Kedua kaki itu melangkah gontai seakan kehilangan tenaganya untuk berpijak di tanah. Tetes demi tetes air dibiarkan berjatuhan di masing-masing penghujung surai yang dibiarkan tergerai, begitu juga ujung-ujung jemari yang perlahan semakin mengkerut pucat pasi, hampir menyamai warna parasnya yang selalu disembunyikan dari terik mentari.
Mentari menyerah. Gadis itu menghentikan langkah dan memilih menjatuhkan tubuhnya di sana, berjongkok seraya menatap pantulan samar wajahnya di atas permukaan riak air.
Hancur.
Ia merasa hancur, namun entah karena alasan apa. Mungkin karena di saat dirinya menemukan sosok yang hampir menyamainya, ia justru harus mengetahui kenyataan lain yang membuat mereka berdua terlihat memiliki takdir berbeda.
Memberikan kekuatan, katanya. Memangnya siapa dia sampai bisa memberikan orang lain kekuatan untuk melewati perkara hidup?
Ia bahkan sering kehilangan kendali atas dirinya sendiri dan menyerah atas hidupnya. Lalu kenapa sekarang dia harus menguatkan orang lain di saat dirinya sendiri juga perlu dikuatkan?
Di sisi lain di saat ia mulai takut dilupakan, ia sendiri justru merasa telah melupakan yang lain, tapi nahasnya ia tak bisa mengingatnya sama sekali.
Sosok yang selama ini selalu sigap datang padanya setiap kali ia dihadapkan dengan sebuah kepelikan, memangnya siapa ia sebenarnya? Kenapa ia bersikap seolah-olah kalau mereka memang pernah saling mengenal di masa lampau?
Riak-riak di sekitar Mentari menghilang begitu sebuah bayangan muncul. Gadis itu mendongak, menatap sebuah payung yang berada di atasnya dan menghambat hujan yang semula jatuh ke atas kepalanya. Netranya lalu beralih pada seseorang yang menatapnya dengan salah satu tangan memegangi payung itu agar tetap berada di posisinya, tak membiarkan satu tetes pun menyentuh mereka yang berada di bawahnya.
"Gue tahu lo fobia matahari. Tapi bukan berarti lo bebas hujan-hujanan di luar, kan?"
Suara berat itu menyapa indra pendengaran Mentari. Gadis itu masih bergeming, lalu menatap sebuah tangan yang terulur padanya selama beberapa saat sebelum akhirnya menerimanya.
"Lihat, tangan lo udah keriput begini. Lo hujan-hujanan dari tadi, ya?" Alan berujar begitu menyadari kalau ujung-ujung jemari milik Mentari terasa dingin, "Gue tadinya mau ke minimarket, tapi berhubung malah ketemu lo di sini, jadi gue anter lo pulang, ya? Lo bisa masuk angin, dasar," omelnya seraya menahan tawa.
Alan lalu beralih menatap wajah gadis itu beberapa saat lalu tersenyum tipis, "Muka lo tuh udah pucat, ditambah hujan-hujanan gini malah tambah pucat," lanjut Alan, kemudian mengusap kedua permukaan pipi Mentari secara bergantian.
"Alan."
"Hm. Kenapa?"
Mentari masih tak mengalihkan pandangannya dari Alan barang sedetik pun. Ia menatap sepasang mata milik lelaki di depannya hingga bisa melihat pantulan dirinya di sana.
Gadis itu secara tiba-tiba memutus kontak mata secara sepihak lalu maju selangkah dan memangkas jarak di antara mereka berdua, membuat Alan termenung begitu Mentari bersandar di dadanya. Ia baru saja berniat mengangkat tangannya namun suara Mentari menginterupsi.
"Lo ... gak akan lupain gue, kan?" Mentari berujar lirih.
Walau hujan di sekitar mereka tak kunjung reda, namun suara Mentari masih bisa didengar oleh Alan dengan cukup jelas. Lelaki itu seolah kehilangan kata-kata dan tak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Mentari bersandar padanya, bahkan tak peduli jika pakaiannya menjadi ikut basah.
Alan menghela napasnya pelan lalu tangannya menarik pelan kepala Mentari agar tetap berada di dadanya, lalu ia mengusap surai gadis itu secara perlahan.
***
Mala langsung mendekati Mentari begitu putri sulungnya itu berjalan menuju ke arahnya dalam kondisi basah kuyup.
"Kenapa gak minta jemput sama Ibu? Lihat, baju kamu basah semua." Mala mengambil alih tas Mentari dan membantu gadis itu melepaskan jaket. Netranya lalu menatap sesuatu yang berada di tangan putrinya, "Itu bukannya payungnya Alan? Kalian ketemu?" tanyanya. Pertanyaannya dijawab dengan sebuah anggukkan oleh Mentari.
"Kamu tahu? Tadi Alan ke sini nyariin kamu, terus Ibu bilang kamu ada kerja kelompok sama Lala," lanjut Mala.
Mentari mengangkat wajahnya. "Alan nyari aku?"
"Hm. Tadi dia ke sini pas hujan, katanya ada perlu sama kamu. Terus Ibu bilang kamu belom pulang karena ada tugas kelompok sama Lala dan gak lama kemudian dia pulang lagi." Mala berjalan ke dalam dan menyuruh Galang mengambilkan handuk untuk Mentari, sementara dirinya meletakkan jaket milik Mentari di keranjang cucian dan pergi ke dapur untuk membuatkan minuman hangat.
Mentari kembali terdiam setelahnya. Ia menatap payung yang diberikan oleh Alan lalu menolehkan kepalanya ke rumah sebelah dan menatap seseorang yang berjalan menuju pintu utama. Beberapa saat lalu lelaki itu dengan jelas berkata padanya hendak pergi ke minimarket namun alih-alih meneruskan niatnya, ia malah kembali ke rumah usai mengantar dirinya pulang.
Alan pergi mencarinya.
Tubuh Mentari masih bergeming di posisinya dan menatap Alan, sebelum suara Mala menyadarkan dirinya. Gadis itu pun melangkah memasuki rumahnya saat Galang datang dengan sebuah handuk kering di tangan.
Tepat setelah kedua kaki Mentari bergerak melewati ambang pintu, di seberang sana Alan menghentikan langkahnya dan menatap ke rumah milik gadis itu.
"Maafin gue, Mentari," lirihnya.
***
"Papa gak seharusnya ngomongin semua itu ke Mentari." Chandra mengatur napasnya yang terasa berat.
"Gadis itu yang datang sendiri ke sini, Chandra. Awalnya dia datang menemui Wira dan bertanya soal alzheimer dan Papa gak tahu kalau saat itu dia ada di sana. Jika saja Papa tahu, Papa gak akan masuk." Erwin menatap putra semata wayangnya yang masih berada di ambang pintu. "Mungkin gadis itu lebih baik tahu semuanya, Ndra. Apalagi yang kamu tunggu? Kamu mau nunggu dia ingat sama kamu? Buktinya, sampai sekarang gadis itu gak ingat sama sekali, kan? Lagi pula kejadian itu sudah cukup lama."
Rahang Chandra mengeras. Dengan susah payah lelaki itu menelan ludahnya lalu berkata, "tapi aku udah berjalan sejauh ini. Aku yakin dia bakalan ingat. Perlahan Mentari— pasti bakalan ingat lagi," tegasnya dengan kedua tangan yang sudah mengepal.
"Selama ini kamu sudah menjaganya dengan baik, Chandra. Kenapa kamu gak terus terang sama dia sejak awal? Kamu sudah berhasil menjaga—"
"Papa salah." Chandra menginterupsi, "Jika Papa pikir kalau aku melakukan ini hanya untuk Mentari dan melupakan impian aku, maka dugaan Papa salah. Karena setelah ini, aku akan kembali melakukan apa yang seharusnya aku lakukan sejak awal. Tapi aku akan pastikan setelah ini, aku gak akan kehilangan siapa-siapa lagi." Ia berlalu dari sana usai mengatakannya. Kedua tangannya semakin ia genggam dengan kuat.
Benar. Ia sudah melangkah jauh dan masih belum menemukan titik terang. Dulu ia berpisah dengan Alan, lalu merasa kehilangan. Lalu ia bertemu dengan Mentari di sana, di rumah sakit tempat ayahnya bekerja. Ia ingat saat wajah pucat itu menunjukkan raut putus asa dengan air mata yang membasahinya, masuk ke dalam ruangan Wira dengan ruam-ruam berwarna merah yang menghiasi kedua tangan dan kaki.
Kabur, tersesat di sana dan meminta pertolongannya karena tak bisa memasuki lift sendirian.
Namun hari ini, dengan kedua mata kepalanya, gadis kecil lemah nan cengeng itu sudah berani masuk ke dalam lift sendirian dan meninggalkannya.
Setelah sempat kehilangan Alan, kini kepiluan itu kembali ia rasakan saat dirinya kembali menghilang dari memori seseorang yang juga berarti untuknya.
Selain ditinggalkan, adakah hal lain yang juga terasa begitu menyedihkan?
Jawabannya, ada.
Yaitu dilupakan.
—TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Fiksi RemajaVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...