Mentari masih mengatur napas setelah berhasil meminum obat begitu sampai di rumah. Jaketnya dipenuhi rumput-rumput kering yang menempel, membuatnya sempat mengomeli Alan selama dalam perjalanan pulang.
Namun, coba tebak apa yang justru lelaki itu lakukan?
Mentari menatap sesuatu yang berada di hadapannya, lalu beralih menatap Alan begitu lelaki itu memanggilnya.
"Bawa ke sini bunganya!" titah Alan. Beruntungnya Alan berada di tempat yang teduh hingga Mentari tak perlu mengeluarkan suaranya lagi.
"Kenapa lo malah bawa ginian?" ujar Mentari seraya ikut berjongkok di sebelah Alan. Sebelum mereka pulang, Alan tak sengaja menemukan dua tanaman bunga matahari yang masih kecil. Mentari sempat meragukannya dan berpikir itu hanya sejenis rumput liar karena memang tak ada tanda-tanda akan berbunga. Tapi Alan dengan sifat ngeyelnya bersikeras kalau itu bunga matahari.
"Pasti ntar kalo berbunga bakalan beda banget. Lo pasti bakalan suka!" ujar Alan dengan penuh percaya diri. Di perjalanan pulang tadi ia sempat membeli dua buah pot dan juga tanah. "Kita rawat masing-masing satu, oke? Siapa yang bunganya berbunga duluan, dia yang menang."
"Yang kalah harus traktir yang menang selama seharian!" ujar Mentari dengan bibir yang masih mengerucut.
"Siapa takut!"
"Sepuasnya!" tegas Mentari dengan ujung mata yang mengarah pada Alan.
"Iya, sepuasnya!"
Bibir Mentari pun mendadak membentuk seulas senyuman. Bersama Alan, ia menanam bunga matahari itu untuk beberapa waktu ke depan.
Mentari sempat menatap tangan Alan begitu mereka selesai menanam bunga. Ia mengerjap pelan. "Lan, tangan lo .... "
Alan menyadari tatapan Mentari dan ia beralih menatap kedua tangannya yang dihiasi baret, lalu tertawa pelan. "Kayaknya tadi kegores rumput-rumput pas nyari obat lo. BTW lo udah ngerasa mendingan?" tanyanya.
Mentari mengangguk pelan. Wajah dan juga tangannya masih tampak kemerahan, walau tak separah biasanya karena untungnya serangan paniknya tak ikut kambuh.
"Sori, ya," lirih Mentari.
"Kenapa malah minta maaf? Harusnya gue yang minta maaf sama lo. Tangan lo juga sampe luka. Coba sini gue lihat." Alan meraih kedua tangan Mentari untuk melihatnya lebih dekat.
"Enggak parah. Sama kayak punya lo."
Tiba-tiba saja Alan tertawa, membuat Mentari kebingungan karena ia merasa tak ada yang lucu di sana.
"Kenapa lo malah ketawa? Ada yang aneh sama gue?" Mentari memeriksa pakaiannya.
"Enggak kok." Alan mencoba menahan tawanya, kemudian berujar, "Gue cuma keinget pas lo jatoh tadi. Lo kayak anak anak kecil yang baru aja belajar jalan, Tar."
Setelahnya Alan kembali terbahak hingga membuat Mentari kesal dan berakhir menyalakan keran di sebelahnya dan menyiram lelaki itu bersamaan dengan bunga yang baru saja mereka tanam.
***
Suasana rumah tak begitu ramai bahkan setelah Alan selesai mandi. Mamanya sedang pergi menemui seseorang dan belum pulang hingga saat ini. Satu per satu lampu di rumahnya ia nyalakan karena hari yang menjelang malam.
Ia kemudian berjalan ke luar dan menatap bunga matahari yang tadi siang ia tanam bersama dengan Mentari. Sesuai kesepakatan, masing-masing dari mereka mengambil satu untuk dirawat hingga tumbuh semakin besar dan berbunga.
Tak lama setelahnya ia mendengar adanya keributan dari arah rumah Mentari. Ia tersenyum tipis usai menyadari kalau suara Galang terdengar, menandakan kalau bocah itu sudah pulang dari rumah bibinya. Suasana rumah yang kemarin sepi kini berubah kembali menjadi ramai setelah kedua kakak beradik itu kembali bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Ficção AdolescenteVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...