48. Tentang Alan

76 24 1
                                    

Lala beberapa kali melirik Mentari di saat mereka membereskan buku yang ada di atas meja. Ia merasa Mentari lebih banyak diam setelah bertemu dengan Chandra dan juga Alan di lab fisika tadi. Bahkan begitu istirahat kedua, gadis itu tak merengek lapar dan juga mengajaknya ke kantin seperti biasanya.

Sesuatu pasti terjadi di antara mereka bertiga, Lala berpikir demikian. Mentari yang biasanya sewot tiap kali berhadapan langsung dengan Chandra, justru menurut bak anak kucing yang tengah diberi makan. Namun kenyataannya, justru anak kucing itulah yang meminta makan pada Chandra.

Lala menyentuh bahu Mentari saat sahabatnya itu sudah selesai lebih dulu. "Tar, lo ... baik-baik aja, kan?"

Mentari mengangguk tanpa ragu sedikit pun. "Gue baik-baik aja kok. Kenapa emang?"

"E-enggak kok. Gue ngerasa lo dari tadi banyak diem."

"Perasaan lo aja kali." Bibir Mentari menyunggingkan seulas senyuman tipis. "Oh, iya, gue duluan, ya? Nyokap udah nungguin."

"Eh?" Lala mengerjap pelan. Ia hendak memanggil kembali Mentari namun teman sebangkunya itu sudah menghilang di balik pintu. Ia menatap jam tangan yang melingkar di salah satu pergelangan tangannya, "Tumben Tante Mala jemputnya cepet," gumamnya.

Sementara itu Mentari kini sudah mencapai lantai dasar. Ia menatap bayangan pepohonan yang ada di sekitar koridor lalu segera menaikkan topi jaket bertelinga kucing miliknya.

Dengan sedikit berlari, gadis itu pergi menuju gerbang dan bersembunyi di baliknya, menghindari sengatan sang surya.

"Bagus." Mentari bergumam seraya mengatur napas. Denyut jantungnya meningkat namun ia mencoba tak menghiraukannya. Kedua matanya kemudian berkeliling, menatap ke kanan dan kiri. Ia sempat menatap sebuah angkot yang berhenti di seberang jalan, namun kedua kakinya terasa seperti terkunci di sana. Otaknya seolah memerintahkannya untuk tetap berada di sana.

Mentari mengecek ponselnya dan tak lama setelahnya, sebuah mobil berhenti di depannya. Gadis itu menatap sang sopir usai salah satu kaca jendelanya diturunkan.

"Mbak Mentari, ya?" tanya seorang pria paruh baya di dalam sana.

Mentari sedikit menundukkan badan hingga ia bisa melihat lawan bicaranya. Gadis itu mengangguk, lalu segera memasuki mobil.

"Saya langsung bisa tahu Mbak karena tadi Mbak bilang pakai jaket pink yang ada telinga kucingnya." Sopir itu melirik spion, menatap gadis yang duduk di belakang.

Mentari yang sudah menurunkan topi jaketnya itu pun hanya tersenyum tipis.

***

"Gue ngomong itu karena dia yang minta. Dia datang sendiri nyamperin gue, dan dia nanya tentang kondisi lo."

Kedua kaki milik Alan sempat berhenti, membiarkan Eric berjalan mendahuluinya dan mengoceh sendirian tanpa tahu kalau lawan bicaranya tertinggal di belakang.

Mentari menanyakan kondisinya pada Chandra. Gadis itu sudah tahu kalau dirinya dan Chandra saling mengenal satu sama lain. Alan menatap salah satu telapak tangannya yang sudah bersih, lalu menggenggamnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya dan berbelok ke koridor lain, mengabaikan Eric yang mungkin akan mengomelinya karena ditatap aneh oleh orang-orang di sekitar.

Belum juga kakinya menyentuh anak tangga, Alan sudah bertemu dengan Lala di sana. Gadis itu menatapnya dengan salah satu alis naik, seolah bertanya— Ngapain lo di sini?

"Mentari mana?" tanya Alan to the point. Lelaki itu menatap ke belakang Lala, lalu matanya menelusuri hingga anak tangga paling atas.

"Udah pulang. Nyokapnya udah jemput."

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang