Re-frain 3 | Matematika

61 6 0
                                    

"Ngasih soal apa sih ini?" Gerutu Helene sambil membolak-balikan soalnya. Menatap miris soal yang terlihat rumit itu.

Baru terlihat nomor pertama saja, perutnya hendak muntah. Bahkan kepalanya juga ikut berdenyut. Rasanya tidak sanggup untuk menyelesaikan soal ini. Tidak juga langsung mengerjakan, Helene justru hanya mencoret-coret bukunya.

Helene akui, kalau nilai matematikanya selalu pas KKM, paling kalau bisa naik, itu pun tidak jauh-jauh juga dari KKM. Nilai matematikanya mendadak turun setelah dia memasuki SMA ini. Padahal dulu waktu masih duduk di Sekolah Dasar, Helene sering mewakili sekolah untuk mengikuti Olimpiade bersama Tania juga tentunya.

Semenjak nilai matematikanya turun, Tania selalu memojokkannya, menyalahkan pacarnya atau apapun itu yang intinya berpotensi merubah nilainya. Padahal kalau dilihat dari nilai akademik lainnya, tidak ada masalah yang mencolok. Bahkan mereka bisa dibilang sangat baik.

"Susah banget sih!" Helene meletakkan pulpennya sedikit membanting. Lalu berganti meletakkan kepalanya ke atas meja dengan lengannya sebagai alas.

"Gambar grafiknya!"

Helene sontak mendongak. Menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berakhir memandang cowok yang sedang berfokus pada soalnya.

"Lo ngomong?"

Helene tidak percaya kalau Leo sedang berbicara padanya. Pasalnya, cowok itu tidak pernah bicara dengannya saat jam pelajaran seperti sekarang ini.

Leo hanya diam, tidak lagi menjawab tanya yang Helene ucapkan. Tak lama kemudian, cowok itu beranjak dari duduknya. Tidak mengindahkan tatapan tidak percaya dari orang di sampingnya.

Sumpah nih orang kadang nyebelin abis. Batinnya menatap kepergian Leo yang sempat berpamit kepada Pak Imron di depan kelas.

***

"Sudah selesai semua?" Tanya Pak Imron kepada seluruh siswanya.

Helene sudah menyelesaikan semua soal itu, beberapa ada yang menebak karena otaknya sudah tidak sanggup menghitung lagi. Ini baru pertemuan awal sudah mencekik, bagaimana kalau pertemuan selanjutnya, apa mungkin akan mati? Dan harapan Helene, semoga itu tidak terjadi.

Pak Imron memang selalu begitu, memberi soal rumit yang selalu melenceng dari contoh. Melaksanakan ulangan harian dadakan. Dan yang paling parah adalah terlalu kejam saat memberi waktu untuk ulangan.

"Baik, nilainya akan saya berikan di pertemuan selanjutnya. Pelajaran hari ini cukup. Sekian dari saya, selamat siang!"

Akhirnya, Helene bisa bernapas lega sekarang. Mengumpulkan soal tadi di lima menit terakhir sebelum pelajaran berakhir. Helene tidak tahu akan jadi apa nilainya nanti. Setidaknya dia juga tidak mengetahuinya sekarang. Kalau nilainya anjlok kan bisa serangan jantung.

"Siang, Pak!"

Masih merapikan beberapa alat tulisnya dari meja, Helene melihat Leo yang tiba-tiba berdiri. "Eh, mau kemana lo?"

Cowok itu berhenti, namun tidak berbalik. "Apa?"

"Gue mau bicara,-" belum selesai Helene berbicara, Leo sudah terlebih dulu pergi.

"Kenapa sih, selalu bikin gue kesel?" Gumamnya.

Sumpah, pengen lempar sepatu ke mukanya.

***

"Kantin, yuk!" Ajak Vega kepada cewek yang sedang menumpukan kepalanya pada tangan kirinya itu. Namun, tidak juga aja jawaban setelah tanyanya terlontar.

Vega mengetahui jika Helene sedang melamun, dia sengaja menarik lengan kiri yang berdiri di atas meja sebagai tumpuan itu. Mungkin kalau reflek Helene tidak bagus, dagunya pasti sudah membentur kerasnya meja.

Helene memekik keras. "Vega!"

"Jahat banget, sih, lo!" Makinya lalu berdiri. Keduanya berjalan keluar kelas untuk mengisi perut mereka yang sudah lapar karena mata pelajaran yang teramat menguras tenaga.

Koridor yang mereka lewati sudah ramai, itu juga berarti kalau kantin akan sesak saat mereka masuk nanti.

"Lo ngapain ngelamun? Ngelamunin Leo?" Seketika langkah Helene terhenti. Menatap tajam ke arah Vega karena sudah berani-beraninya membuat rumor yang sangat tidak benar.

"Idih, Si kripik kentang asli itu? Ya, enggaklah." Sergahnya.

Leo, bukanlah orang yang harus masuk ke dalam lamunannya. Dia itu tidak lebih dari orang yang amat sangat menyebalkan. Sudah amat, ditambah sangat pula. Bukankah itu berarti lebih dari lebih?

"Lagian gue juga punya cowok, ngapain mikirin orang nyebelin kayak dia?" timpalnya.

Vega menaikkan bahunya. "Ya, mana gue tahu, kan bisa jadi iya."

"Mustahil!"

Sangat mustahil, lanjut Helene dalam hati.

***


Eeeoo
Kok belum ada perkembangan yaa? Sepertinya harus ada strategi lain🤔

Part 3
Happy reading good people

26 Juni 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang