Pintu kamar perlahan terbuka begitu si pemilik keluar menjelang makan malam. Padahal sejak tadi ia hanya berdiam diri di kamar, tidur pun tidak. Namun entah kenapa tubuhnya terasa begitu lelah layaknya selesai berolahraga.
"Kak Mentari habis tidur, ya? Tadi Pak Chandra ke sini loh, nyariin Kakak." Galang yang sedang menyusun puzzle itu menatap sang kakak.
Namun bukannya menjawab, Mentari justru malah menjatuhkan tubuhnya di karpet dan duduk di sebelah Galang.
"Kak Alan juga tadi sempet ke sini, tapi Kakak belum bangun. Kak Mentari tumben banget tidurnya lama, biasanya kalo pulang sekolah jarang banget tidur. Capek banget, ya?" Galang membenarkan posisi potongan puzzle yang dipasang oleh kakaknya.
"Pak Chandra tadi mau pamit sama Kakak. Katanya lusa mau pergi, soalnya mau kuliah di Inggris. Kakak emangnya enggak sedih? Pas guru aku ada yang pindah, aku sama temen-temen pada nangis loh. Soalnya gurunya baik banget." Alan melanjutkan. Ia kemudian mengambil potongan puzzle yang ada di genggaman tangan kakaknya, tapi langsung diurungkan begitu merasa ada sesuatu yang menimpa bahunya. Bocah itu kemudian menoleh, "Kak?"
Mentari masih menjatuhkan kepalanya di bahu Galang dan memejamkan matanya rapat. Sedih, katanya? Memangnya siapa yang sedih? Mentari tak merasakan semua itu. Kenapa dia harus sedih?
"Kakak kenapa?" tanya Galang. Bocah itu menatap tangan kakaknya yang mengepal kuat, bersamaan dengan potongan puzzle yang ada di dalamnya.
"Kakak sedih, ya? Besok hari Minggu, kenapa Kakak gak nyoba ketemu sama Pak Chandra sebelum berangkat? Hari Senin Kak Mentari kan sekolah. Bawain sesuatu buat kenang-kenangan, aku juga sama temen-temenku gitu. Dulu kita semua patungan beli kue dan makan bareng-bareng di kelas pas pulang sekolah."
"He treats you very well, Tar. Pak Chandra mungkin gak ngarep dapat apa-apa, tapi percaya deh, he deserves better. Dari sekian banyaknya orang di sekolah ini, gue akuin kalo Pak Chandra itu orang paling baik di sini."
Seperti yang dikatakan oleh Lala. Memberikan sesuatu sebagai tanda terima kasih memang tak ada salahnya. Namun, menemui Chandra esok hari membuat Mentari ragu. Mungkin saja besok lelaki itu sudah tak memiliki waktu luang karena harus mempersiapkan diri sebelum keberangkatannya ke Inggris dan tak bisa bertemu dengannya.
Jangankan mengajak bertemu, bahkan Mentari masih belum mengecek ponselnya. Ia belum membaca pesan yang dikirimkan oleh Chandra tadi sore. Ia tak mau melihatnya.
"Mau gue ngungkapin semuanya ataupun enggak, toh semua ini bakalan tetep terjadi. Entah itu jadi neurolog atau guru olahraga seperti sekarang, keduanya tetep keputusan yang gue ambil sendiri dan sebentar lagi, tugas gue selesai di sini. Kondisi Mentari perlahan membaik dan gue harap lo bisa jaga dia."
Chandra terlalu baik, Mentari kini mengakuinya. Lelaki itu sampai rela menunda impiannya hanya demi gadis payah sepertinya. Chandra mengorbankan banyak hal demi bisa mengawasinya. Selama hampir dua semester, Chandra diam-diam menjaganya selama di sekolah.
Namun setelah semua yang lelaki itu lakukan, Mentari justru tak sempat mengucapkan terima kasih.
***
Begitu hari sudah berganti, Chandra semakin disibukkan dengan keberangkatannya ke Inggris. Ia menatap sekeliling kamarnya dan ia akan merindukan kamar itu mungkin untuk beberapa tahun ke depan.
Kemarin ia sudah berpamitan pada guru-guru di sekolah dan juga beberapa muridnya. Ia juga sudah mengambil barang-barang miliknya yang ada di sana.
Chandra menatap tumpukan kertas yang ada di salah satu sudut meja tak jauh darinya. Benar, benda-benda itu juga tak bisa ia bawa ke Inggris. Mereka akan dibiarkan kedinginan di dalam kamarnya yang sepi nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Ficção AdolescenteVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...