“Lo mau gue tolong apa enggak?”
Nada dingin itu membuatnya segera mengikuti perintah Leo. Tangannya berpaut pada leher cowok itu. Menyembunyikan tangisnya di belakang leher Leo.
“Gitu aja nangis, kayak anak kecil.” Helene hanya diam, sesekali terdengar tarikan ingus serta senggukan atas tangisnya.
“Kalo masih nangis, gue turunin sekarang?” Leo sedikit melonggarkan pautannya terhadap kaki cewek yang digendongnya. Seolah benar-benar ingin menurunkan Helene. Namun cewek yang berada di punggungnya itu menggeleng sambil mengeratkan pelukannya pada Leo.
Leo membawanya kembali ke tendanya. Di sana sudah ada Vega dan beberapa teman Helene yang lain. Kedatangannya dengan Helene membuat tanya di antara Vega dan yang lainnya.
“Helene kenapa?” tanya Vega.
Cowok itu tidak menanggapi tanya Vega, justru menurunkan Helene dengan pelan-pelan. “Can, panggilin Bu Anna!”
Candra yang baru saja ikut bergabung langsung dibuat bingung. “Kenapa Helene?”
“Panggilin dulu!”
“Lo,” Vega menunjuk dirinya sendiri, “Cariin es batu sama handuknya sekalian!”
“Tapi kita—”
“Cepet!”
Leo melepas sepatu Helene dengan hati-hati. Sesekali melirik ekspresi Helene yang menahan rasa sakitnya. Cewek itu masih diam semenjak Leo menggendongnya. Seolah tidak termakan oleh perkataan pedas yang dia katakan.
Seketika terlihat warna biru dan bengkak pada pergelangan kaki Helene yang keseleo. Ternyata lumayan parah, pantas saja cewek macam Helene saja bisa menangis, pikirnya.
“Leo, Helene kenapa?” tanya Pak Imron.
“Kakinya sakit, Pak, tadi waktu jalan kurang hati-hati. Kemungkinan terkilir.”
Helene menatapnya dari balik bulu mata yang sedikit basah karena sisa tangisnya tadi. Cowok itu berkata jujur. Tidak biasanya Leo mengatakan hal yang nyata adanya mengenai dirinya. Bahkan untuk hal sepenting apa pun, Leo akan mengatakan yang sebaliknya. Seperti waktu Bu Sinta menyuruh mereka untuk mengambil buku di perpustakaan.
Tumben jujur, batinnya.
Helene yang melihat gerak-gerik Pak Imron yang mulai mencurigakan menurutnya, langsung menghetikannya. “Pak, jangan bilang ke Papa saya, ya.” Tegurnya.
Pak Imron kemudian mengurungkan niatnya untuk menelpon seseorang yang Helene duga adalah Papanya. “Untuk sekarang biar ditangani anak PMR dulu, kalau memang tidak memungkinkan nanti kita ke dokter saja.” Ucap Pak Imron.
Leo kemudian mengusaikan kompresannya terhadap kaki Helene. Beberapa siswa lain yang mengikuti ekstra PMR mengambil alih pekerjaannya. Sedangkan Leo memilih untuk pergi dari sana karena merasa tanggung jawabnya sudah selesai.
Helene yang sejak tadi diam sontak mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Jari-jemarinya bergerak cepat mengetikkan sesuatu di sana. Di sebuah room chat seseorang yang sangat jarang berbalas pesan dengannya.
Makasih
Lalu mengirimkannya kepada si penerima, Leo. Baru kali ini Helene merasa sangat berterima kasih dengan cowok itu. Meskipun kata-kata pedas darinya selalu berhasil menyayat perasaan, tapi tindakan yang sudah dilakukan Leo berhasil membuatnya tidak bisa berkata apa-apa.
Helene sudah menutup ponselnya terlebih dahulu, hanya berharap jika Leo setidaknya membaca itu. Meskipun tanpa dirinya sadari jika sang penerima pesan, menarik seutas senyum setelah membaca pesan darinya.
***
Seharusnya Helene bisa ikut tertawa di tengah-tengah mereka. Dia hanya bisa melihat dari tempatnya duduk, teman-temannya yang menghabiskan malam terakhir di sini. Ditemani api unggun serta hiburan yang mereka buat sendiri membuat tawa lepas yang mereka ciptakan
Namun, dengan kondisinya sekarang, tidak membuatnya sesenang saat pertama kalinya datang. Melihat nanar kakinya yang diselimuti perban, Helene hanya bisa tersenyum kecut. Kalau mau disalahkan, ini memang murni salahnya. Tidak ada unsur orang lain yang berniat mencelakainya.
Helene menghela napas pasrah selagi membuka ponselnya. Mengabadikan sebuah pemandangan malam dari teman-temannya melalui kamera ponselnya. Tidak lupa juga untuk mengabadikan perban yang menghiasi kaki kirinya. Sangat istimewa.
“Len, senyum dong!”
Helene menarik kedua sudut bibirnya sedikit terpaksa menyanggupi perkataan Vega. Sedetik selanjutnya dia lalu meletakkan kepalanya di bahu sahabatnya itu. Seolah sedang menyalurkan kemurungan hatinya. “Sakit, Ga.”
“Besok kan pulang.” Helene hanya mengangguk. Semakin lama merasakan sebuah usapan di kepalanya yang Vega berikan.
“Gue pengen istirahat.”
“Gue bantuin ya?” Vega lalu membantu Helene untuk masuk ke tenda setelah cewek itu mengangguk. Vega sudah tahu sejak tadi jika Helene untuk saat ini diistimewakan oleh semua orang karena kondisinya yang tidak memungkinkan. Hanya saja Helene menolak, karena katanya masih ingin merasakan suasana api unggun.
“Gue harap ini nggak parah, Len.” Sambil menatap kaki Helene yang terluka.
“I wish.”
***
Selamat malam!
Seperti janjiku tadi, akan ada kejutan yaitu part baru Re-frain.
Horeee!
Maaf ya kalo sedikit malam munculnya. Yang terpenting tidak lupa dengan tanggung jawabnya 😚😚
Selamat membaca dan selalu tunggu kelanjutannya 🥰
Stay safe, stay healthy semuanya💖8 Februari 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
Teen FictionTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021