Manusia adalah makhluk yang paling sulit ditebak. Sekarang bisa berkata iya, tidak tahu nanti, mungkin kata iya sudah berganti dengan tidak. Seperti halnya sekarang, Helene sudah memutuskan untuk tidak lagi mencarinya. Bahkan cewek itu rela bertukar teman duduk dengan Riski.Semalaman Helene memikirkan hal ini hingga waktu rihatnya terpotong. Baiklah, Helene menyerah untuk cowok itu. Semaunya Leo saja. Kalau mau menolak atau memohon, sampai kakinya menjadi tangan, Leo tidak bersedia pula untuk mengubah keputusan.
“Tenang aja, Len. Leo itu sebenernya suka sama lo.”
Vega menarik kursinya setelah menyerahkan sebotol air mineral dari showcase yang memang itu titipan Helene. Mereka masih duduk-duduk santai di kantin. Tidak ada kegiatan yang jelas di sekolah. Dan kalau tahu hari ini masih seperti ini, Helene ingin meliburkan diri saja.
“Nggak usah sok hibur gue, deh.”
“Gue beneran kali.”
Helene berdecak. “Halah.”
Sebenarnya apa yang diucapkan Vega bisa saja terjadi. Tapi, yang mengatur hidupnya bukan dirinya sendiri. Melainkan garis takdir dari Sang Maha Pencipta. Dan, lagipula Helene tidak ingin terlalu berharap yang tidak-tidak.
“Jangan bikin gue berharap kalo ujungnya juga nggak pasti.”
Vega menyebikkan bibirnya menirukan ucapan Helene barusan. “Mulai deh, tuh mulut bucin.”
“Udahlah, gue mau ke toilet.”
Vega melempari tanya kepada cewek yang sedang berdiri untuk membenarkan letak roknya. “Sendirian lo?”
Helene mengambil ponselnya dari atas meja, menanggapi pertanyaan Vega dengan senyum jailnya. “Kenapa lo mau ngikut boker?”
“Idih, mending gue tidur.”
Helene tahu kemana tujuan Vega untuk mengasingkan diri. Karena cewek itu tidak hanya sekali pernah melakukan itu. Bahkan pernah sekali mencari alasan sakit ketika ada pelajaran kimia di kelasnya.
***
Kakinya berbalut kaus kaki putih panjang itu bergerak menuju ke wastafel dengan cermin besar yang terpajang di dindingnya. Helene membasuh kedua tangannya hingga membiarkan sebentar air kran itu mengalir sia-sia. Matanya menatap cermin di hadapannya. Di sana, tidak terlihat Helene yang biasanya ceria, tidak ada Helene seperti yang dulu.
Helene seolah kehilangan emas dalam dirinya. Dan untuk kesekian kalinya, Helene mengakui kalau dirinya seperti ini karena Leo. Menghela napas. Sudah cukup, sekarang bukan saat yang tepat untuk membahas hal yang sama.
Setelah merasa cukup, Helene segera mematikan krannya. Kedua tangannya masih bertumpu pada tepi wastafel. Dia harus segera kembali karena pastinya Vega sudah terlalu lama menunggu.
Baru saja kakinya melangkah keluar, sebuah kegaduhan harus menerpa pendengarannya. Beberapa siswa berlari dan kemudian menuruni anak tangga. Helene bingung sebenarnya apa yang sedang terjadi. “Mereka pada ngapain sih? Bikin konten?”
Matanya masih mengikuti beberapa orang yang berhamburan. Tidak berniat mencari tahu, Helene memilih menggerakkan kakinya menuju ke salah satu dari ruangan yang terbuka. Namun, semakin lama kakinya berjalan, Helene baru tersadar kalau ini bukan pertanda yang baik.
Sebuah tarikan tangan mengakhirkan pekikan dari mulut Helene. “Lo mau kemana?” tanya salah seorang siswi yang menghentikan langkahnya.
Helene terbata menjawab pertanyaan itu karena si penanya sudah lebih dulu memotong ucapannya. “G-gue—“
“Jangan kesana. Bahaya! Lo harus turun sekarang juga.”
Pancaran kalut yang awalnya hanya terlihat dari wajah Vina sekarang justru menjalar ke dirinya. Rasa takut dan khawatir dicampur menjadi satu dalam sewaktu. “Gue harus nolongin temen gue.”
Helene langsung menyatukan kedua kakinya untuk mengambil keputusan. Berlari membelah kerumunan siswa yang mendekat. Sekarang isi otaknya hanya memikirkan satu nama.
***
“Lo kenapa bawa gue turun, sih, goblog?!”
“Lo yang goblog, bukannya mikir gimana caranya biar selamat, malah leha-leha, kaya orang sinting!”
Keriuhan dari sekian banyaknya siswa seakan mampu memecah gendang telinganya. Ketenangannya terusik ketika Candra menariknya untuk keluar. Dan sekarang, cowok itu sedang melakukan drama seperti biasa dengan seatmate-nya.
“Helene pasti nyariin gue.”
“Anak-anak, Ibu mohon untuk tenang! Kita sudah menghubungi petugas pemadam. Jangan ada yang mendekat ke sumber api. Kalau masih ada yang ada di dalam gedung, bisa konfirmasi ke saya.”
Kedua manik mata hitamnya mengelilingi keseluruhan dari perkumpulan siswa-siswa ini. Tidak ada yang dapat mengunci penglihatannya karena pada kenyataan apa yang dicari tidak ditemukan. Saat itu juga Leo kembali mengulang sapuan matanya untuk meneliti. Tiga kali sudah. Dan Leo belum juga menemukan.
“Shit.”
Hingga pada akhirnya Leo memutuskan untuk melawan beberapa guru yang sengaja berjaga. Pekikan keras dan segala macam alasan untuk membuat Leo mengurungkan niat nyatanya tidak membuahkan hasil apapun terhadapnya.
“LEO!!!”
Sudah tidak ada lagi yang akan Leo dengar dari siapapun itu. Kepulan asap hitam dari atas ruangan laboratorium itu semakin pekat. Leo menepis kuat-kuat seluruh tangan yang menahannya. Dia tidak peduli lagi apa risiko yang akan didapatnya setelah ini.
“Buset, mau kemana tuh anak?”
Melihat Leo yang berlari masuk, membuat Candra tidak henti-hentinya berdecak. Baru setelahnya, Vega justru melengos ingin pergi. “Eh, lo mau kemana?”
“Gue mau nyari Helene lah.”
“Dasar gila! Disini aja,” Candra menahan Vega dengan mencekal pergelangan tangannya agar tidak kabur. “Gue tau Leo masuk karena apa.”
***
Selamat membaca 💙💙
5 Mei 2021
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-frain ✓
أدب المراهقينTidak ada pendeskripsian panjang. Yang perlu kalian tahu adalah 'bagaimana cara yang baik untuk mengalahkan ego bagi sebagian orang'. re-frain ©2020 - Ylenia DeLorean End: 25 Juli 2021