45. Sebuah Reminder

89 27 2
                                    

"Apa perlu gue tanyain, ya?" batin Mentari seraya membuang naas pelan. Gadis itu menatap sepiring nasi goreng di hadapannya. Asap-asap tampak masih mengepul di atasnya, menandakan kalau masakan itu belum lama matang.

Rupanya helaan napas itu terdengar oleh Mala yang selesai mencuci peralatan memasak. Wanita itu mendengar helaan napas putrinya usai ia mematikan keran air di wastafel.

"Kenapa, Tar? Kamu gak enak badan?" tanya Mala. Ia mengelap kedua permukaan tangannya dengan sebuah serbet kering secara bergantian seraya berjalan mendekati kursi yang diduduki Mentari.

"Enggak kok, Bu," ujar Mentari pelan. Ia mulai meraih sendoknya dan memakan nasi goreng buatan ibunya.

"Dari semalam Kak Mentari ngelamun terus. Palingan mikirin pacarnya yang kemarin nganterin pulang." Tiba-tiba Galang yang duduk berseberangan dengan Mentari itu menceletuk tanpa ragu.

"Pacar?" Mala seketika menatap putra bungsunya itu dengan kedua alis yang bertaut, lalu beralih pada Mentari yang tampak sudah memelototi sang adik dengan sebuah sendok yang diangkat ke udara sebagai bentuk ancaman.

"Jadi yang kemarin itu, beneran pacar kamu?" Mala melanjutkan. Ia meletakkan serbet tadi di sandaran kursi yang akan ia duduki.

"Bukan kok, Bu! Itu bukan pacar aku!" bela Mentari. Ia tak mau ibunya salah paham, apalagi jika lelaki yang Galang sebut pacar itu adalah Chandra, yang tak lain adalah orang yang mengantarnya pulang kemarin.

"Ibu sih gak masalah kalau kamu punya pacar, asalkan dia bisa ngerti kondisi kamu aja dan dia bersikap baik sama kamu, itu udah cukup kok buat Ibu." Mala mendaratkan tubuhnya di kursi dan menatap putrinya dengan seulas senyuman tipis.

"Tapi itu emang bukan pacar aku, Bu!" Mentari mendengkus pelan, lalu kembali menatap tajam Galang yang memasang tampang menyebalkan, seolah-olah dia baru saja menang dalam sebuah game. Namun Mentari tak sempat memberi bocah itu pelajaran karena Galang langsung berpamitan usai sarapan.

Mentari sendiri menyusul tak lama setelahnya. Gadis itu terlebih dulu ke luar sementara ibunya pergi mengambil kunci mobil. Di luar, Mentari yang sudah menutupi kepalanya dengan topi jaket itu diam-diam menatap ke rumah Alan dan di sana tampak motor milik pemuda itu sudah terparkir di halaman.

"Semalam dia beneran pergi, ya?" gumam Mentari. Perlahan gadis itu bergerak mendekati pagar besi yang menjadi pembatas antara rumahnya dan Alan. Samar-samar ia mendengar suara Alan dan di detik berikutnya lelaki itu tampak keluar rumah dengan tas yang tersampir di salah satu bahunya.

Kedua mata Mentari mengerjap lalu gadis itu refleks berjongkok dan bersembunyi di balik pohon mangga di depan rumahnya.

"Ngapain kamu jongkok di situ, Tar?" Mala menatap tingkah aneh putrinya dengan salah satu alis naik.

Mentari langsung membulatkan kedua matanya saat tahu kalau ibunya sudah ada tepat di belakangnya entah sejak kapan. Gadis itu buru-buru meletakkan telunjuknya di permukaan bibir, memberi kode agar ibunya tak bicara terlalu keras.

"Kenapa sih?" Mala menatap ke rumah Alan dan wanita itu tersenyum setelahnya, "Anak gadis kok ngintip-ngintip begitu. Gak baik tahu," godanya.

"Ih, Ibu!!"

Merasa mendengar adanya keributan kecil, Alan yang hendak memakai helm itu menatap ke halaman rumah Mentari dan melihat gadis itu mendorong-dorong ibunya menuju ke garasi. Salah satu alis milik Alan naik, lalu ia menggelengkan kepalanya pelan, mencoba menerka hal aneh apalagi yang dilakukan oleh gadis itu.

Ia segera menaiki motornya dan bergegas ke sekolah. Tepat sebelum melewati rumah Mentari, mobil milik Mala tampak keluar dan melaju tepat di depannya.

"Kalo dilihat-lihat lagi, Alan itu ganteng ya, Tar?" ujar Mala.

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang