“Leo!”“Lo mau sampai kapan main kucing-kucingan sama Nyokap lo?!” Teriaknya pada cowok yang memilih berjalan keluar dari kafe.
Katakan saja Helene gila. Tentu saja dia sudah merencanakan semua ini sejak awal. Membujuk Leo untuk mau diajak mampir ke kafe pilihannya adalah hal yang sangat sulitnya minta ampun. Berkali-kali Helene memohon hingga memelas agar Leo mau. Dan pada akhirnya cowok itu bersedia walaupun dia membatasi waktunya.
Tidak peduli lagi jika sekarang dirinya menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitar. Helene tetap meneriaki Leo. Cowok itu berhenti untuk sekejap, namun belum juga membalikkan tubuhnya.
Leo memilih untuk keluar dari kafe karena kegilaan Helene yang membawa Mamanya untuk bertemu dengannya. Alasan yang digunakan cewek itu adalah untuk mencoba menu baru yang ada di kafe tersebut. Padahal, Helene tahu sendiri kalau Leo sangat tidak ingin untuk menemui Mamanya, apapun alasannya.
Di belakang punggungnya, cewek itu berdiri kaku menatapnya. “Ini bukan urusan lo, Len!”
“Iya, gue tahu.”
“KALO LO TAHU, KENAPA MASIH IKUT CAMPUR?!”
Emosi Leo naik. Helene bisa melihat sebuah api emosi yang baru saja dinyalakan di atas kepala Leo. Tapi, bukan itu yang Helene harapkan dari pertemuan yang direncanakan ini.
Dadanya bergerak naik turun. Napasnya terengah tiba-tiba. Nyalinya menciut setelah Leo menggertaknya. Sebulir cairan bening mendadak meluncur dari pelupuk matanya. Hatinya luluh lantah sekejap berbarengan dengan kepergian Leo dari hadapannya.
Semua rasa terlibat di dalam hatinya. Takut. Gelisah. Marah. Menyesal. Semuanya diaduk menjadi satu. Bahkan rasa itu makin menyerbu ketika melihat motor Leo yang pergi begitu saja dari pandangan matanya.
***
Leo mungkin tidak akan menyesal karena membentaknya. Dia tahu kalau apa yang dilakukannya ini semua adalah kesalahan. Bahkan Helene tahu amarah Leo lewat tancapan gas yang tidak terdengar halus dari kecepatannya saat pergi dari kafe kemarin.
Dan sekarang rasa bersalah itu makin terasa benar. Helene ingin berbicara dengan Leo setelah kejadian tidak menyenangkan tadi sore. Akibatnya, cowok itu tidak menghubunginya untuk ke apartemen karena les yang harus dimulai. Helene sangat menyesal melakukan cara bodoh ini. Seharusnya dia tidak gegabah mengambil keputusan.
Niatnya baik, tapi tidak semua yang terlihat baik belum tentu bisa diterima dengan baik pula. Apalagi ini menyangkut masalah pribadi sebuah keluarga. Yang seharusnya juga dia tidak ikut campur karena bukan siapa-siapa. Apa yang bisa dipertanggungjawabkan kalau sudah seperti ini?
Mamanya Leo sudah meminta maaf karena putranya itu sudah berbuat hal yang tidak sangat menyenangkan kepada Helene. Dia hanya bisa tersenyum meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja. Toh, ini juga salahnya sendiri kan?
“Tante jadi merasa bersalah, maafin Leo ya?”
“Nggak apa-apa, Tan, ini juga salah saya, kok.”
Sudah berkali-kali Helene mencoba menghubungi Leo untuk sekadar meminta maaf. Beberapa pesan juga sudah dirinya kirim sejak kepulangannya di rumah. Namun, Leo tidak memberikan respon apa-apa terhadapnya. Leo tidak mengangkat teleponnya. Alih-alih menjawab, bahkan Leo mungkin sudah menggunakan mode pesawat untuk ponselnya.
Helene mendesah. Hatinya sekacau ini sekarang. Leo bukan siapa-siapanya yang harus berhasil membuat pikirannya semrawut. Tapi dari awal, dirinya juga yang mencoba melibatkan posisinya dalam masalah orang lain.
“Lo pasti marah banget sama gue?” tanyanya pada layar ponsel yang menampakkan sebuah kontak bernama “Leo” itu. Helene membiarkannya menyala. Sudah tidak berniat untuk men-dial lagi karena itu percuma saja.
Hari ini cukup. Hatinya sudah dibuat campur aduk dengan masalah barunya. Helene menyesal, seharusnya hari ini dapat dinikmati dengan baik jika tidak dirinya melakukan kesalahan. Hari ini adalah hari terakhir les bersama Leo sebelum ujian akhir. Hingga akhirnya layar ponsel yang ada di genggaman tangannya ikut meredup diikuti kelopak mata yang mulai menutup.
***
Di ruangan yang menyisakan dua manusia yang berdekatan duduk namun tidak ada suara, Helene dan Leo seperti dua orang asing. Sejak pagi tadi Helene tidak mendengar kata-kata pedas yang biasanya sering Leo ucapkan padanya. Bukan tadi pagi saja, bahkan sejak dua hari yang lalu, yang lebih tepatnya sejak kejadian itu terjadi. Leo tidak berbicara sepatah kata apapun terhadapnya.
Bahkan ketika Helene mulai menyuarakan kalimatnya, cowok itu justru lebih dulu menghindar. Teman-temannya yang lain pasti melihat keanehan yang timbul di antara dirinya dan Leo. Pasalnya, setiap hari akan mereka habiskan dengan perdebatan dan pertengkaran lidah.
Satu masalah kecil bisa merebah menjadi masalah yang besar. Helene rindu masa-masa itu. Meski apa yang dikatakan Leo semuanya terdengar sakit di telinga, namun Helene bisa tersenyum ketika mengingatnya.
“Le!”
Helene mencoba memanggil Leo, setidaknya cowok itu mau menghentikan langkahnya. Namun, ternyata sebaliknya. Leo tidak sedikitpun mendengar panggilannya. Cowok itu terus melanjutkan langkahnya.
“Leo!”
Dengan gerakan cepat Helene menghalau langkah Leo. Cewek yang menenteng tas warna merahnya itu sudah berdiri di hadapan Leo. Helene tidak peduli kalau buku yang seharusnya dia tata rapi di dalam tas akan terlipat atau kusut. “Lo jauhin gue?”
Helene menangkap tatapan dingin Leo sedetik sebelum Leo membuang muka. “Salah gue apa?”
“Lo tau salah lo apa.” Ujar Leo begitu ketus.
Bodoh, tentu saja Helene tahu salahnya di mana. Jawaban Leo begitu menusuk. Bak anak panah yang sengaja ditujukan ke arahnya. Di tarik kuat-kuat hingga kemudian dilepas begitu saja sampai tembus hingga ke tulang belakangnya.
“Minggir!” Kakinya terlalu kaku untuk melangkah ke samping memberi jalan. Helene hanya diam di tempat. Leo yang selebihnya bergerak ke samping utuk mencari jalan lain untuknya lewat.
“Len!”
“Udahlah, biarin Leo sendiri dulu, dia butuh waktu.”
Mungkin saat ini apa yang dikatakan Vega ada benarnya. Leo sepertinya butuh waktu untuk menjauh darinya.
Vega mengusap bahu Helene, menyalurkan sejuta ketenangan untuk sahabatnya. “Lusa udah ujian, jangan bikin semua orang kecewa sama lo.”
Helene tersenyum membalas sapuan lembut Vega. “Thanks, Ga.” Sahabatnya itu memang selalu bisa menenangkan hatinya sebagaimana yang Mamanya biasa lakukan.
***
Hai!
Gimana puasanya hari ini? Lancar?
Semoga tetep lancar ya, sampai hari terakhir nanti🥰
Selamat berbuka puasa bagi yang wilayahnya sudah memasuki waktu Maghrib 🙏
Selamat membaca, teman-teman🤗19 April 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Novela JuvenilTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021