Suasana sarapan pagi ini mendadak hening, tidak seperti biasanya. Mala melirik kedua putra putrinya yang tampak sibuk dengan makanan masing-masing. Pemandangan yang cukup aneh, pikirnya. Biasanya kedua anak itu akan ribut dan membuat meja makan bergetar, namun pagi ini rumah mendadak senyap. Bahkan Galang yang biasanya berebut roti bakar dengan kakaknya itu kini tampak mengalah saat sang kakak mengambil roti yang sama di atas piring. Kedua pipinya tampak menggembung menatap Mentari yang memakan sisa roti itu dengan lahap.
Akhirnya Mala pun memberikan roti miliknya pada Galang, namun anak itu menolaknya dan meminum segelas susu.
"Kalian kenapa sih? Masih marahan?" tanya Mala.
Tak ada jawaban.
"Masih gara-gara es krim yang kemarin itu?" Mala menggelengkan kepalanya, tidak pernah habis pikir dengan anak-anaknya itu. "Itu kan cuma es krim, nanti Ibu beli yang banyak."
"Gak usah, Bu. Palingan nanti juga dihabisin sama Galang lagi." Mentari melirik adiknya.
"Kok aku?!"
"Ya kan emang elo yang habisin es krim gue tanpa izin."
Galang mencebikkan bibir. "Tapi Ibu gak pernah bilang kalo es krimnya cuma buat kakak. Berarti aku juga boleh makan!"
"Tapi gak lo habisin juga. Harusnya tanya gue dulu." Gelas susu milik Mentari telah kosong. Gadis itu menatap Galang yang mendadak bungkam.
"Kan aku udah minta maaf kemarin!" protes Galang.
"Udah, udah. Jadi ribut lagi kan, sekarang cepet berangkat ke sekolah." Mala mengumpulkan piring-piring kotor di meja dan meletakkannya di wastafel. Galang dan Mentari masih menatap tajam satu sama lain, sebelum akhirnya saling membuang muka dan memakai tas masing-masing. Galang menyalami tangan Mala dan berangkat terlebih dulu. Karena jarak sekolahnya tidak sejauh sekolah sang kakak, ia pun hanya menaiki sepeda.
Sepeninggal Galang, Mentari dan ibunya keluar. Gadis itu menunggu ibunya yang sedang memanaskan mobil di garasi. Cuaca hari ini tampak cerah dengan langit yang tampak begitu biru. Cuaca yang paling dibenci Mentari. Gadis itu semakin menaikkan jaketnya hingga menutupi kepala.
Bersamaan dengan itu, penghuni rumah sebelah juga tampak memanaskan mobil di halaman. Alan yang sudah berada di dalam mobil itu tampak menunggu mamanya seraya membaca buku.
"Gak ada yang ketinggalan, 'kan?" tanya mamanya yang masuk ke dalam mobil.
"Enggak ada." Alan menjawab. Ia menutup bukunya dan melihat seseorang tengah berdiri di halaman rumah Galang. Wajahnya tak terlihat karena sebuah jaket yang ada di kepala. Kening Alan mengerut menatap jaket yang tampak tak asing itu. Tepat ketika mobil mamanya melewati rumah Galang, gadis itu masuk ke dalam mobil dan Alan tak bisa melihat wajahnya. Dengan sedikit memutar tubuhnya ke belakang, Alan menatap mobil yang ada di belakang.
"Kenapa, Lan?" tanya mamanya yang memperhatikan lewat spion.
Alan kembali memutar tubuhnya dan menggelengkan kepala pelan. "Enggak kok."
"Sekolah kamu gimana? Lancar, 'kan?"
"Lancar kok. Teman sebangku aku juga baik orangnya," ujar Alan. Ia sesekali menolehkan kepalanya ke belakang, menatap mobil yang masih berada di belakangnya itu.
"Murid perempuannya cantik-cantik gak?" goda mamanya.
Alan tertawa pelan. "Mulai deh. Kalo gak cantik ya bukan perempuan namanya."
"Mentari Putri."
Alan memegang salah satu pipinya. Meskipun bekas tamparan gadis itu sudah menghilang, namun mengingatnya membuat rasa ngilunya seperti kembali lagi. Alan benar-benar tidak ingin lagi ditampar oleh gadis bernama Mentari itu. Ya lagi pula tidak ada orang yang mau ditampar, 'kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Novela JuvenilVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...