Ruang makan masih menyisakan seluruh anggota keluarga. Belum ada yang beranjak untuk pergi setelah makan malam selesai. Marchel menahan mereka untuk tidak langsung kembali setelah selesai, itu juga yang membuat Helene dan Tania masih duduk di sana.
“Tan, ambilin pisau!”
“Helene, kamu ambil sendiri dong!”
Helene menyengir karena teguran Mamanya, sedangkan Tania hanya tertawa dalam hati atas kemenangan kecilnya. Helene sangat tahu kalau Tania itu sudah sangat ingin mengejeknya, tapi Helene berusaha tidak melihat wajahnya yang sangat menjengkelkan.
“Len, Pak Imron bilang, kalau nilai kamu semakin kesini semakin baik.”
Raut wajahnya langsung ceria mendengar hal tersebut. Melupakan adegan perang batinnya dengan Tania. Kali ini, Helene lebih bahagia dari apa pun. “Jadi, sekarang Helene boleh kayak dulu lagi dong, Pa?”
“Dengerin Papa dulu!”
“Akhir semester nanti kamu harus kasih yang terbaik, Papa nggak mau kecewa lagi.”
“Siap!”
Masih memasang raut wajah yang sama, Helene tersenyum sumringah sambil mengangkat tangan kanannya memberi hormat kepada Papanya. Hal tersebut tentunya membuat Rosa dan Marchel juga ikut tertular kebahagiaan Helene.
“Kayaknya kamu makin semangat ditutorin sama Leo?” tanya Rosa yang langsung membuat Helene terkejut.
“Hah, enggak. Biasa aja perasaan.”
“Kan pacar baru, Ma, jadi semangatlah.” Cibir Tania.
Dasar Tania laknat!
***
Helene tersenyum, entah karena apa, dia sendiri masih belum menemukan jawaban. Buku yang dia buka sejak selesai makan malam itu bukan alasannya. Cewek itu justru menggulingkan tubuhnya hingga menghadap ke atas. Menatap langit-langit kamarnya yang menyuguhkan lampu yang menerangi kamarnya.
Di atas tempat tidurnya, Helene mengingat bagaimana harinya berlalu. Dari pagi dengan jam kelas yang kosong hingga sore yang dia lewati selama tiga hari pertama dalam satu minggu. Hari ini dia menatap musuhnya berbeda.
Leo terlihat lebih bisa bicara banyak dengannya, daripada hari sebelumnya yang terkesan sangat dingin. Bahkan Leo bersedia menjelaskan ulang apa yang dijelaskan Pak Imron dengan telaten. Itu memang tugasnya sebagai tutor, tapi Helene merasa itu lebih berbeda dari yang hari biasanya.
Malahan, Helene sudah melupakan Virgo hanya karena terlalu sibuk dengan dunianya. Helene menatap layar ponselnya yang sama sekali tidak menunjukkan sesuatu mengenai pacarnya. Virgo tidak menghubunginya lagi semenjak saat itu.
Apa yang sedang terjadi? Tentu saja Helene bertanya itu.
Dia lalu mencoba menelusuri nama kontak Virgo yang pernah digunakan laki-laki itu untuk menelponnya saat di London. Helene mencoba menghubunginya tanpa ragu. Tidak ada jawaban sama sekali. Helene masih memakluminya karena mungkin cowok itu sedang tidak melihat panggilannya.
Percobaan kedua. Dan, tetap nihil, tidak ada jawaban dari Virgo. Setahu Helene waktu London masih menunjukkan pukul dua siang sekarang. Kemana Virgo-nya?
***
Pak Imron berhasil menyulap isi kelasnya menjadi hening. Seluruh siswanya sedang bergelut dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang main-main saat ini. Waktu mereka untuk menyelesaikan kumpulan soal itu sudah diukur dengan porsi yang tepat.
Pak Imron selalu saja membuat kejutan spesial untuk siswanya, secara dadakan membuat jantung mereka rasanya ingin copot. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba ulangan dadakan, matematika pula. Berbagai alasan untuk membela diri pasti dikerahkan supaya bisa membatalkan rencana yang sudah tersusun.
“Tidak ada tapi-tapian. Ulangan tetap terlaksana hari ini.” Putus Pak Imron sebelum ulangan dimulai. Tetap pada pendirian adalah ciri-ciri yang melekat dalam sosok guru ini.
Semua siswa seharusnya siap jika sewaktu-waktu ada ulangan dadakan. Tapi terkadang guru yang nyentrik akan memiliki cara tersendiri dalam menguji siswanya. Melalui jawaban prank, atau soal rumit yang membuat otak rasanya ingin pecah. Belum lagi kalau waktunya sudah terkuras karena guru yang tidak tepat waktu.
Syarat yang harus dipenuhi seluruh siswanya adalah, berada dalam garis aman, karena kalau tidak akan mendapatkan bingkisan tambahan yaitu soal remedial yang seakan tidak memiliki penyelesaian. Nilai selisih sedikit saja tidak akan diterima sebagai nilai baik di atas rata-rata.
Helene menghela napas panjang. Berharap jika apa yang sudah dipelajarinya tidak menjadi sia-sia. Satu soal terakhir baru akan dia kerjakan. Waktunya masih ada kalau untuk meneliti keseluruhan dari jawabannya.
Akan timbul masalah besar kalau nilai ulangannya kali ini akan hancur. Mulai urusannya dengan Leo, Pak Imron, dan berakhir dengan Papanya.
Selama sebulan ini, Leo sudah sangat membantunya. Jadi, Helene berharap juga kalau ia jangan sampai mempermalukan diri sendiri di hadapan Leo.
Tanpa disadari, sepasang mata yang menatapnya tenang lewat ekor mata itu belum beralih. Jika Helene masih menunduk dengan terus merapalkan doa agar nilainya naik, Leo justru enggan mengalihkan pandangannya terhadap cewek yang selama ini berada di bawah kendalinya.
“Lo senyum ya?” Helene mengerutkan dahinya melihat Leo yang sekarang memalingkan wajah. Ada yang janggal dari seseorang di sampingnya itu.
***
Dan akhirnya aku kembali ke daratan!
Sudah lama ya sepertinya? Hmm, oke, maafkan, teman-teman.
Soalnya bulan kemarin itu sibuk-sibuknya menjalani kehidupan. Jadi, tidak bisa membagi waktu dengan baik antara sekolah dan menulis.
Tapi kali ini akan kuhadirkan part lanjutannya untuk kalian.
Selamat membaca❤️9 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021