Sebelum pintu mobil benar-benar dibuka, Mentari menaikkan topi jaketnya hingga menutupi kepala. Usai berpamitan pada ibunya, gadis itu membuka pintu mobil dengan agak tergesa dan langsung melangkah lebar dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Bahkan peringatan dari ibunya tak digubris sama sekali.
Di tengah perjalanannya menuju koridor, seseorang menepuk bahu Mentari dari belakang. Begitu menoleh, Mentari menatap sebuah motor yang melesat mendahuluinya. Ia melihat si pemilik motor itu mengangkat satu tangannya yang mengepal ke udara. Tanpa bersusah payah menebak, Mentari sudah bisa mengenalinya. Gadis itu tersenyum lebar lalu balas mengangkat tangannya ke udara, membuat lelaki tadi melirik ke arah spion dan tersenyum di balik helm yang ia kenakan.
Begitu kedua kakinya berhasil mencapai lantai koridor, Mentari membuang napasnya dan berhenti sejenak di sana. Ia membiarkan orang-orang yang tadi berjalan di belakang melangkah mendahuluinya.
"Masih aja begini. Padahal gue udah ngumpulin keberanian banyak semalem buat nyiapin ini." Mentari bergumam pelan. Ia menatap orang-orang di sekitarnya dengan napas yang masih tersengal dan kedua telapak tangan dingin. Rasanya ia iri sekali dengan mereka yang bisa menikmati sensasi berjemur di bawah hangatnya sinar matahari setiap pagi.
"Wih, balik lagi jadi kucing pink!" Seseorang menarik topi jaket Mentari ke belakang rambut gadis itu terekspos.
Mentari menolehkan kepalanya dan menatap Alan yang sudah ada di sana. "Habisnya kemarin lo ngatain gue cosplay jadi bunga matahari sih." Ia berujar dengan memasang wajah cemberut, tetapi di detik berikutnya mereka berdua tertawa.
"Kan, biar sesuai sama nama lo. Mentari, kan? Gak ada salahnya lo pake kostum bunga matahari." Alan melipat kedua tangannya di depan dada. "Tapi penampilan lo itu emang bikin lo gampang dikenali sih. Lo kan sering pake jaket pink dan menurut gue itu udah ciri khas lo," ujarnya kemudian.
"Jadi, lo bakalan terus inget gue, kan?" Mentari menaik-turunkan alisnya, sementara Alan mendadak diam usai mendengar pertanyaan gadis itu. Setelahnya lelaki itu tersenyum seraya menganggukkan kepala.
"Pukul aja kepala gue kalo sampe gue gak inget sama lo. Oke?" Alan mengedipkan sebelah matanya kemudian tertawa pelan.
Kini, justru Mentari yang diam.
Menyadari Mentari tertinggal di belakang, Alan menghentikan langkahnya dan berbalik. Ia menatap perubahan ekspresi wajah gadis itu, lalu kembali menarik kedua sudut bibirnya ke atas.
"Gue bercanda. Kan, gue udah bilang kalo gue gak bakalan lupa sama lo. Tinggal nyari jaket pink yang ada telinga kucingnya. Iya, kan?" ujar Alan seraya berjalan menghampiri Mentari.
Walau tak mengatakan apapun sebagai balasan, tetapi Mentari berusaha untuk menganggukkan kepala. Ia bahkan diam saja saat Alan menarik bahunya dan membawanya beranjak dari sana.
Karena kelas Mentari ada di lantai atas, mereka pun berpisah di tangga. Gadis itu tak langsung naik dan masih menatap punggung Alan yang menjauh.
"Lo janji kan, Lan?" batin Mentari. Ia kemudian mulai menaiki satu per satu anak tangga tanpa menyadari kalau langkah Alan berhenti dan lelaki itu berbalik menatapnya.
Mentari yang sudah hampir sampai di kelasnya itu sempat berhenti saat ia melihat keberadaan Lala dari kejauhan. Sahabatnya itu tampak sudah berdiri di depan pintu kelas.
Dari gelagatnya, Lala tampak seperti menunggu seseorang. Mentari yang memang merasa bersalah karena kemarin tak menyadari panggilan dari Lala itu pun hanya bisa menelan ludah. Ia bahkan baru sempat membuka ponselnya setelah makan malam dan baru sadar kalau Lala beberapa kali meneleponnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/242864607-288-k735756.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Teen FictionVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...