“Selamat pagi, anak-anak!”
“Pagi, Bu!”
Tatapan heran dari seluruh isi kelas menerima kedatangan Bu Anna. Wanita itu sudah berdiri di depan kelas. Hari ini bukan waktunya untuk menerima pelajaran Bahasa Indonesia, tapi mengapa guru wanita itu justru memasuki kelas mereka?
“Berhubung hari ini Pak Broto tidak dapat mengisi kelas, jadi kalian diminta mengerjakan tugas dari buku halaman 48-50!”
Raut wajah dari sebagian siswa berubah ceria. Karena selama berapa waktu ke depan, kelas mereka akan terbebas dari Pak Broto. Hanya soal yang harus mereka kerjakan itu bukanlah hal yang menyulitkan. Mungkin berapa menit pertama setelah tugas selesai, kelas mereka akan tersulap menjadi sebuah mini konser.
“Jangan ramai!” Titah Bu Anna.
“Ketua kelas dikondisikan ya!” Tunjuk Bu Anna kepada ketua kelas kepercayaannya, Tama.
“Baik, Bu.”
“Nanti kalau sudah selesai, dikumpulkan di mejanya Pak Broto!”
“Ferdi, kamu bisa ikut saya sebentar?”
“Bisa, Bu.”
“Yang lainnya kerjakan ya!”
Bu Anna kemudian meninggalkan kelas mereka bersama dengan salah satu siswa yang dibawanya. Terkesan terburu-buru seolah sedang disibukkan dalam urusan lain. Guru itu tidak mengatakan apa pun kecuali tugas dari Pak Broto, namun sebagian siswa yang bergaul dengan anggota OSIS pasti mengetahuinya.
“Pasti mau ngurus soal acara tahunan itu?” Sahut Vega seraya mulai mengerjakan tugasnya.
Secara otomatis Candra yang duduk di sampingnya langsung mendengar perkataan Vega. Cowok itu menimpali ucapannya. “Acara tahunan buat angkatan kita?”
“Iyalah.”
“Tanggal berapa sekarang?” Cowok itu kembali bertanya.
Vega menghentikan gerakan tangannya yang baru menulis jawaban nomor satu. Mendengus sebal terhadap orang ini. Kemudian dirinya memfokuskan pandangan ke arah Candra. “Makanya dibayar tuh kas kelas, udah nunggak berapa kali juga.”
Candra mengernyit. “Hubungannya apa sama kas?”
“Kalo lo bayar kas, otomatis lo tau sekarang tanggal berapa. Tunggakan lo banyak dari bulan kemarin.”
Vega, yang berkedudukan sebagai bendahara kelas sering kali melibatkan semua percakapan yang berhubungan dengan kas kelas mereka. Terutama kepada siswa yang sulit disuruh untuk membayar seperti Candra misalnya. Cowok itu hanya menghela napas menanggapi perkataan Vega yang menyindirnya.
***
“Udah nyiapin apa buat dua minggu lagi?”
Helene mendongak sebentar. “Enggak. Gue nggak nyiapin apa-apa. Itu acara biasa bukan mau pemilihan Miss Indonesia, ngapain butuh persiapan segala?”
Helene kembali melanjutkan makannya. “Enteng ya situ ngomong?”
“Iya.”
“Emang apa coba yang harus disiapkan?” Cewek itu malah bertanya kepada Vega.
Setelah mendapatkan surat edaran—mengenai acara tahunan seperti apa yang dikatakan Vega sewaktu kelas mereka diberi tugas oleh Bu Anna—Helene baru mengingat sesuatu mengenai acara tersebut. Acara yang sekarang sudah menjadi topik pembicaraan oleh seluruh angkatannya.
“Mental misalnya, duit, fisik? Itu sih.”
“Gue udah punya semuanya, ngapain disiapin? Lo juga punya kan?” Ujarnya menganggap ringan sesuatu yang sedang mereka bahas.
Helene tidak pernah sibuk memikirkan sesuatu yang tidak perlu dibuat repot. Baginya, sebuah persiapan itu tidak selalu diperlukan untuk acara yang setiap tahunnya diadakan. Termasuk acara mereka ini.
“Ya, tapi kan juga perlu..., udahlah lupain aja!”
Vega menggeser minuman Helene menjauh. Yang langsung mendapatkan sebuah tatapan tidak suka dari cewek itu. Vega hanya membalasnya dengan menyipitkan mata. “Lo udah baikan sama Leo?”
“Baikan? Emang kita lagi marahan?” Helene terkekeh kemudian. Rupanya Vega hanya ingin membahas topik ini lagi.
“Biasanya kan berantem mulu.”
“Lagi nggak mood.”
Percakapan itu baru terjeda ketika keduanya keluar dari kantin. Kemudian menelusuri koridor yang belum lengang hingga sampai ke kelas mereka. Tampaknya Vega masih menyimpan percakapan yang belum rampung tersebut.
“Siapa yang nggak mood? Doi atau lo?” tanyanya lagi.
Helene menarik napas berat. “Dua-duanya.”
“Cieeeee..., kok lo tau? Jangan-jangan lo suka beneran sama Leo?”
“Apaan sih?” Helene menyatukan kedua alisnya. “Jawaban gue tetep ya, nggak bakal.”
***
Bel pulang sudah tidak menyisakan lagi siswa di kelas. Seluruhnya langsung membubarkan diri dengan hanya beberapa siswa di koridor yang juga ingin pulang. Helene berjalan menyusurinya sendirian. Namun ketika melihat sebuah punggung yang dia kenali, cewek itu mencoba menyejajarkan langkah.
“Lo udah mood belum?” tanyanya.
“Apa?” tanyanya sebagai jawaban untuk seseorang yang tiba-tiba berada di sampingnya. Dia sama sekali tidak menoleh untuk melihat siapa yang mengajaknya bicara. Helene rasa cowok ini terlalu hapal dengan suara manisnya.
“Enggak, kalo misal belum mood, mending gue nggak les dulu.” Ucapannya membuat Leo seketika memandangnya.
Cowok itu menatapnya dengan tatapan dingin. “Lo tetep masuk.” Ucapan itu lolos membuat Helene terenyak.
Helene kemudian tersenyum setelah Leo berjalan mendahuluinya. Dia menyamakan langkah untuk kedua kalinya. “Kenapa gue harus tetep masuk sih setiap hari?”
“Cuma tiga hari seminggu, susahnya apa?”
Cewek itu menunjukkan seringaiannya tanpa Leo lihat. Untuk hari ini, setidaknya dia tahu kalau Leo tidak akan membentaknya seperti kemarin. Helene menyadari jika kondisi cowok itu saat ini sudah kembali seperti sedia kala.
***
Ummm, ingin kutuntaskan sekarang tapi tidak boleh 😭
Cerita si anak tengah aja belum selesai, masa si bungsu mau melangkahi, kan tidak bisa seperti itu.Baiklah, selamat membaca ya, teman-teman!
Semoga terhibur 😉8 November 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021