Re-frain 8 | Mulut Cabe

26 4 3
                                    

"Apa? Nggak denger."

Helene mendengus. "Gue minta maaf!" Kali ini diucapkan dengan nada jengkel serta volume yang lebih keras dan tentunya nadanya tidak ikhlas.

Jujur, Helene merasa bersalah tapi, sedikit. Hanya sedikit. Dia tidak mengetahui apa-apa soal Leo yang memiliki alergi terhadap cabai, termasuk juga bubuk cabai.

Leo tersenyum puas. "Good."

"Gue juga sengaja karena gue kesel sama lo."

"Bawa buku sebanyak itu, sakit tau nggak tangan gue."

Leo meraih tangannya. Helene hanya bisa mengaku melihat perlakuan Leo yang mengejutkannya. Mengapa cowok ini tiba-tiba aneh?

Mau ngapain pegang-pegang gue? Tanyanya dalam hati.

"Lebay!" Ucap cowok itu seraya menghempaskan lengan Helene begitu saja.

"Bikinin gue bubur!"

Hebat. Helene kembali dicengangkan oleh perintahnya. Sekarang makin tidak masuk akal. "Hah?!"

Leo memutar mata, ia yakin kalau cewek ini terkejut bukan karena memang kaget. "Itu sebagai tebusan atas maaf lo tadi. Kenapa? Lo nggak bisa?"

"Makanya jadi cewek itu berguna, bisa masak!" Ejeknya kemudian.

Leo segera mengangkat telunjuknya ke udara, menyuruh Helene untuk tidak menyelanya. "Gue nggak mau tau, pokoknya bikin aja!"

Helene keluar dari kamar Leo dengan menghentakkan kakinya. Cowok itu sudah berbuat semaunya sendiri. Menyuruh-nyuruhnya melakukan ini, mendadak seperti itu, apalah itu. Helene kesal, tapi kalau dipikir-pikir, dirinya juga telah melakukan kesalahan.

Memang cowok itu tidak bisa membiarkan hidupnya damai. Dari ponsel ber-case silver itu dia melihat tutorial bagaimana membuat bubur. Helene tidak pernah tahu barang-barang didepannya ini fungsinya apa. Yang dia tahu adalah sudah ada makanan di meja untuk dimakan.

Pertama kali dalam hidupnya harus berperang di dapur. Ini hanya membuat bubur bukan untuk bertarung selayaknya memperebutkan gelar chef. Bukan hanya sekali suara tidak biasa itu berasal dari dapur, melainkan berkali-kali. Mulai dari sini Helene mungkin akan menghancurkan dapur Leo.

"Bukain pintu!"

"Gak bisa, sibuk!" Helene membalas teriakan Leo dari dapur. Tidak ingin beranjak untuk menuruti perintah cowok itu. Karena dirinya sendiri juga sangat sibuk.

Lagipula gue bukan babu lo.

Dari dalam kamar, Leo berjalan keluar untuk membuka pintu dari tamunya. Sempat melihat dapurnya yang dikuasai oleh Helene itu sangat kacau. "Leo, gimana udah baikan?" tanya seorang cewek setelah pintu itu terbuka.

"Udah."

Aurora sempat mendengar kalau ada suara lain dari dalam. Cewek itu menajamkan pendengaran. "Lo di apart sendiri kan?"

Belum dijawab oleh Leo, Aurora langsung menerobos masuk. Aurora menatap Leo bingung. "Eh, siapa dia?"

"Gue? Gue manusia." Jawab Helene yang hanya menatap sekilas cewek yang baru saja datang.

"Lo bisa masak nggak sih? Oh, lo pembantunya Leo ya?"

Siapa sih, nih cewek? Punya mulut cabe juga.

Helene ingin sekali melempar pisau tepat pada kepala cewek itu. Namun, dia tidak ingin namanya menjadi besar hanya karena ulahnya yang tidak dapat mengontrol emosi. Tangannya meremas ujung meja dengan cukup keras. Rupanya dua orang itu sama saja, sama-sama menyebalkan.

***

"Siapa sih tuh cewek? Kok tiba-tiba ada disini?" tanya Aurora penuh curiga.

"Bukan siapa-siapa."

Cewek yang duduk bersila di tengah tempat tidur itu mengambil ponselnya yang menyala. Dia langsung beranjak setelah menerima sebuah pesan. "Gue harus pulang sekarang, dicariin sama Bokap." Katanya kemudian berjalan keluar dari kamar Leo.

Sebelum benar-benar pulang, Aurora menilik Helene dari atas hingga bawah saat keduanya bersimpangan di depan kamar. Helene hanya menatapnya sambil bererut kening. "Aneh."

Leo keluar, hampir saja bertubrukan langsung dengan Helene. Cowok itu berjalan ke meja counter, lalu duduk di kursi yang ada di depannya. Helene hanya mengikutinya. Lalu menyodorkan mangkuk itu kepada Leo.

Leo menatapnya. "Nggak lo kasih racun kan?"

Helene menggebrak meja kuat-kuat. "Lo nyuruh gue tadi, terus sekarang curiga. Mau lo apa, sih?!"

"Diem!"

Leo mulai menyicipi bubur buatan cewek ini. Berharap semoga rasanya tidak sehancur bagaiamana bentuk dapurnya tadi. Helene menaikkan alisnya melihat Leo baru mengambil suapan pertama. Namun, itu malah diurungkan Leo dan meletakkan sendoknya kembali.

"Udah pulang sana!" Suruhnya kemudian.

"Lo nggak mau bilang makasih gitu?"

"Enggak, lo kan yang salah."

Helene mendengus sebal lalu mengambil tasnya dan segera pergi dari neraka yang telah mengungkungnya ini. "Iya, oke, gue pulang!"

***


Untuk memperbaiki kualitas hidup, maka ada update-an terbaru dari Re-frain 🎉🎉
Yeay!!

Selamat membaca
Tinggalkan voment jan lupa☺️

16 Juli 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang