Re-frain 43 | Mulai Sekarang

34 2 0
                                    


Beberapa hari sebelum sebuah insiden besar yang ada di sekolahnya, Leo sudah mendapatkan sebuah wejangan dari Papanya. Dalam setiap anak kalimat yang dikatakan Roy, pada akhirnya bisa mendobrak pintu hati Leo yang sempat terkunci dari dalam itu.

"Dari mana Papa tau?"

"Mama kamu yang cerita sama Papa."

"Le, kamu tau kan, air itu sifatnya bagaimana? Pointnya kali ini beda tapi prinsipnya sama, kamu itu gelas, dan air itu ego yang ada di dalam diri kamu. Kalau kamu tidak bisa mengatur porsi yang tepat ketika menuangkan air, dia pasti akan meluap dan tumpah. Tinggal tangan kamu yang mengendalikan seberapa perlunya air yang akan kamu tuang.

"Setiap manusia kan punya ego, tapi bukan berarti mereka akan mempertahankan egonya masing-masing."

Setiap kalimat yang diucapkan Roy seakan membuka jalan pikirannya. Bentuk kemarahannya juga bukan hal yang salah jika dilihat dari sudut pandang berbeda. Seberapa marahnya seorang anak ketika melihat sebuah titik awal kehancuran dalam keluarganya, itu yang Leo rasakan saat itu.

"Begini ya, Nak, menurut Papa tidak ada salahnya memberi kesempatan. Papa juga sudah memaafkan Mama kamu semenjak saat itu. Kamu lihat kan, hubungan kami tetap baik-baik saja meskipun sudah tidak bersama."

Lagi-lagi Leo membuang napas. "Membuka kesempatan bukan berarti menyiapkan diri untuk mengulang kesalahan. Justru dengan kesempatan kedua yang akan membuka jalan pikir kita menjadi lebih dewasa. Jangan sampai menyakiti perasaan orang lain hanya karena ego sendiri."

"Lebih baik kamu bicara baik-baik sama Mama kamu. Mau bagaimanapun dia orang yang sudah melahirkan kamu. Kamu semakin dewasa, Le, apalagi semenjak kamu tinggal di apartemen sendiri."

Papanya sudah banyak membantunya untuk kembali pada realita. Di mana dirinya harus melewati sebuah ketegangan dalam hidupnya yang sudah melibatkan orang asing. Leo harus memilih mana yang menurutnya harus dan wajib dia pilih. Tidak seharusnya juga Leo terus mempertahankan keteguhan hati atas egonya. Dia harus segera beranjak dari sebuah jurang ini.

***

"Ma, Helene keluar bentar ya." Helene berjalan keluar setelah berpamitan dengan Mamanya yang sedang berada di teras belakang rumahnya bersama dengan Tania. Papanya sedang tidak ada di rumah untuk sekarang hingga beberapa hari ke depan. Dan Helene hanya akan ditemani Mama dan kakak perempuannya.

"Mau kemana?"

"Ke minimarket depan, ada yang mau dibeli."

Angin malam ini terasa nyata menerpa kulit wajahnya. Hanya dibaluti hoodie "Champion" berwarna putih dan celana jeans hitam, Helene berjalan di trotoar dengan kondisi jalanan yang ramai. Dirinya sengaja keluar sendirian untuk sekadar menghibur hatinya. Melihat gemerlap lampu-lampu di jalan membuat suasana malam yang dingin ini berhasil teralihkan.

Kakinya masih terus bergerak ke depan. Beberapa langkah lagi Helene akan sampai di tempat yang dituju. Namun, dalam sekejap Helene harus berusaha menarik tubuhnya karena sesuatu yang dengan tiba-tiba mengunci pergerakannya. Helene tidak bisa berteriak karena mulutnya dibekap oleh seseorang dari belakang.

Seseorang tersebut membawa Helene ke suatu tempat yang diketahuinya adalah sebuah gang kecil. Seakan melenyapkan kebisingan dari ramainya jalan raya. Tangan Helene terus berusaha melepas tangan lain yang berada di antara mulutnya. Hingga pada akhirnya dia bisa bernapas lega tanpa meronta. Helene sudah ingin meluapkan kemarahannya di depan orang ini, tetapi suara yang masuk lewat telinganya merubah keinginannya.

"Len?"

Helene hanya bisa mematung. Ketenangan yang tercipta dari wajah cowok itu membuatnya tak bisa berkata.

"Le-" nadanya tercekat di tenggorokan.

"Gue minta maaf, Le. Gue tau gue emang salah. Gue cuma-"

"Len, gue nggak minta lo ngomong. Gue cuma butuh lo dengerin apa yang gue mau bilang."

Dan sekarang, waktu seolah berhenti tepat di depan tubuhnya berdiri. Jantungnya sudah dibuat berdetak tidak karuan hanya karena menunggu kalimat yang akan didengarnya. Helene masih menghitung dalam hati sebelum Leo akhirnya mulai membuka suara.

"Gue mau lo jadi cewek gue."

"Gue nggak butuh jawaban dari lo, karena gue tau lo bakalan balas perasaan gue sebelum gue minta terang-terangan. Lo suka sama gue, Len, dan gue pun nggak bisa menampik fakta kalo gue udah terlanjur sayang sama lo."

"Leo-"

"Gue minta sekali lagi sebelum gue berubah pikiran, gue mau lo jadi cewek gue, Len."

Tanpa ba-bi-bu, Helene langsung menghamburkan pelukan kepada sosok yang berdiri nyata di hadapannya. Kakinya sedikit berjinjit untuk bisa meraih leher si pemilik tubuh jangkung ini. Sesekali pula, Helene menyembunyikan senggukan kecilnya dari Leo. Dia mengangguk samar.

"Gue-"

Leo menundukkan tubuhnya. Meraih tubuh Helene untuk masuk ke dalam dunianya. "Gue tau, Len."

"Lo lucu kalo lagi cengo." Ucap Leo yang langsung dibalas pukulan oleh Helene.

Helene kemudian menarik tubuhnya. Menatap sekilas dengan wajahnya yang tersenyum kepada Leo. "Makasih, Le. Gue nggak tau lagi mau ngomong apa."

"Nggak usah ngomong. Gue juga nggak mau denger." Senyuman di sudut bibirnya mendadak mengaku. Tangan Helene kembali bertaut pada tubuh Leo. Berusaha menyembunyikan senyumannya. Helene merasakan usapan yang begitu lembut bersarang di puncak kepalanya. Helene juga merasakan kalau dagu Leo sengaja ditempatkan di atas puncak kepalanya untuk beberapa saat.

Matanya memejam. Melupakan segala kebisingan yang seakan hendak menyampuri urusannya malam ini.

***

25 Juli 2021

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang