Baru saja Rosa menyuruh Pak Aslan, sopir pribadi keluarganya untuk menjemput Helene. Namun, setelah melihat ada sebuah mobil yang berhenti di halaman rumahnya segera terurungkanlah niat itu. Dari balik tirai yang disingkapnya, Rosa melihat jika putrinya sudah pulang.
“Loh, kok Pak Imron yang nganterin Helene pulang? Padahal saya baru mau nyuruh sopir untuk jemput.”
Pak Imron sedikit tersenyum. “Iya, saya tadi yang menawarkan ke Helene, kasihan kalau harus pulang sendiri.” Ucapnya kemudian.
Tidak lupa, Rosa juga mempersilakan Pak Imron untuk masuk ke rumahnya. Tiba-tiba pandangannya jatuh pada kaki Helene yang dibalut perban. Dan yang membuatnya langsung kalut adalah kruk yang dipakai Helene sekarang. “Len, kenapa kaki kamu?”
“Nggak papa, Ma.”
“Tadi sebelum pulang, sudah saya bawa ke dokter. Kaki Helene mengalami patah tulang karena terjatuh saat tracking kemarin. Maaf atas kelalaian kami sebagai pendamping.”
“Ini bukan salah Bapak atau siapa pun, ini memang salah Helene-nya yang kurang hati-hati.”
“Lain kali jangan gini lagi!”
“Maaf, Ma.”
Helene bisa melihat dari semua gerak-gerik yang Rosa perlihatkan jika Mamanya khawatir kepadanya. Apalagi melihat kondisi kakinya yang mengharuskannya berjalan dengan menggunakan kruk sebagai penopang tubuhnya.
“Saya sangat berterima kasih, Pak. Maaf kalau merepotkan jadinya.”
Lagi-lagi, Pak Imron membalasnya dengan senyum tipis. “Tidak apa-apa, lagipula Helene sudah saya anggap seperti anak sendiri.”
“Kalau begitu saya pamit pulang dulu.”
“Iya, terima kasih.”
Setelah kepergian Pak Imron, Rosa kini beralih membawa Helene untuk duduk ke sofa. Seperti ingin meminta penjelasan lebih untuknya. “Kok bisa sampe kayak gini?”
“Kamu nggak usah sekolah dulu ya?”
Helene merasakan sapuan lembut di puncak kepalanya. Namun dia justru menggeleng. “Enggak, Ma, Helene mau tetep sekolah, kan bisa pake tongkat.” Menunjuk ke kruk yang tadi dia pakai.
“Ya udah, kamu sekarang istirahat ya?”
“Iya, Ma.”
***
Karena keputusannya yang sudah bulat, Helene ke sekolah dengan menggunakan tongkat sebagai salah satu penopang tubuhnya. Helene lumayan kesusahan ketika pertama kali menggunakannya. Kakinya sangat ingin menginjak tanah karena belum membiasakan. Maka dari itu pula, dirinya juga harus membiasakan untuk berangkat lebih pagi dari biasanya.
Sekolah yang tidak ramai setidaknya bisa sedikit membantunya. Dan itu pastinya akan menjadi rutinitas baru pada pulang sekolah nanti. Dia akan menunggu sampai sekolah tidak menyisakan siapa pun. Baru setelahnya dia bisa pulang.
“Lo mau ngapain?” Helene yang baru ingin beranjak langsung ditatap tidak suka oleh cowok yang duduk bersebelahan dengannya itu.
“Ya, ke depan.”
“Diem di situ!” Lalu Leo lebih dulu berjalan ke depan untuk mengambil hasil ulangan mereka, ulangannya dan Helene.
Cewek itu tersenyum dari bangkunya yang terletak di belakang. Di saat bersamaan hatinya menghangat melihat perlakuan Leo padanya yang sangat tidak biasa.
Bisa baik juga ternyata.
Cowok itu menyodorkan sebuah kertas kepada Helene. “Thanks.”
Tidak disangkal jika apa yang dilakukan Leo berhasil membuat Candra yang duduk di depannya berkata. “Dulu aja pas kakinya utuh, dicuekin, sekarang kakinya tinggal satu, disayang-sayang sampe nggak boleh maju ke depan.” Cibirnya.
“Rese lu!”Lanjutnya sambil memukulkan pelan bukunya ke cowok di belakangnya.
“Kaki gue juga masih dua kali, cuma yang satunya nggak lagi berfungsi dengan baik aja.” Sahut Helene mengoreksi perkataan Candra yang dinilainya terlalu sarkas.
“Gue risih liat dia jalan.”
“Bilangnya risih, tapi dalem hati lo bilang sayang kan?” Gurau Candra lagi yang membuat Leo langsung menendang kursinya dari belakang.
Mau risih atau apa itu alasan lo, gue tahu kalo lo sebenernya baik sama gue.
***
Helene yang baru saja keluar dari kamar mandi, langsung dikejutkan karena Mamanya yang membuka pintu kamarnya. “Leo, udah ada di ruang tengah.”
“Hah?”
“Kamu lesnya pindah di rumah, kan kaki kamu sakit.” Ucap Rosa memperjelas.
Tidak memerlukan waktu lama bagi Helene untuk menerima maksud tujuan Mamanya memindahkan tempat lesnya menjadi di rumah. Itu sangat menguntungkan, karena yang dia perlukan adalah turun dari tangga dan menemukan ruang tengah. Tempat barunya untuk menghabiskan waktu bersama Leo dan buku matematikanya.
“Iya, Ma. Bentar ya, buku Helene juga harus dibawa ke bawah.”
“Biar Mama suruh Tania bantu.”
“Lo sakit ngerepotin juga ya. Mending cepet sembuh biar gue nggak perlu beginian bantuin lo.” Ujar Tania seraya membawa beberapa tumpuk buku miliknya menuruni tangga. Tania sudah terlebih dulu sampai di anak tangga terakhir, sedangkan Helene baru akan menuruni lima tangga terakhir.
“Lo diem aja deh!”
Melihat Tania yang masih berdiri tidak jauh darinya, Helene segera menyergahnya. “Lo ngapain masih ada di sini?”
“Emang kenapa?” Tania menaikkan alisnya, lalu menatap sebentar Leo. “Lo nggak mau acara lo berdua-duaan keganggu?”
“Gue risih liat lo!” Lalu Tania pergi setelah mengedikkan bahunya.
“Lo masih bisa mikir kan?”
Helene memutar sepasang bola matanya. “Otak gue nggak di dengkul kali.”
***
Halo, halo!
Adakah yang merindukan kelanjutan kisah Helene dan Leo?Hari ini, aku mau update 3 part sekaligus. Spesial karena hari ini sedang tidak terlalu sibuk, (sok sibuk emang😚)
Sebenarnya, Re-frain itu sudah selesai lebih dulu ketimbang yang kedua. Jadi tinggal update aja. Dan semoga sering update biar cepet ganti status😁
Selamat membaca, teman-teman 💖
1 of 324 Maret 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021