43. Alasan Tugas Kelompok

84 22 12
                                    

"Kamu tunggu di sini." Chandra melepas sabuk pengaman usai ia memberhentikan mobilnya di pinggir jalan.

Dari dalam, Mentari menatap Chandra yang berjalan menghampiri beberapa orang bapak-bapak yang sedang mengobrol di sebuah kedai kopi sederhana.

Lelaki itu terlihat menanyakan nama tempat di mana tempat Alan berada. Selagi Chandra bertanya pada orang-orang, Mentari masih terus menghubungi Alan. Menurut perkiraan Chandra, mereka berdua sudah cukup dekat dengan Alan.

"Pak Chandra lagi nanyain tempatnya ke orang-orang sini. Lo jangan pergi ke mana-mana. Lo tahu mobilnya Pak Chandra, kan?" ujar Mentari setengah kesal. Pasalnya ia mulai pusing hanya dengan menatap teriknya sinar matahari di luar sana dan ingin buru-buru pulang tapi malah harus terjebak bersama dengan Cha ndra.

"Lo beneran ke sini sama dia?" Alan malah balik bertanya.

"Harusnya gue pergi sama nyokap, tapi berhubung lo tadi nelepon dia juga, jadi dia ngajakin gue." Mentari mendengkus setelahnya. Ia lalu meminum thai tea yang sempat dibelikan Chandra tadi. Walau tak mengeluh kepanasan, tapi gerak-gerik Mentari cukup kontras di mata Chandra mengingat gadis itu yang 'anti matahari', meskipun sedang berada di dalam mobil dengan AC yang menyala.

"Habisnya gue gak tahu mau minta tolong sama siapa." Alan terdiam selama beberapa saat. "Gue tahu kok mobilnya dia."

"Sip deh."

Bersamaan dengan itu, Chandra masuk kembali ke dalam mobil.

"Gimana? Mereka tahu?" Mentari menatap lelaki di sebelahnya yang kembali memasangkan sabuk pengaman.

"Gak jauh dari sini kok. Katanya nanti ada perempatan di depan, abis itu belok kiri. Nanti tokonya gak jauh dari sana." Chandra melirik spion sejenak sebelum kembali melajukan mobilnya.

"Dasar ceroboh."

Walau terdengar pelan, namun Mentari masih bisa mendengar ucapan Chandra barusan. Apa lelaki itu baru saja mengatai Alan ceroboh?

"Emm- Pak, enggak mau minum?" tanya Mentari seraya menyodorkan cup minumannya.

"Enggak usah, kamu habisin aja. Pasti haus, kan?" Chandra menatap Mentari sesaat seraya tersenyum tipis.

"Ta-tapi kan, Pak Chandra pasti juga haus. Harusnya tadi Bapak enggak cuma beli satu." Mentari berujar. Untuk pertama kalinya, gadis itu berbicara dengan nada normal, tak ada ketusnya sama sekali dan hal itu membuat Mentari canggung sendiri.

"Udah, minum aja buat kamu. Nanti saya bisa beli lagi."

Mobil milik Chandra berbelok ke sebelah kiri usai melewati sebuah perempatan. Mentari menatap ke samping kanan kiri jalanan dan menajamkan penglihatannya, memastikan kalau Alan tidak terlewat.

"Bapak yakin tempatnya di sini?" tanya Mentari. Kedua matanya masih berkeliling ke sekitar.

"Hm. Mereka bilang di sini- lihat, dia di sana." Chandra membelokkan mobilnya ke depan sebuah toko kelontong sederhana di pinggir jalan, dan di sana ia bisa melihat seorang murid SMA yang tengah celingak-celinguk di atas jok motornya. Tepat di bawah pepohonan yang ada di sana, mobil Chandra berhenti.

"Itu- Alan?" Mentari berkedip dua kali. Kedua alisnya sudah menekuk dan gadis itu hampir membuka pintu di sebelahnya namun Chandra segera menghentikannya.

"Biar saya aja." Chandra segera menyelanya dan melepas sabuk pengaman.

Sementara itu di luar, Alan menyadari ada sebuah mobil berhenti tak jauh dari posisinya. Ia melihat Chandra yang baru saja keluar.

"Lo kenapa bisa ada di sini sih?!" ujar Chandra setengah kesal. Jarak dari sekolah ke tempat itu lumayan jauh, membuatnya tak habis pikir. Wajah Alan pasti sudah dicetak di selebaran lalu ditempel di berbagai tempat dengan tulisan missing people atau orang hilang.

"Gue- ngikutin angkot tadi." Alan menggaruk lehernya.

"Angkot?" Kening Chandra mengerut. "Masih untung lo gak lupa gue sama Mentari, jadi kita berdua bisa ke sini." Ia membuang napas pelan. "Kalo gitu sekarang pulang, hari udah makin sore. Gue juga harus nganterin Mentari pulang."

Mendengar nama Mentari, Alan langsung menatap ke dalam mobil Chandra. Ia lalu menatap seseorang dengan jaket merah muda bertelinga kucing yang melongokkan kepala di jendela.

"Gue udah ngomong ini sama lo. Lo harus bener-bener periksa lagi, Lan. Kondisi lo-"

"Iya, gue tahu kok." Alan menginterupsi ucapan Chandra.

"Inget-inget mobilnya, ya, jangan sampe nyasar lagi!" ujar Mentari setengah berteriak dari dalam mobil.

"Bawel!" Alan membalas. Ia kembali memakai helmnya dan mulai menghidupkan mesin motornya.

"Setelah ini, lo harus periksa. Jangan sampe gue yang jemput lo ke rumah dan nyeret lo ke hadapan bokap gue," ujar Chandra kemudian. Usai mengatakannya, lelaki itu berjalan kembali ke dalam mobil.

***

"Bu, Kak Mentari sama siapa?" tunjuk Galang ke luar jendela. Mala yang sedang menonton TV pun beranjak dari posisinya dan menghampiri bocah itu. Ia bisa melihat sebuah mobil berhenti di depan pagar rumah, lalu Mentari turun tak lama setelahnya. Lalu ia juga melihat motor Alan yang melewati mereka.

Sementara itu di luar, Mentari turun dari mobil Chandra usai mengucapkan terima kasih, walau raut wajahnya masih saja tak bersahabat setiap kali berbicara dengan Chandra.

"Ibu kamu ... Gak bakalan marah?" ujar Chandra.

"Enggak. Kan, tadi saya sendiri yang bilang mau ngerjain tugas kelompok. Udah, Bapak pergi aja sana." Mentari memberi kode dengan kedua tangannya.

Chandra malah tertawa. "Oke, oke. Saya pulang sekarang. Salam ya, buat ibu sama adek kamu," ujarnya kemudian, lalu melajukan kembali mobilnya.

Mentari menurunkan topi jaketnya dan menatap mobil milik Chandra yang melaju semakin jauh.

"Bisa-bisanya lo punya temen kayak dia, Lan," ujar Mentari setelahnya. Ia baru saja berbalik dan hendak pergi ke dalam rumah namun langkahnya berhenti begitu melihat motor Alan yang masih berada di halaman rumah.

Sepertinya kondisi Alan memang agak berbeda dengannya. Mentari rasa, semakin hari memori Alan agak kacau. Bahkan lelaki itu kini mudah melupakan sesuatu, termasuk nama orang-orang yang dikenalnya.

Mentari melanjutkan langkahnya ke dalam rumah. Matahari sudah hampir tenggelam, membuat halaman rumahnya teduh dengan semilir angin sore yang melewatinya.

"Dari mana kamu, Tar? Beneran kerja kelompok?" Mala sudah berdiri di balik pintu begitu Mentari masuk. Wanita itu sudah menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Eh? I-iya, Bu. Tadi Mentari kerja kelompok dulu."

"Kayaknya tadi yang di mobil cowok deh!" Bocah yang berdiri tak jauh dari posisi Mala itu menceletuk, membuat Mentari membulatkan kedua matanya.

"Itu kan cuma temen!" Mentari berujar cepat.

Mala masih menatap putri sulungnya selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi dari sana.

"Ya sudah, sana mandi. Ini udah sore, Ibu mau nyiapin makan malam."

Mentari menatap ibunya yang pergi ke dapur, lalu setelahnya gadis itu beralih menatap Galang dengan kedua mata yang menyala, membuat bocah itu bergerak mundur menuju sofa.

Begitu Mala menyalakan keran, samar-samar ia mendengar teriakan Galang dari arah ruang tamu.

-TBC

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang