Mentari pasrah saja sewaktu dirinya diseret Lala supaya ikut ke kantin. Mentari yang memang lebih sering menitip itu pun hanya memandang malas antrean yang cukup panjang dan sialnya mereka berdua berada di barisan paling belakang.
"La, kita pindah ke kantin sebelah aja deh. Di sini malesin, gue males antre," ujar Mentari.
Lala yang berdiri di depannya pun menoleh. "Ya udah lo tungguin aja di meja. Biar gue yang pesen. Lo pesenan kayak biasa, 'kan?"
"Hm. Bumbu kacangnya banyakin. Kalo gitu gue nunggu di belakang."
"Oke!"
Bruk!
Tubuh Mentari perlahan terpental kembali ke belakang hingga punggungnya membentur punggung milik Lala.
"Kenapa, Tar—" Lala terdiam begitu melihat sosok yang tidak sengaja ditubruk Mentari barusan.
"Sori, ya. Gue—" Ucapan Mentari terhenti saat melihat seorang laki-laki di depannya. "Maaf, Pak. Gak sengaja." Mentari memasang tampang datar. Dia lantas menatap beberapa murid yang memandang ke arahnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia yang awalnya hendak pergi ke salah satu meja kosong pun tidak jadi dan justru diam di tempatnya.
"Bapak kenapa ke sini sih?" tanya gadis itu.
"Kok lo malah ngomong gitu sih?" Lala menyikut lengan sahabatnya itu. Mulut Mentari memang kadang suka ceplas-ceplos sesukanya.
"Ih, diem, La." Mentari menjauhkan tangan Lala darinya dan kembali berfokus pada guru olahraganya. "Pak Chandra kan guru nih ya. Langsung nerobos aja ke barisan depan, anak-anak gak bakalan pada protes kok."
"Loh, emangnya kenapa kalo saya ikut ngantre? Hak saya dong. Kenapa kamu marah?" balas Pak Chandra dengan kedua tangan yang sudah dilipat di depan dada.
"Tar, udah dong. Masa lo mau ngajak ribut guru juga?" Lala berbisik seraya menarik-narik lengan baju milik sahabatnya itu. "Gak enak juga sama orang-orang di sini, Tar."
Mentari berdecak. "Iya, iya."
"Jangan lupa kerjain tugas makalah yang dari saya," ucap Pak Chandra hingga langkah kaki Mentari kembali terhenti. Gadis itu memutar kedua matanya.
"Iya, Pak." Ia memasang senyuman selebar mungkin dan cemberut di detik berikutnya. Gadis itu melangkah ke salah satu meja kosong dengan kedua alis bertaut.
"Apa dia gak sadar kalo semua orang ngira yang enggak-enggak tentang dia sama gue? Apa minggu depan gue ikut turun ke lapangan ya? Ah, sial!" Mentari mengacak-acak rambutnya.
"Ma-maafin teman saya ya, Pak. Dia emang suka kayak gitu." Lala menggigit bibirnya. Gara-gara tingkah Mentari barusan, ia jadi ikut malu.
Pak Chandra tersenyum tipis.
***
"Emangnya mereka berdua sedeket itu, ya?" Alan menatap beberapa orang yang memperhatikan Mentari. Gadis itu terlihat membuat keributan kecil di antrean paling belakang. Dan yang mengejutkannya lagi, kali ini tidak tanggung-tanggung dia mengajak gurunya sendiri adu argumen, entah apa yang mereka ributkan.
"Lo anak baru sih. Jadi belom denger, ya?" Eric mengunyah siomay yang ada di dalam mulutnya dan mengikuti arah pandangan Alan.
"Mentari itu murid istimewa di sini."
"Hah?" Salah satu alis Alan naik dan menatap Eric.
"Si Mentari itu emang selalu mendapat perlakuan khusus dari guru-guru, tapi yang gue denger kalo perlakuan Pak Chandra itu beda ke dia," ujar Eric seraya melanjutkan kegiatan makannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Teen FictionVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...