Re-frain 11 | Berawal dari Tatap

16 3 0
                                    

Mereka sudah berjalan melewati karpet merah yang digelar pada titik fokus ruangan tersebut. Bak acara besar yang sengaja dibuat, penataan ruangan ini juga dibuat sedemikian rupa. Kursi audience yang berjejer di samping kanan dan kiri, serta meja juri yang menghadap langsung para peserta.

“Leo ganteng banget!”

“Ya ampun! Kayak couple goals!”

Memang benar ucapan Vega jika keduanya terlihat serasi, bukan hanya lewat warna pakaian tapi secara keseluruhan. Bahkan banyak pasang mata yang berdecak kagum menatap pasangan tersebut. Tepukan riuh penonton semakin menggema menyambut Helene dan Leo.

Helene terlihat anggun mengenakan kebaya brokat berwarna abu-abu muda yang melekat pas di tubuhnya. Dipadukan dengan bawahan bercorak batik serta ankle strap heels hitam yang tingginya mencapai lima belas senti. Meskipun heels yang dipakainya sudah terbilang tinggi, namun tinggi cowok di sampingnya itu masih berjarak dengan Helene.

Tepat di penghujung mereka berjalan, Helene dan Leo berhenti. Improvisasi yang Helene lakukan ternyata membuat pekikan histeris dari para audience. Cewek ini berjalan mengitari Leo, menatapnya dalam-dalam sambil tersenyum. Tangannya juga bergerak menelusuri bagian atas tubuh cowok itu.

“Helene.... Ya ampun!”

“So sweet banget!”

“Helene bikin cemburu.”

Helene dapat merasakan degupan jantungnya yang semakin kuat. Entah mungkin karena pekikan dari banyak pasang mata yang menatapnya. Tatapan Leo kepadanya kali ini sangat berbeda, tidak seperti hari biasa. Tidak mendeskripsikan sedikit pun kebencian.

Bisa disimpulkan kalau matanya takjub melihat penampilan Leo yang memukau. Bukan hanya para siswi, tapi Helene juga dapat merasakan itu. Rasanya ia ingin sekali bersembunyi dari tatapan ini. Tatapan yang seolah menguliti tubuhnya.

Helene, sadar! Dia Leo! Semenakjubkan apapun hatinya harus bisa menolak. Leo bukanlah inginnya. Jangan sampai kalau akhirnya Helene menjilat ludah sendiri karena menyukai musuhnya.

“Berikan tepuk tangan untuk kelas XI MIPA 1!”

Rinda dan Velin yang menjadi pembawa acara kali ini pun juga tidak henti-hentinya berdecak kagum. “Luar biasa.”

“Setuju nggak nih kalau yang menang kali ini kelas XI MIPA 1?”

“Soalnya serasi banget kan, ya, Rin.” Imbuh Velin lagi.

***

“Len!”

Helene sudah berada di rumahnya setelah kepulangannya beberapa jam yang lalu. Bersama Vega dan tidak dengan Virgo yang menjemputnya. Virgo mengatakan kepadanya kalau ada yang harus dia urus untuk saat ini. Helene tidak tahu karena Virgo tidak mengatakan apapun.

Sedari tadi Vega memanggil-manggil namanya. Entah apa yang ingin diperlihatkan, Helene belum juga menanggapi. Cewek itu masih berbaring di atas tempat tidurnya. Menatap langit-langit kamarnya.

Tidak ada suara lain kecuali suara dari Vega yang posisinya sedang duduk di atas karpet berbulu di samping bawah tempat tidur Helene. “Liat deh, Len! Gara-gara lo sama Leo jadi pasangan tadi, grup semuanya jadi rame ngomongin lo.”

Helene tahu itu, secara mendadak namanya menjadi trending bersama Leo. Bahkan notifikasi bermanfaat lainnya kini tergeser karena notifikasi tidak penting itu.

Efeknya bikin mumet, ujarnya dalam hati.

“Len!” Helene masih juga diam.

Vega mendongak melihat tubuh Helene yang tidak sedikit pun bergerak. “Lo denger gue nggak, sih?”

“Hmmm.”

“Len, lo tidur apa gimana?”

Helene menggulingkan tubuhnya, bertumpu dengan kedua lengan lebih mendekat ke Vega. “Ada apa, Ga?”

“Gue liatnya jadi gemesh,” katanya sambil menyodorkan ponsel ke wajah Helene dengan sebuah foto yang tertera jelas. Sedangkan Helene dengan ogah-ogahan melihatnya langsung menepis.

“Jijik kali, ah!”

Helene kembali berbaring. “Bohong kalo lo nggak terpana sama tatapannya Leo.”

Iya, juga, batinnya menjawab.

“Gue aja melting, Len. Ya ampun..., tatapannya itu loh.”

“Mending berhenti berantem sama Leo, terus lo baik-baikin dia, terus deket, ter—“

“Terus-terus, lo mau jadi tukang parkir?” Sela Helene.

Vega mendecak, pembicaraannya menjadi serius. “Gue serius. Leo itu ganteng,” ucapnya sambil mencoba menghitung.

“Tapi mulutnya pedes,” sahut Helene pelan.

Vega tampak berpikir lalu melanjutkan ucapannya. “Udah gitu pinter,” jarinya tengahnya dibuka seperti menunjukkan hitungan kedua.

“Tapi sombong,” imbuh Helene untuk kedua kalinya.

“Tajir,” kemudian membuka lagi jari ketiga yaitu jari manis. Setelah tidak menemukan kata pendeskripsian untuk Leo, akhirnya Vega mulai berhenti.

“Perfect lah, Len. Lo masih merem ya?”

Helene hanya memutar bola mata. Ia tahu maksud ‘merem’ yang diucapkan Vega bukanlah hal yang biasa dilakukan seseorang ketika tidur. Namun, lebih untuk membuka hati dan menyadari bahwa sosok seperti Leo tidak sepenuhnya menyebalkan. Tapi mereka semua tidak tahu rasanya dicaci oleh perkataan Leo itu menyakitkan.

“Tengoklah sedikit Leo.”

“Mana bisa? Masalahnya rasa benci gue ke dia itu melebihi segalanya,” ucapan itu bernada penolakan.

Helene kan sudah berkali-kali mengatakan kalau dia sangat membenci Leo. Tapi kenapa semua orang tidak mempercayai perkataannya, alasannya karena inilah, itulah. Menurut Helene itu alasan yang tidak masuk akal.

“Aduh, Len. Benci sama cinta itu bisa ketuker, datangnya pasti nggak terduga. Hari ini lo bisa ngomong benci, tapi besok?”

Helene bangkit dari tidurnya, beranjak memasuki kamar mandi. Begitu cerocosan Vega selesai, dirinya menyergah dari dalam, “Kenapa jadi bahas mulut cabe, sih?!”

“Lo ladenin juga kan?” sindir Vega pada cewek yang selalu uring-uringan kalau sudah membicarakan Leo.

***

Hai...
Selamat pagi teman-teman semua 🌄
Berapa lama ya aku meninggalkan kalian? Semoga masih rindu ya. Heheheh
Re-frain hadir kembali menemani hari kalian, yeayy
Selamat membaca 📖
Oh ya, jan lupa voment-nya😚😚


29 Juli 2020

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang