Re-frain 15 | Senin

22 3 0
                                    

Cowok berkaos hitam legam itu tiba-tiba melempar ingatannya pada kejadian tadi siang. Di mana saat Pak Imron tiba-tiba menghampirinya di koridor. Langkahnya untuk ke toilet harus terhenti secara mendadak karena panggilan dari suara Pak Imron.

“Leo!”

“Kamu sibuk?” tanya Pak Imron.

“Tidak, Pak. Memangnya ada apa ya?”

Pak Imron menepuk bahunya pelan. “Kamu bisa menggantikan saya?” Leo sedikit berkerut kening menunggu kelanjutan dari perkataan guru di hadapannya itu.

“Untuk menjadi tutor matematika anak teman Bapak.”

“Bapak tidak bisa, tapi Bapak sudah terlanjur menerima, jadi Bapak rasa kamu bisa membantu.”

Leo melihat jelas sebuah harapan yang ada pada tatapan Pak Imron itu agar dia menerima tawarannya.  “Kamu nggak perlu khawatir kalau soal bayaran,—“

“Maaf, Pak, saya tidak mempermasalahkan mengenai uang, tapi saya sangat menghormati Bapak.”

Tidak disangka jika kalimatnya itu bisa membuat Pak Imron mengulaskan sebuah senyum. “Terima kasih.”

“Nanti Bapak ajak kamu ketemu dengannya, dia teman sekelas kamu juga.”

Bahkan orang yang tidak pernah dia sangka sebagai anak dari teman Pak Imron adalah seatmate-nya sendiri. Mengapa Pak Imron tidak mengatakan langsung padanya? Tapi mau dia tahu sebelumnya, pantaskah kalau dia harus menolak?

Cewek berambut gelap yang menunduk di tempat duduknya itu langsung mendongak kemudian berdiri. Cewek yang menatapnya dengan ragu itu berkata, “I-ini maksudnya?”

“Leo yang akan menjadi tutor buat kamu.”

“Harus ya, Pak?”

Kalau boleh Leo ingin menyela untuk mengatakan kalau dirinya juga menolak keras jika Helene yang akan dia tutori. Tapi dengan cara ini sepertinya dia telah menang dari Helene. Setidaknya dengan ini pula dia dapat menyumpal mulut cewek yang kelewat bawel itu.

***

Leo
Ke apart gue!

Helene menatap layar ponselnya sambil menahan kekesalannya yang masih memuncak. Dia kemudian memasukkan ponselnya setelah membuka pesan yang baru masuk. Sangat tidak berniat untuk membalasnya.

Kalau Helene membalasnya itu sama saja dengan memercikkan api kekesalan pada dirinya sendiri. Belum tentu juga Leo menjawab, cowok itu kan tidak akan mengirimkan pesan apapun kecuali memang atas kebutuhannya.

“Kita jadi shopping?” tanya Vega yang membuatnya langsung mendongak.

“Enggak, gue harus memenuhi tanggung jawab.”

“Hah?”

“Gue harus les privat.” Ulangnya mengoreksi kalimatnya awal.

Helene menggeser minumannya menjauh. Berhenti untuk mempermainkan sedotan yang digunakan untuk mengaduk-aduk minumannya. Tubuhnya kini menghadap penuh ke arah Vega.

“Sejak kapan?”

“Hari ini.” Helene menarik napas panjang. “Gue sebel sama Bokap gue, masa harus banget sih, pake segala ditutorin? Udah gitu ngancem kalo gue nggak mau, segala aktivitas gue mau dibatesin.”

“Bagus, dong.”

Apa ini? Kenapa tidak ada yang membelanya dalam posisi yang sangat tidak tepat ini. Helene menyipitkan matanya. “Bagus apanya?”

“Lo kan jadi makin pinter, setidaknya Bokap lo nyekolahin lo nggak rugi-rugi banget gitu.” Helene hanya memutar matanya 360 derajat. Perkataan Vega tidak membantunya sedikit pun.

Masalahnya ini sama Leo!

***

“Kerjain tuh soal!” Titahnya sambil meletakkan sebuah buku tebal yang baru dia buka.

Cewek yang duduk di atas karpet, menghadap ke meja itu menatapnya. Ini hari perdana seorang Leo mengajarkan sebuah materi kepada seseorang yang itu adalah Helene. Materi seperti apa yang sudah Pak Imron terangkan di kelas namun tidak dianggap oleh cewek ini.

“Lima menit.” Lanjutnya.

Helene mendelik. “Hah?!” Menatap bergantian buku dan dirinya yang duduk di sofa.

“Hah, hoh. Kerjain!”

Leo terus mengamatinya selagi soal-soal itu terisi jawabannya. Cewek yang masih menggerutu kesal karena merasa kesusahan. Tangan cewek itu masih terus bergerak menulis maupun mencoret-coret bilangan yang ditulisnya sendiri.

“Susah!” Gerutu Helene sebelum mengangkat buku penuh angka itu dan memberikannya kepada Leo.

Helene menyodorkan bukunya dengan tidak ikhlas. “Nih!”

Baru melihat nomor kedua yang ada pada buku kotor itu, Leo menatapnya heran. Cewek di depannya ini justru sibuk memainkan pulpennya. “Lo paham caranya nggak sih?”

Helene menatapnya. “Ini dikali bukan dibagi.” Tidak lama kemudian membuang muka.

Tingkah Helene yang masa bodoh itu semakin membuatnya geram. Leo mengambil penghapus lalu melemparkannya tepat pada jidat cewek itu.

“Aduh! Kasar banget jadi orang!” Pekik Helene.

“Dengerin!”

“Ganteng kok kasar. Rugi dong, Mas,” gumam Helene sangat lirih.

Tapi Leo bisa sedikit mendengar perkataannya meski tidak sepenuhnya jelas apa. Leo yakin jika perkataan itu ada sangkut-paut dengan dirinya. Cewek itu kan sering mencari ulah dengannya. “Apa?”

“Enggak. Emang gue ada ngomong?” tanya Helene seolah tidak mengatakan apa-apa.

Leo hanya berdecak. “Fokus!”

“Nggak fokus, jangan pulang.” Ucapannya langsung disambut tatapan tajam oleh Helene. Merasa tidak pernah setuju dengan sebuah keputusan yang selalu merugikan baginya.

***

Yeay
Besok sudah Senin🌞
Awal pekan harus semangat
Re-frain update lagi hari ini 🥰
Selamat membaca
Selamat beristirahat 💛💛


23 Agustus 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang