63. Pamit

79 22 0
                                    

Suasana kantin sedang tak begitu ramai saat Mentari datang tadi. Sepertinya, beberapa murid memutuskan membawa makanan ke kelas dan memakannya di sana untuk sekalian belajar. Padahal, ada aturan di sekolahnya yang menyatakan kalau makan di dalam kelas itu tidak diperbolehkan, dengan alasan apapun.

"Orang-orang pada sibuk banget belajar kayaknya. Padahal belajar itu kan wajib dan enggak cuma pas ujian aja. Iya kan, Lan?" ujar Mentari seraya menatap ke sekitarnya.

Begitu menyadari tak ada balasan, Mentari langsung mengalihkan pandangannya pada murid laki-laki yang duduk di depannya. "Kenapa, Lan? Lo gak enak badan lagi?"

Alan mengerjap pelan, kemudian tersenyum tipis, "Enggak kok. Gue cuma kepikiran nilai gue nanti."

Mentari membuang napasnya pelan, "Gak usah dipikirin sampe kepala lo sakit. Lo udah belajar dengan giat," ujarnya. "Lo gak inget sama omongan Pak Chandra? Kan, dia bilang selain fokus belajar, lo juga harus fokus sama kondisi lo."

Setelahnya, Mentari meraih botol air mineral milik Alan dan membukanya. "Nih, minum dulu biar kepala lo segeran dikit."

Alan menatap botol itu sejenak, "Padahal gue juga bisa buka tutupnya sendiri." Ia menahan tawa.

Di saat itulah kehebohan datang. Lala tiba-tiba berlari ke meja Mentari hingga sahabatnya itu tersedak pelan dan berakhir mengomelinya.

"Sori, sori. Gue baru aja dapet kabar!" ujar Lala begitu heboh. Dengan tidak tahu dirinya ia mengambil es jeruk milik Mentari hingga tersisa setengah gelas.

"Kabar apaan?"

"Barusan pas gue di toilet, gue gak sengaja denger beberapa murid ngomongin Pak Chandra dan katanya-" Lala menghentikan kalimatnya seraya menatap Mentari dan Alan secara bersamaan. "Pak Chandra bakalan lanjut kuliah di Inggris setelah ini," lanjutnya penuh penekanan, seolah hal itu adalah berita besar yang bisa mempengaruhi kelangsungan hidup umat manusia.

"Oh."

Diliriknya tajam Mentari yang tampak tak acuh itu. Ketimbang kaget, baik Mentari maupun Alan terlihat tak menunjukkan respon yang berarti.

"Kenapa lo gak kaget, Tar? Lo ... udah tahu soal ini?"

"Hm. Dari sebelum ujian sih." Mentari menggigit sepotong bakso berukuran sedang.

Kedua mata Lala seketika membulat, "Seriusan? Lan, lo juga tahu soal ini?" Ia beralih menatap Alan dan lelaki itu mengangguk dengan polosnya, membuat bola mata milik Lala hampir kabur dari tempatnya.

"Gila lo, Mentari Putri! Bisa-bisanya lo gak ngasih tahu gue hal penting begini!"

"Gue gak mau bikin lo sedih, La. Gue perhatian banget kan sama lo." Mentari menatap Lala dengan mulut yang sibuk mengunyah bakso. Ia lalu menepuk bahu Lala saat sahabatnya itu mematung, "Sabar ya, La. Di luar sana masih banyak Chandra yang lain kok."

Bibir Lala seketika mencebik, "Lo gak asik," ujarnya dengan memasang raut muka masam, sampai akhirnya ia kembali berkata, "lo mau ngasih apa buat Pak Chandra, Tar?"

"Maksudnya?"

"Maksud gue, lo mau ngasih apa buat Pak Chandra sebelum dia pergi? buat kenang-kenangan gitu lah." Lala menjelaskan. Ia kembali meminum es jeruk di depannya.

"Kenang-kenangan? Harus banget, ya? Kayaknya gak usah deh. Lo aja sana, La." Mentari menggigit sisa pangsit yang ada di mangkuknya.

"Ya ampun, Mentari. Lo masih belum paham maksud gue, ya?" Lala memijat kepalanya, "Selama ini Pak Chandra udah baik banget sama lo. Dia selalu sigap kalo ada apa-apa sama lo bahkan meskipun dia lagi ngajar di kelas lain. Lo gak inget pas lo dihukum di lapangan upacara? Pak Chandra yang lagi ngajar di kelasnya Alan langsung ninggalin mereka tanpa pikir panjang, demi nyelamatin lo dan lo masih nanya kenapa? Setidaknya kasih dia sesuatu sebagai ucapan terima kasih, Tar. Setelah ini, kita naik ke kelas dua belas dan guru yang bakal ngajar kita nanti belum tentu sebaik Pak Chandra. Lo masih gak paham?"

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang