Alan bergerak gusar di atas tempat tidurnya. Lelaki itu berusaha mencari posisi ternyaman namun tak kunjung menemukannya juga. Ingatannya sudah cukup buruk, ditambah kalimat Chandra tadi siang membuatnya tak bisa tidur atau sekadar memejamkan kedua matanya sama sekali.
"Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu kalo gue punya alzheimer? Temen sekelas gue aja gak ada satu pun yang tahu." Alan membuang napas dan menatap langit-langit kamarnya. "Gue harus nanyain langsung ke dia besok."
Salah satu tangannya lalu meraba nakas dan mengambil sebuah ponsel yang tergeletak di sana. Tak kunjung bisa tidur, akhirnya ia memilih memainkan ponselnya saja. Lalu tangannya membuka salah satu aplikasi chatting dan dengan iseng dia mengirimkan sebuah pesan pada tetangga sebelahnya. Sungguh mengejutkan, karena gadis itu sedang online dan mengirimkan sebuah balasan.
Apaan?
Alan berkedip dua kali. Ia lalu mengetikkan sesuatu.
Belom tidur?
Bego. Kalo gue udah tidur, gak mungkin bales chat lo.
Benar juga, pikir Alan. Ia akhirnya menekan ikon berbentuk telepon yang ada di layar ponselnya. Panggilannya tidak langsung dijawab, membuat Alan berpikir kalau si pengidap heliophobia itu kini sudah terlelap lebih dulu. Namun dugaannya terbantahkan tatkala suara sinis khas gadis itu menyapa indra pendengarannya.
"Kenapa sih?" Terdengar suara Mentari sedikit tidak bersahabat di seberang sana.
"Gue gak bisa tidur," jawab Alan seadanya. "Lo ... lagi ngapain?"
"Ngerjain makalah."
"Makalah?"
"Hm. Gue kan tiap praktik olahraga gak pernah ikut, cuma jadi penonton doang di pinggir. Jadi gantinya gue bikin makalah," jelas Mentari. Samar-samar Alan bisa mendengar suara keyboard yang ditekan oleh gadis itu.
Alan tertegun. Ia lalu melihat jam yang ada di atas meja belajarnya dan ia terkejut saat jarum jam hampir menunjuk angka dua belas. "Lo gak salah? Ini udah mau pagi."
"Bukan urusan lo. Gue udah biasa kayak gini. BTW lo sendiri kenapa nelepon gue sih? Kalo gak bisa tidur ya merem aja apa susahnya."
Alan menggaruk lehernya yang tidak gatal. "Gak mempan," ujarnya. "Jadi gue maen HP aja. Gue pernah baca katanya kalo kita maen HP, bisa bikin mata cepet capek terus ngantuk."
"Heh, yang ada tuh ngerusak siklus tidur lo. Lo gak tahu apa, kalo radiasi HP itu bisa bikin susah tidur?"
Hening selama beberapa saat.
"Terus gue harus apa?"
"Ya mana gue tahu, anjir. Tidur aja sama Tante Dewi." Mentari menjawab asal, membuat Alan mencebikkan bibir. Lelaki itu lantas mengingat kembali ucapan Chadra yang membuatnya tak bisa tidur.
"Eh, BTW lo ngomong ke Pak Chandra kalo gue punya alzheimer?" tanyanya.
"Ya enggak lah, ngapain juga gue bilang ke dia."
Bukan Mentari yang bilang, batin Alan. Lantas dari mana gurunya itu tahu?
"Tapi kok-"
"Astaga, Alan. Udahlah, lo mending tidur aja sana. Gue malah susah fokus. Udah, ya? Bye!"
"Loh? Mentari? Halo?" Alan menatap layar ponselnya. Padahal dia mau menanyakan soal Chandra yang bisa tahu penyakitnya, tapi ya sudahlah. Mentari akan mengamuk jika dia sampai nekat meneleponnya lagi.
***
Pagi hari di kediaman Mentari tidak pernah sepi selama dua makhluk tukang rusuh itu masih ada di sana. Mala yang tengah mengolesi roti dengan selai itu hanya menggelengkan kepala.

KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Teen FictionVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...