Re-frain 10 | Sweet Act

19 4 0
                                    

Tidak ada persiapan yang matang darinya kecuali mengenai pakaian dan sepatu mana yang akan dia pakai. Hari ini adalah hari tepat di mana dia harus ber-acting manis dengan seorang manusia paling menyebalkan di dunia. Musuh terbesarnya, Leo Alvarendra. Orang yang selama ini masa bodoh dengan urusan sepenting ini.

“Cantik banget anak Papa.”

Helene tersenyum simpul menambah kecantikannya semakin sempurna. “Anak Mama kan emang cantik.” Sahut Rosa.

“Berarti emang cantik Helene ya daripada Tania?” Helene melirik Tania yang memilih diam.

“Yang paling cantik itu Mama, kalo Mama nggak nikahnya sama Papa, ya nggak jadi kalian lah.”

Seisi ruangan tertawa, termasuk Rosa yang wajahnya memerah tampak menahan malu. Yang Helene sukai dari keluarganya adalah ini, kehangatan. Helene dapat merasakan itu setiap kali mereka ada. Ditambah lagi senyum merekah dari kedua manusia hebat di depannya ini.

“Berangkat gih!”

“Iya.”

Marchel menatap putrinya yang berjalan menjauh. “Udah kayak mau naik pelaminan aja.”

Tak disangka jika Helene masih bisa mendengar itu. Sambil berjalan keluar dia membalas ucapan Papanya. “Helene udah siap kok, setahun lagi juga boleh.”

“Sekolah yang bener dulu! Sekolah aja belum bener!” Teriak Mamanya.

***

Baru saja turun dari mobil Tania, Helene sudah mendapat pekikan dari Vega. Bahkan semua orang yang berada di sana langsung memperhatikan mereka. Terpukau. Itu yang pertama kali mereka lihat dari Helene. “Ya ampun, Helene! Ini lo?!”

Helene tersenyum paksa. “Bukan.”

“Len, lo ternyata cantik juga ya.” Sahut Candra yang baru saja datang bersama dengan Riski. Tapi di antara mereka, tidak ada Leo. Padahal biasanya mereka bertiga selalu lengket ke mana-mana.

“Makasih loh hujatannya.” Mereka kemudian berjalan melalui beberapa ruangan kelas untuk dapat ke kelas mereka. Helene menyapu pandangan ke setiap sudut ruangan. Namun, tidak sekali pun Helene melihat keberadaan manusia menyebalkan itu di antara manusia yang berlalu lalang.

Di mana sih, tuh orang? Jangan-jangan nggak masuk lagi?

“Tapi lo beneran cantik.” Ucap Candra lagi.

“Rasanya kayak dateng ke nikahan mantan. Kalau boleh gue mau cemburu, sama Leo pula.” Helene memandang ke arah lain sambil  tersenyum kecut menanggapi perkataan Candra.

That is impossible,” gumamnya.

“Lo ngapain disini?” Helene menoleh ke sumber suara.

Dia menyipitkan matanya. “Lo dari mana aja sih?” tanyanya.

Seperti biasanya, kegaduhan yang dibuat antara Leo dan Helene pasti akan menimbulkan perhatian khusus dari teman-temannya. Termasuk Vega, Candra, dan Riski. “Lo berdua serasi, mending nggak usah berantem hari ini.”

“GAK!” Sangkal keduanya serempak sambil melihat Vega.

“Bilang enggak aja bareng,” gumam Vega

Leo mendekat. “Ke aula sekarang!”

Helene hanya memasang muka kesal. Memandang punggung cowok yang berjalan mendahuluinya. Helene sulit mengimbangi langkah cowok itu, berhubung hari ini kakinya tidak sebebas hari biasa.

“Lo kalo jalan nggak bisa pelan apa? Nggak liat gue gimana?”

Leo berbalik. Membiarkan Helene yang mendekat. “Cerewet banget sih lo!”

“Jalan lama kayak siput.” Ejek cowok yang kini sudah berada di depannya. Terlihat lebih keren mengenakan beskap dengan bawahan celana hitam yang tentunya juga memakai kain jarik yang senada dengan yang dipakai Helene.

“Bentar,” Helene berpegangan kuat pada Leo. Hendak melepas kedua heels-nya satu per satu. Mengabaikan tatapan Leo yang begitu intens. Helene masih sibuk dengan sepatunya.

“Jangan gerak!”

Kedua kakinya sudah telanjang. Seusai melepas pegangannya pada Leo, gadis itu malah berjalan terlebih dulu sambil menenteng sepasang sepatunya. “Lo mau apa sih?”

“Jalan!”

Dasar cewek aneh!

***

Mereka sudah ada  di sini, di aula tempat berlangsungnya acara perlombaan peragaan busana yang mengangkat tema nusantara. Patut diapresiasi memang, SMA Buana tetap konsisten untuk menjaga kelestarian adat budaya Indonesia. Dengan dibuktikan seperti ini, acara pertama di hari kedua setelah pembukaan perlombaan yang diselenggarakan setiap tahun.

Menyemarakkan kegiatan Agustus selalu disambut sukacita oleh segenap putra-putri bangsa. Berbagai perlombaan pun dilaksanakan untuk tetap berpegang teguh pada keharmonisan dan kebersamaan. Baik di sekolah maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

Tahun lalu, Helene hanya mengikuti lomba yang berada di lapangan. Itu mungkin tidak ada masalah, tapi di tahun kedua ini, dirinya diharuskan untuk berada dalam masalah yang sangat serius.

Helene sedari tadi mendecakkan mulutnya. Benar-benar merasa bosan karena menunggu. Setelah dua nomor urut sebelum nomor urutnya, Helene kemudian mulai bergerak untuk mengambil posisi.

“Pegangan!”

Helene berkerut kening. “Pegangan apa?”

“Apanya pegangan apa? Lo tuli?”

“Gue nggak mau dipermalukan cewek macam lo!” Lanjut Leo pelan dengan nada penekanan.

Helene hanya mendengus. “Jangan ngajak ribut, deh!”

“Nggak usah ngeraguin gue. Gue biasa make heels.” Sahutnya dengan angkuh.

Kalau hanya memakai heels, mau berapapun itu tingginya, Helene bisa saja. Tapi yang dimaksudkan Leo adalah ketika tiba-tiba ada yang bisa membuatnya jatuh tersungkur di depan umum itu kan memalukan. Setidaknya ada tautan yang mengantisipasinya untuk tidak langsung mencium lantai.

Helene melupakan sesuatu. Dia langsung memicingkan matanya menatap Leo. Telunjuknya itu ikut menunjuk cowok di sampingnya ini. “Atau lo cuma modus biar bisa nempel gue?”

“Jangan gr,” Leo menurunkan telunjuk Helene, “Kalo bukan karena Bu Anna, gue nggak mau kali kayak gini.”

“Lo pikir gue mau? Enggak. Pasangannya lo pula.”

Helene akhirnya menautkan lengan kanannya pada Leo. Sangat risih jika harus berdekatan dengan Leo. Apalagi dengan tautan antara lengan mereka seperti ini.

“Leo lo nggak lupa caranya senyum kan? Jangan malu-maluin gue!” Bisiknya dengan sedikit menggerakkan bibir seakan tidak sedang berbicara.

“Oh, iya, kalo jalan jangan kayak lagi ngejar maling, lo nggak mau kan nanggung resiko—“

“Mending lo diem.” Sekejap Helene langsung bergeming. Perhatiannya teralihkan oleh suara panggilan dari mikrofon.

Tepukan riuh dari penonton menyambut mereka berdua. Sesuai perjanjian yang baru saja mereka sepakati di awal. Helene mulai berjalan dengan lengan yang berpaut pada Leo.

Kok gue jadi deg-degan gini ya? Kayak nggak pernah aja, seharusnya juga biasa kan? Batin Helene.

***

Guys, ini harusnya setting di Agustus tapi aku publish sekarang yaa


25 Juli 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang