Langkah Chandra dan juga Alan berhenti begitu menyadari kalau Mentari tertinggal beberapa langkah di belakang. Keduanya menolehkan kepala, menatap Mentari yang kini bergeming di tempat seraya menatap bayangan samar dirinya di atas permukaan rumah sakit.
Usai Erwin mendapatkan pasien, ketiga anak muda itu sempat memutuskan untuk pergi ke tempat lain yang ada di rumah sakit untuk mengobrol tetapi Mentari memilih pulang.
"Kenapa, Tar?" tanya Alan. Sejak kedatangannya tadi, Mentari menjadi jarang sekali berbicara dan itu sedikit membuatnya tak nyaman serta cemas.
"Maaf, Pak Chandra," lirih Mentari, tetapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh si pemilik nama.
Melihat itu, Chandra membuang napas pelan dan segera melangkah mendekati Mentari. "Kamu sudah terlalu banyak meminta maaf, Mentari. Kamu sama sekali enggak salah dan saya juga enggak marah," ujarnya seraya mengusap pelan puncak kepala Mentari. "Jadi, berhentilah minta maaf. Apa yang saya lakukan selama ini itu sudah keputusan yang saya buat dan enggak ada sedikit pun rasa penyesalan."
Kedua tangan Mentari masih meremas kuat pinggiran seragamnya, hingga Chandra meraih tangan gadis itu lalu menggenggamnya, "Tolong jangan salahkan diri kamu lagi. Setidaknya sebelum saya pergi, saya enggak mau bikin orang lain sedih."
Mentari segera mengusap permukaan pipinya yang basah. "Harusnya Pak Chandra ngasih tahu kalau Pak Chandra itu orang yang pernah nolong saya dulu. Selama ini sikap saya memperlakukan Bapak dengan buruk. Saya cuma mau ngucapin terima kasih."
Perlahan Chandra menarik kedua sudut bibirnya ke atas hingga membentuk seulas senyuman. "Saya hanya enggak mau kamu bersikap baik hanya karena saya pernah nolong kamu. Bagaimana pun sikap kamu sama saya, itu sama sekali enggak masalah, Mentari. Karena itu memang kamu." Ia menatap kedua mata gadis di depannya, lalu kembali tersenyum, "Sekarang kamu sudah bisa naik lift sendirian dan itu bagus."
Mendengar itu, Mentari tersenyum. Dulu dirinya adalah seorang bocah penakut yang tak berani masuk ke lift sendirian, tetapi sekarang tidak lagi. Walau tergolong hal kecil, namun hal itu sudah cukup membuat Mentari bangga akan dirinya.
Dengan kata lain, kita sepatutnya mengapresiasi segala hal baik yang sudah kita lakukan baik itu terhadap diri sendiri maupun orang lain, begitu pula saat orang lain yang melakukannya pada kita walaupun itu adalah sesuatu yang sederhana.
Mereka kembali melanjutkan langkah hingga tiba di depan lift. Alan dan Mentari sudah terlebih dulu memasuki lift, akan tetapi Chandra berhenti di luar.
"Kalian pulang duluan, ya. Saya masih ingin berada di sini." Chandra berujar, hingga Alan dan juga Mentari menatapnya.
Mentari dan Alan bertukar pandang satu sama lain, kemudian mengangguk seraya tersenyum seolah mereka sedang bertukar pikiran. Mentari berjalan keluar dari lift dan langsung menarik salah satu lengan Chandra hingga membuatnya terkejut, akan tetapi setelahnya Chandra tersenyum dan mengikuti langkah Mentari masuk ke dalam lift.
Alan segera menekan tombol dan tak lama setelahnya pintu lift menutup.
"Tar, lo pulangnya gimana? Gue kan naik motor," ujar Alan. Ia bukannya tak mau membawa Mentari bersamanya, namun sekarang ia sudah hapal dengan gadis itu. Ya, setidaknya untuk saat ini ia masih bisa ingat.
Mentari terdiam selama beberapa saat seolah disadarkan oleh pertanyaan barusan. "Bener juga. Gue naik taksi aja deh. Hmm ... tapi gak ada salahnya juga gue nyoba naik mot—"
"Gak usah nekat! Gimana kalo lo kenapa-napa lagi? Lo mau gue kena ceramah manusia ini?" Cerocos Alan seraya menunjuk Chandra.
Mentari seketika melirik Chandra di sebelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Fiksi RemajaVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...