak.

"Ya, ada, temen Helene kan nggak cuma Vega."

Rosa menatapnya penuh selidik. "Cowok apa cewek?"

"Ish, Mama kok jadi protektif gini?" Helene mencoba mencairkan suasana yang nampaknya mulai menegang.

Tatapan itu berubah, Rosa kemudian mengelus rambut putrinya pelan. "Nilai kamu banyak yang turun, Mama nggak suka kalo kamu bergaul sama temen yang nggak bener."

"Temen Helene bener kok, bener-bener temen." Ucapnya lalu tersenyum seolah meyakinkan Mamanya. Dan gurauan yang dibuatnya harus berakhirkan dengan sentilan di dahinya.

***

Bagi Helene hal yang paling menyenangkan dalam hidupnya adalah bisa bernapas lega tanpa satupun ucapan pedas Leo. Namun, sepertinya itu tidak akan pernah terjadi selagi cowok itu masih ada di muka bumi.

Rasanya tidak ada satu hari pun dia lewatkan tanpa melihat wajah menyebalkan Leo. Wajah yang selalu mendatangkan amarahnya. Ingin mencekik leher Leo adalah salah satu dari sekian keinginan Helene yang belum terealisasikan. Atau mungkin tidak akan pernah terealisasikan.

"Wih! Dateng juga lo!"

Leo, cowok yang kini duduk di sampingnya. Disambut kedatangannya oleh kedua sahabatnya setelah sehari absen dari kelas. Helene malas melihatnya, sesekali dirinya hanya melirik ke samping.

"Udah sembuh?" tanya Riski.

"Udah."

Candra tersenyum menggoda. Mendekatkan kepalanya seperti hendak membisikkan sesuatu kepada Leo. "Lo kemarin ngapain aja sama Helene?"

Riski pun ikut mendekatkan telinganya, memunculkan seringaian yang dapat dilihat oleh Candra dan Leo. "Iya nih, nyuruh kita pulang segala lagi."

Helene melirik mereka dari ekor matanya. Pura-pura tidak mendengar dan menyibukkan diri dengan ponselnya. Walaupun secara langsung telinganya masih mendengar semua pembicaraan mereka bertiga.

"Ngapain apanya, bikin bubur aja rasanya ancur." Ujar Leo.

Helene meletakkan ponselnya ke meja. Menoleh ke arah ketiga cowok itu. "Kalo lo tau rasanya bakal ancur ngapain nyuruh gue?!"

"Masih untung juga nggak gue kasih racun beneran," lanjutnya sedikit melirihkan suaranya.

Meskipun dalam gumaman, baik Leo, Candra maupun Riski dapat mendengar perkataannya. Helene sudah terlanjur kesal karena pancingan perkataan Leo.

"Waduh!" Candra bergeleng kepala sambil berdecak. "Ganas." Lanjutnya.

"Kejam." Timpal Riski.

Perbincangan sengit itu harus berakhir karena guru yang mengajar kelas mereka sudah datang. Bu Astrid seakan menyelamatkan Helene dari amarahnya sendiri, kalau tidak mungkin perang baru saja dimulai.

***

Jam istirahat begini tidak menutup kemungkinan jika koridor nampak sepi. Jalur utama untuk bisa sampai ke kantin itu tidak pernah lekang dari hilir mudik siswa.

Helene yang berjalan sendiri di koridor itu merasa kalau langkahnya diikuti seseorang. Cewek itu hendak ke kantin seperti halnya siswa-siswa lain. Helene dapat mencium aroma yang sangat dia kenali dari depan. Dia tahu betul orang ini siapa.

Helene berbalik langsung. "Lo ngikutin gue?"

"PD." Jawab Leo dingin.

Helene kemudian melanjutkan langkah kakinya lagi. Tapi langkahnya itu seperti masih diikuti seseorang. Untuk kedua kalinya Helene refleks berbalik. "Ngapain sih di belakang gue?!"

Sangat terkejut. Itu yang Helene rasakan kali ini. "Gue mau ke toilet." Jawab seorang cewek yang merasa diberi pertanyaan olehnya.

Ternyata orang yang berjalan di belakangnya bukan Leo. Melainkan seorang siswi kelas sebelah. Sejak kapan dia disana? Pikirnya. Padahal baru beberapa waktu lalu orang yang berhalan di belakangnya adalah Leo dan sekarang sudah berganti saja.

Jangan-jangan dari tadi emang tuh cewek yang ada di belakang gue. Bodoh, Helene! Ya mana mungkin.

***

18 Juli 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang