Re-frain 37 | Hilang Radar

13 2 0
                                    


“Lo tahu Leo di mana?”

Kalut. Itu yang sekarang Helene rasakan. Di tempat seramai ini dirinya merasa sendirian. Orang-orang yang berlalu-lalang di hadapannya hanya membuat Helene terus terbayang seseorang yang sedang memecahkan pikirannya.

Hari ini adalah hari terakhir ujian semester. Dan entah mengapa sejak semalam Helene merasa kalau semesta semakin menjauhkannya dengan Leo. Ditambah lagi dengan mimpi buruknya. Semua itu seakan terjadi dengan skenario yang sudah diatur.

“Enggak. Terakhir ketemu doi dua hari yang lalu, nggak ngomong apa-apa. Gue juga nggak nanyain.”

“Please, lo masa nggak tahu sih!”

Duduk. Berdiri. Bahkan berjalan mondar-mandir sejak tadi Helene lakukan. Dengan ponsel yang menempel di telinganya, Helene masih mencoba menenangkan dirinya. Sebuah panggilan dengan sesorang yang sedang tersambung tidak lain tidak bukan adalah Candra, sahabat Leo.

“Gue sekarang di apart-nya, nggak ada siapa-siapa. Di sini kosong.”

“Hah?! Masa?! Lo nggak lagi bercanda, kan?”

Helene kembali duduk. Dia memijat kepalanya yang berdenyut. Mana mungkin dirinya membuat semua yang dikatakan sebelumnya kepada Candra sebagai candaan belaka.

“Coba lah, lo telfon!”

“Nggak bisa. Dia nggak pernah bisa gue hubungin.”

Helene hanya mampu menggigit jari untuk meredam senggukannya. Berharap juga tidak ada yang melihat kalau air matanya baru saja mengalir. “Can, bantuin gue.... Gue bingung harus nyari di mana lagi?”

“Gini aja, gue sama Riski coba hubungin Leo, gue suruh yang lain juga nyari kabar soal Leo. Kalo bisa nanti gue kabarin lo.”

Helene mengangguk seolah sedang berbicara langsung dengan Candra. “Lo tenang aja, Leo nggak bakal kenapa-napa.”

Sesaat setelah Helene memungkasi sambungan teleponnya, dia memilih untuk meninggalkan apartemen tempat yang biasanya Helene habiskan tiga hari dalam setiap minggunya. “Gue sekarang harus gimana? Lo kemana sih, Le?”

“Semuak itu ya, lo sama gue?” gumamnya menatap nanar taksi yang berhenti di depannya.

***

Dari tempatnya berdiri terlihat jika pintu kamar yang terbuka setengahnya itu tidak menampilkan si penghuninya yang sedang beristirahat. Yakin kalau Helene belum tidur di waktu yang semalam ini membuat Rosa tergerak untuk menghampirinya.

“Sayang, kamu kok belum tidur?”

“Ma,” Rosa kemudian mendekat hingga akhirnya mengikuti Helene yang duduk bersandar. Dia menatap wajah putrinya lumayan lama, menanyakan sesuatu yang sepertinya sedang menjadi sebuah beban dalam pikiran. “Kenapa?”

“Helene nggak tau lagi harus gimana. Leo marah sama Helene. Dan Helene juga udah sadar kok kalo Helene salah. Helene udah minta maaf berkali-kali tapi Leo malah menghindar.”

Rosa menarik kepala Helene untuk bersandar pada bahunya. Insting ibu tidak pernah salah menilai seluruh gerak-gerik anaknya. Dari Helene umur lima tahun sampai sekarang yang hampir tujuh belas tahun, Helene selalu menampakkan kemurungan jika menghadapi suatu masalah berat.

“Kamu ingat, saat Papa kamu memutuskan sepihak soal les privat kamu waktu itu?”

“Apa yang bisa kamu lakukan saat itu? Marah? Protes? Atau yang lain mungkin?”

Helene menegakkan tubuhnya. Langsung memandang Mamanya. “Helene sempat kesel, tapi Helene tetep ikut perintahnya Papa.”

“Dan itu juga kan bikin kamu sama Leo makin dekat?”

“Ma,” oh tidak, dalam kondisi seserius ini Mamanya itu masih saja menggodanya. Rosa tersenyum penuh arti.

“Pada akhirnya, menghargai itu penting dalam setiap hubungan. Hubungan keluarga, pasangan, pertemanan, atau yang lainnya. Kamu kan bisa menghargai keputusan Papa? Seseorang perlu menerima meski itu sulit. Mau disangkal bagaimanapun juga, ikhlas menerima itu kunci utama.” Papar Rosa.

Beruntungnya Helene memiliki Mama sepengertian Mamanya. Wanita tangguh ini sealu berhasil membuat hatinya tenang. Entah bagaimanapun caranya yang terpenting sekarang Helene sudah tercerahkan mendengar pemaparan Mamanya.

“Jadi,... sesi curhat bersama Mama Rosa kali ini cukup, kamu harus tidur sudah malam.”

Helene mengangguk, sambil membalas sebuah senyum yang Mamanya ulaskan. “Makasih, Ma.”

***

Sudah dua hari ini dirinya izin tidak masuk sekolah. Padahal kalau dilihat dari kalender akademik siswa, liburan akhir semester sudah semakin dekat. Namun, Leo tidak memedulikan hal tersebut karena kepindahannya yang perlu diurus.

Beberapa kardus yang terisi itu baru dibuka sebagian. Walaupun datangnya sejak dua hari yang lalu, namun Leo masih baru membukanya sekarang. Dia tidak mengizinkan siapapun membuka kardus-kardus miliknya.

Cowok berkaos putih dengan bawahan celana selutut berwarna coklat itu baru saja meletakkan kardus yang sudah terbuka ke lantai. Kemudian mengangkat sebuah bingkai foto yang berada paling atas di dalam kardus. Bola matanya bergulir di atas foto yang menunjukkan sebuah keluarga yang selalu dia rindukan.

Di sana, Leo bisa melihat kebahagiaan yang terpancar dari raut wajah kedua orang tuanya. Dirinya masih berumur beberapa bulan saat itu, dapat dibuktikan dengan Leo yang masih berada dalam gendongan wanita yang merupakan ibunya. Melihat semua itu, secara tidak sengaja ingatannya terlempar pada seseorang.

Seseorang yang kurang lebih empat bulan lamanya ada di bawah kendalinya. Yang selalu mencari-cari alasan untuk sebuah kesalahan kecil yang diperbuat. Helene Ariella, cewek yang tidak pernah bisa menyelesaikan semua masalahnya sendiri. Bahkan yang paling hebat lagi, cewek itu sudah beraninya ikut campur masalah internalnya.

Dan sekarang, semua tingkah laku dari cewek itu sudah berhasil meracuni otaknya. Helene berhasil menjerat otaknya untuk hanya terpacu pada satu titik.

Semua hal yang menggemaskan yang pernah dilakukan Helene ternyata sulit untuk dibuang dari pikirannya. Entah mengapa mencoba membenci Helene sangat sukar untuk diwujudkan. Rasa kesal dan kecewa yang pernah dirasakan nyatanya tidak bertahan hingga sekarang. Rasa itu sudah terlebih dulu lenyap setelah kurang lebih empat puluh delapan jam berlalu.

Sampai sekarang pun, —di hari ke sebelas—Leo sebenarnya tidak benar-benar bisa membenci cewek itu. Itu sulit. Bahkan untuk membentaknya Leo harus berpikir berkali-kali untuk melakukannya.

Sebuah panggilan yang tertera pada layar ponselnya membangunkannya. Leo berdecak, kenapa tiba-tiba ada yang menghubunginya.

***

Emm, dilihat-lihat tulisan kali ini bagus juga🤭
Setelah di baca ulang, jadi mikir, kok pernah ya, bikin part kayak gini?😁😁
Oh, ya, selamat membaca ya!
Selamat menunaikan ibadah puasa, semoga hari ini lancar❤️

22 April 2021

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang