Re-frain 26 | Nightmare

14 2 0
                                    

Air matanya sudah ditahan sejak kepergiannya tadi. Bel yang ditekannya berkali-kali itu belum juga berhasil membuka pintu yang tertutup rapat di hadapannya. Lagi, Helene menekannya sekali lagi.

Helene langsung berlari masuk lalu menghamburkan pelukan kepada orang yang membuka pintu. Dia melemparkan begitu saja kedua tongkatnya. Tangisnya pecah seketika. Sudah terlalu lama sepertinya Helene menahan. Sekarang waktunya untuk menumpahkan semua kesedihannya.

Helene memeluk bahu cowok itu lumayan erat. Otaknya sudah tidak memikirkan lagi jika cowok yang dipeluknya ini marah atau yang paling kasar mendorongnya. Helene hanya perlu ini.

Di tengah isakannya yang terdengar menyakitkan, samar-samar Helene mendengar sebuah bisikan yang mengalun lembut di telinga kanannya. Sebuah bisikan yang menyuruhnya untuk lebih tenang. Namun, itu hanya akan mengingatkannya dengan peristiwa yang sangat membuatnya terpukul.

***

Helene bahkan tidak membiarkan cowok yang dipeluknya ini untuk sekadar beralih menutup pintu. Helene menggeleng kuat saat Leo menyuruhnya untuk melepas pautan itu sebentar. Leo hanya ingin menutup pintu yang masih dibiarkan terbuka, namun dengan terpaksa juga kakinya yang kemudian bergerak. Mendorong pintu itu dengan kesulitan untuk kembali tertutup.

Sesuatu tiba-tiba yang Helene lakukan sangat membuat otaknya seakan dihantam sesuatu yang aneh. Cewek itu datang malam-malam, menekan bel apartemennya dengan sangat tidak sabaran. Dan tiba-tiba sekarang memeluknya dengan sebuah tangisan.

Leo menghela napas. Namun, cewek ini malah mengeraskan tangisnya serta mengeratkan pelukan terhadapnya. Cowok ini melepas kedua lengan Helene lalu menahannya untuk tetap berdiri. Matanya menatap cewek yang masih mengalirkan air mata dari pelupuk matanya. Melihat hal itu, hatinya seperti tergores atas kesedihan yang dialami Helene.

“Lo kenapa?” Helene memejamkan matanya. Tangisnya tersedu-sedu, membuat Leo tidak tega jika harus membentaknya. Kedua tangannya berpaut pada kedua lengan Helene yang juga memegang lengan atasnya lumayan kuat. Tidak ada jawaban sama sekali selain sebuah dekapan yang kembali diterimanya.

***

“Lo mau sampai kapan diem?”

Helene hanya menggeleng. Air matanya sudah berhenti namun senggukannya masih lamat-lamat terdengar. Leo baru meletakkan kedua tongkat Helene di samping sofa tempat cewek ini duduk.

Helene duduk di sofa depan televisi di apartemen Leo. Sudah sejak tadi cewek itu betah memendam semua keluh kesahnya. Bahkan alasannya menangis saja belum terucapkan kepada Leo.

Dapat dilihat jika cewek ini menjatuhkan pandangannya jauh ke lantai. Tatapannya kosong. Entah apa yang ada dipikirannya, Leo sama sekali tidak tahu. Sejak dua puluh menit yang lalu Helene berhasil diam dari tangisnya.

“Ada masalah apa?” tanyanya sangat tenang.

Helene kembali menangis. Sudah salah jika Leo menanyakan hal itu kepada Helene. Masih sangat segar di ingatannya mengenai kejadian tadi sebelum berakhir di sini. Di mana sebuah kepercayaannya dengan mudah digores tajamnya sebilah pedang kepalsuan.

Suara tangisnya seketika teredam ketika sebuah tarikan lembut atas kepalanya. Leo mendekap Helene di dadanya. Mungkin ini akan sedikit memberi ketenangan untuk cewek yang ada di sampingnya. Lewat usapan lembut yang tersalur pada surai hitam panjang yang tergerai bebas itu.

Leo mengelus rambutnya begitu lembut. Membuat hati Helene serasa dicabik-cabik oleh perasaan yang sama yang pernah diterimanya dari orang lain. “Virgo....”

***

“Oh, jadi ini yang namanya di London?!”

Setiap kali matanya terpejam, selalu kejadian itu yang menerobos masuk ke dalam pikirannya. Selalu bisa hati Helene dibuat menangis hanya karena kesalahannya sendiri.

Cewek berpiyama merah muda ini menatap nanar sebuah bingkai foto yang terdapat kedua insan yang tertawa lepas. Meremas bingkai berwarna putih itu kuat-kuat. Seolah dengan cara itu emosinya bisa tersalur. Bibirnya ingin menyunggingkan senyum atas kebodohannya. Namun hatinya tidak sinkron dengan hal semacam itu.

Sangat jelas untuk dilihat dalam ingatannya semua perkataan yang Virgo katakan padanya. Bahkan setiap gerak-gerik yang Virgo lakukan masih terekam jelas dari depan matanya.

Helene kembali menunduk, menatap foto dalam genggamannya. Air matanya lagi-lagi lancang mengalir.

“Len, aku bisa jelasin.”

“Jelasin apa lagi? Jelasin soal dua bulan yang lalu lo ngilang, bilangnya balik ke London. Dan ternyata lo di sini sama cewek lain?!”

“Len, denger dulu!”

“Denger apa?”

“Dengerin lo minta maaf?!”

“Gue malu tau nggak? Malu sama diri gue sendiri, kenapa gue bisa kenal sama cowok macam lo!”

“Len, tunggu!” Virgo meraih lengannya, namun Helene sesegera mungkin menepisnya. Sama sekali tidak ingin melakukan kontak fisik dengan manusia ini lagi.

“Jangan ngomong sama gue lagi!”

“Helene!”

Bingkai foto itu berhasil melayang bebas di udara hingga membentuk kerasnya dinding. Berbarengan dengan pekikan keras yang mencelos dari mulutnya. “Aaarghh!”

Seolah mimpi buruk, Helene ingin segera bangun dari sana. Kembali ke kehidupannya yang nyata, yang tenang, tanpa sebuah perasaan yang mengusik layaknya mimpi buruk. “Len!”

***

3 of 3
Special edition for today!
Selamat membaca 💖

24 Maret 2021

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang