Re-frain 29 | Sorry

13 2 0
                                    

“Tadi siapa?”

“Nyokap lo?”

Helene sudah berkali-kali bertanya akan hal sama sejak sampai hingga keluar dari lift. Leo sama sekali tidak memberikan sedikitpun penjelasan padanya. Cowok itu justru mendiamkannya. Helene sudah sangat penasaran dengan wanita yang tiba-tiba muncul. Siapa dia itu masih menjadi pertanyaan yang mendasar.

“Masuk!”

“Iya?”

Helene mendapatkan tatapan dingin Leo untuk kesekian kali setelah beberapa waktu akhir-akhir ini tidak mendapatkannya. Leo berdiri dengan tangan yang masih memegang pintu yang baru saja dibukanya. Menyuruh cewek yang berdiri di ambang pintu untuk masuk ke dalam.

Bahunya didorong untuk mengikuti perintahnya. Helene masih berusaha menahan, namun cowok itu sedang tidak ingin berdebat dengannya. Helene menghentakkan kakinya ke lantai, melihat Leo yang sudah berjalan masuk ke dalam.

“Kripik kentang asli!”

Leo membalikkan tubuhnya tanpa melihat Helene yang merajuk. “Ambil tempat!” Titahnya sambil menggerakkan dagunya ke sofa.

“Lo nggak ada niat jawab pertanyaan gue dulu?”

“Gak perlu.” Ucap Leo ketus.

“Emang dasar aneh, udah penasaran banget juga.”

“Apa?”

“Lo denger kan? Bisa jawab dong harusnya.”

***

Helene berjalan mengelilingi ruangan ini. Entah apa yang membuat kedua kakinya berjalan lancang melihat-lihat setiap sudut apartemen orang lain. Helene berusaha melenyapkan rasa bosan yang tiba-tiba merayapinya. Cewek itu tidak peduli jika si pemilik akan memarahinya nanti, hitung-hitung ini sebagai caranya untuk mencari bukti lain yang bisa diambil dari apartemen Leo.

Tiba-tiba pandangannya melihat sesuatu yang berhasil menarik rasa penasarannya. Sebuah benda yang ada di rak bawah meja yang di samping sofa. Helene mendekatinya lalu mengambilnya. Sebuah foto yang menampilkan ketiga orang yang salah satunya adalah seorang balita dalam gendongan wanita cantik. Matanya tidak merasa terbohongi jika itu benar milik Leo.

Helene terkejut ketika foto itu ditarik paksa ke atas. Menutupi keterkesiapannya, Helene segera menormalkan kembali raut wajahnya. “Itu lo?”

“Siapa yang nyuruh buat lancang?”

“Itu beneran lo?” Helene kembali bertanya. Tak lama kemudian melepas tawanya di udara.

”Bule banget sih bayinya.”

Leo menatap Helene dingin membuat tawanya yang keras itu seketika berhenti. “Kenapa lo tinggal di apart kalo bisa tinggal sama keluarga lo?”

“Kenapa lo cerewet?”

Helene kembali mengambil foto itu dari atas meja. Mengamatinya untuk kedua kalinya. “Nyokap lo cantik juga ya.”

“Lo nggak denger?”

Leo meraih foto itu dari Helene, namun cewek ini malah mempermainkannya. Belum berhasil sampai di situ, Helene menyembunyikan foto itu di belakang tubuhnya. Namun, Leo merampas itu dengan cepat, hingga tidak membuat jarak di antara mereka.

Pandangan dari balik bulu mata lentik itu jatuh pada manik mata berwarna hazel. Menatapnya begitu dalam menyorot keseluruhan dari perhatiannya. Helene mematung meski bingkai foto itu sudah beralih dari tangannya. Leo sudah berhasil mengambilnya.

Helene tidak dapat merasakan apa-apa kecuali jantungnya yang bergemuruh sangat kuat. Tubuhnya menegang berada dalam posisi seperti ini dengan seorang Leo. Untuk beberapa waktu, udara di sekelilingnya mendadak hilang, Helene tidak dapat menghirupnya secara normal.

Melihat setiap senti wajah Leo secara terperinci membuat Helene hanya bisa bergerutu dalam hati. Sisi lain dalam dirinya mengakui jika Leo benar-benar tampan. Bohong kalau Helene masih berusaha mengelak akan hal itu kepada orang lain.

Sedetik selanjutnya Helene sudah berhasil kembali ke dunia nyata. Dirinya segera menjauhkan tubuhnya dari Leo. Ini adalah momen ter-akward setelah beradu tatap dengan cowok itu. Dan sebisa mungkin bagi Helene untuk menetralkan kembali degupan jantungnya.

Helene mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tak lama berselang, Leo berjalan ke kamarnya. Cewek itu hanya mengamati setiap gerak-gerik yang Leo lakukan di hadapannya. Tidak berhenti sampai di situ saja, Helene kini mengikuti Leo untuk kesekian kalinya.

“Lo ada masalah ya?” tanyanya santai tanpa rasa bersalah walaupun Leo sudah menatapnya tidak suka dengan pertanyaaannya.

“Kenapa lo ngerasa nggak nyaman waktu gue bahas soal—“

“Lo mau tau?” Tanpa menunggu jawaban Helene, cowok itu langsung menarik tangannya. Di otaknya begitu banyak hinggap pertanyaan aneh untuk cowok yang sekarang menuntunnya untuk duduk di balkon apartemennya.

***

“Kenapa lo nggak cerita dari tadi?”

“Kenapa lo nangis?”

Leo melihat itu. Sebulir air bening yang melintas dari pelupuk mata Helene mengalir bebas di pipi cewek itu. Baru kali ini mungkin, Leo menceritakan masalahnya kepada Helene. Cewek yang memaksanya untuk melakukan semua itu.

Helene menyapu sisa air matanya lagi. Hatinya terlalu rapuh untuk mendengar cerita Leo. Bahkan dirinya tidak bisa jika akan berada dalam posisi cowok itu. “Gue nggak bisa bayangin kalo gue ada di posisi lo.”

“Gue nggak nyuruh.” Sahutnya dingin. Cowok itu berdiri di hadapannya. Bukan ikut bersedih karena ceritanya sendiri, Leo justru mengacak puncak kepala Helene. “Masuk!”

“Sorry.”

Leo menghentikkan langkahnya untuk kembali menatap ke belakang. Cewek dengan seragam sekolahnya itu menunduk sambil memainkan tali pada gelang-gelangnya. Helene sudah salah untuk meminta cowok itu bercerita semuanya kepadanya.

“Gue nggak suka dikasihanin.” Ucapnya lalu memilih untuk berjalan masuk terlebih dahulu. Meninggalkan Helene yang masih menunduk dengan rasa bersalah yang semakin kuat menggelutinya.

***

Haloo!
Ceritanya tiap hari mau update, nih!
Karena kemarin kelupaan mau up, jadi hari ini double.
Naah, asik kan?
Jadi, selamat membaca🥰
Tetap jaga kesehatan, ya!

28 Maret 2021

Re-frain ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang