“Len!” Helene menoleh menanggapi keterkejutannya terhadap Tania. Menatap Tania dengan ketidaksukaannya karena sebuah toyoran kepala.
“Lo mikir apa sih?”
Tania beralih menatap jalan, sesekali menoleh ke arah Helene. “Utang negara?”
“Apaan sih? Nggak lucu tau nggak?”
“Siapa juga yang ngelawak?” Sahutnya sambil berkerut kening.
Melihat keanehan Helene dalam waktu sepagi ini membuat Tania bertanya-tanya dengan keadaan. Sejak masuk ke dalam mobil, Helene hanya menghabiskan waktu untuk melamun. Entah apa yang hinggap di pikiran adiknya ini, Tania tidak tahu.
“Lo mikirin itu siapa namanya? Leo?”
Helene mengernyit. “Hah?!”
“Ya enggak lah, ngapain gue bikin beban otak sepagi ini?”
Tania menahan tawanya. Apapun yang Helene katakan tidak akan membuat Tania percaya. Kata-kata yang terucap kadang tidak selalu sinkron dengan keadaan. Bisa jadi yang dikatakan Helene adalah sebuah kebenaran yang disangkal secara halus. “Alah, pasti iya kan? Sok-sok an ngelak!”
“Buat apa juga gue mikirin dia, toh, dia juga nggak lagi mikirin gue.”
“Cieeeee.... Lo lagi curhat apa gimana?”
“Paan sih?!” Elaknya seraya menjauhkan tangan Tania dari puncak kepalanya.
***
“Apa liat-liat?” tanyanya menghancurkan lamunan Helene. Dengan segera Helene mengerjapkan kedua kelopak matanya.
Duh, gue kenapa nih? Perasaan tadi juga sarapan.
Helene memegangi dadanya. Rasanya hampir membuat jantungnya serasa jatuh sampai ke diafragma. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba menjalar ke tubuhnya. Ini bahkan lebih tidak bisa diterima sepihak oleh Helene.
Leo memandanginya dengan tatapan heran. “Lo kenapa? Serangan jantung?”
Helene langsung melepas tangannya dari dadanya. Menyipitkan matanya membalas Leo. “Apaan? Lo kira gue manula?”
Suasana kelas yang sedang tidak ada guru itu membuat Helene berluasa untuk berkata apapun kepada cowok ini. Sebenarnya ini juga bukan pertama kalinya Helene mendapat tatapan dari seorang Leo. Bahkan jika harus dihitung, Leo sering menatap Helene ketika mereka sedang mendalami karakter sebagai siswa dan tutornya.
“Baru ditatap gitu aja udah mau semaput.”
Dasar ya, tuh mulut nggak bisa direm apa?! Nyebelin bin ngeselin!
Helene merutuki dirinya sendiri setelah Leo beranjak dari duduknya. “Nggak sopan banget sih, jantung gue! Kenapa coba harus dag dig dug ser gitu? Malu-maluin aja!”
“Apanya yang malu-maluin?”
Sebuah tanya yang datang membuat Helene terpelonjak. Vega yang secara tiba-tiba datang membuat jantungnya hampir jatuh untuk waktu yang hanya berjarak singkat. Untungnya tangannya yang suka refleks itu tidak melayangkan pukulan untuk Vega.
“Hah? Enggak, enggak ada.”
Vega beralih duduk di bangkunya dengan menghadap ke belakang tepat ke arah tempat duduk Helene. “Lo ngapain sih, Len?”
“Gue? Lagi ngitung umur dari tadi,” jawabnya asal.
Vega menautkan kedua alisnya. Yang dikatakan Helene membuatnya bingung, sedang ada yang ditutupi darinya. “Ke toilet aja yuk!”
***
“Lo melek kan? Liat noh!”
“Apa?”
Seseorang yang ditunjuk oleh Vega dari ujung koridor itu bukanlah orang asing bagi Helene. Cowok yang sedang bermain di tengah lapangan bersama beberapa temannya berhasil membuat tubuhnya berdesir. Aura dari cowok itu seolah menggertak jantung dan hatinya.
“Yakin yang kayak gitu masih bilang enggak?”
Helene memalingkan wajahnya dari tengah lapangan, “Iya,” jawabnya berusaha meyakinkan Vega oleh ucapannya.
Helene kembali melanjutkan langkahnya yang baru saja keluar dari ruang perpustakaan. Semuanya berjalan dengan baik-baik saja sebelum sebuah pekikan keras terdengar darinya.
“Aduh...!!!”
Tiba-tiba tubuhnya harus terperosot ke bawah hingga buku yang tadinya ada dalam pelukannya berjatuhan ke lantai. Helene terjatuh. Sebuah bola yang datang tepat mengenai jidatnya yang sama sekali tidak bersalah. Dalam hatinya Helene sudah memaki orang yang sengaja atau tidaknya mengenai bola basket ini kepadanya.
Vega segera menghampirinya yang terduduk di lantai. Suasana koridor tidak sedang sepi, tentu saja ini semua mendatangkan sorotan mata dari beberapa siswa yang ada di sekitarnya. Bahkan manusia yang baru saja datang dari tengah lapangan itu seakan menertawakannya.
“Lagi ngapain, Len?” tanya Candra yang datang dengan sedikit berlari. Cowok itu membubarkan beberapa orang yang hendak berkumpul dengan Helene sebagai objeknya.
“Lagi ngepel?”
Ini, orang yang sudah melemparkan sebuah bola basket padanya. Leo, siapa lagi, yang menjadi titik perhatian dari Vega tadi adalah manusia ini. Cowok itu dengan santainya bertanya kepada Helene yang baru saja bangkit dari posisinya di lantai. Mengambil bola basket itu tanpa ada rasa bersalah sedikit pun.
Helene langsung naik pitam. Bagaimana tidak, semua orang menatapnya seolah baru saja mendapatkan sebuah tontonan gratis. Helene tidak terima. Leo sudah mempermalukannya secara tidak sengaja. “Lo liat gue lagi ngapain?”
“Lo emang sengaja ngenain bola ke gue?!”
“PD!”
“Terus kenapa kalo nggak sengaja bisa kena gue?”
“Namanya juga nggak sengaja, untung kena lo bukan kaca.” Helene langsung menoyor Vega yang tengah menunduk menahan tawanya. Setidaknya jangan ikut tertawa di hadapan musuhnya.
Leo bahkan tidak mengucapkan kata maaf untuknya. Cowok itu beralih kembali ke lapangan dan memulai lagi permainan yang sempat terhenti. Helene menggertakan rahangnya kuat menatap kepergian cowok itu. “Manusia apa batu sih? Minta maaf aja enggak.”
***
Selamat membaca 💛
30 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021