"Dijemput?" tanya Lala menutup resleting tas miliknya.
Mentari mengangguk. Gadis itu memakai tas miliknya dan mereka berdua pun berjalan ke luar.
"Eh, Tar?" Tiba-tiba Lala memanggil, membuat Mentari menolehkan kepalanya.
"Hm?"
"Kalo misalkan ada yang gangguin lo lagi, tolong nih ya, lo bilang sama gue."
Mendadak Mentari menghentikan langkahnya, lalu memutar tubuhnya hingga benar-benar menghadap Lala. "Kenapa lo tiba-tiba ngomong kayak gitu?"
"Ya ... Soalnya gue gak mau hal yang sama kayak kemarin terulang lagi." Wajah Lala mendadak murung. "Pokoknya, gue bakalan bantuin lo buat ngadepin orang-orang itu! Oke?"
Mentari terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya gadis itu tertawa pelan dan merangkul sahabatnya. "Udahlah, gak usah dipikirin. Toh gue sekarang baik-baik aja, kan? Hehe."
Mereka menuruni satu per satu anak tangga menuju lantai dasar.
"Mungkin ucapan Nyokap gue ada benernya sih. Kalo gue kadang harus rela nutup telinga buat ngehindarin omongan-omongan yang bisa nyakitin gue. Tapi ya mau bagaimana pun, emang itu faktanya, kan? Gue juga gak bisa maksa mereka semua buat suka sama gue, karena gue gak bisa maksa kehendak mereka." Mentari memerosotkan kedua bahunya, lalu membuang napas kasar.
Lala termenung mendengar ucapan Mentari barusan. Selalu saja seperti itu, di mana ujung-ujungnya Mentari pasti akan mengalah pada keadaan yang selalu mendesaknya agar tetap diam, seolah dirinya memang tak memiliki hak untuk melawan.
Di saat yang bersamaan, ponsel milik Mentari bergetar dan gadis itu langsung merogoh saku roknya.
"Siapa, Tar?" Lala ikut mengintip layar ponsel milik sahabatnya.
"Alan," jawab Mentari pelan. Ia menatap ke sekitar, berpikir kalau mungkin Alan sedang mengerjainya atau lelaki itu saat ini sedang tersesat di koridor.
"Halo?"
"Lo di mana?"
"Hah? Gue masih di sekolah kok, ini baru mau pulang. Kenapa emang?"
"Emmm— gue sebenernya gak pengen ngomong ini sama lo, tapi gue gak punya nomor temen-temen gue di kelas."
Mentari mengerutkan dahi seraya menatap Lala yang juga ikut kebingungan menatapnya.
"Maksudnya?" Entah mengapa Mentari merasa kalau dugaannya benar. Pasti terjadi sesuatu dengan Alan, karena lelaki itu cukup jarang menghubunginya apalagi secara tiba-tiba.
"Gue ... nyasar, Tar."
"Ya ampun, Alan!" Mentari menepuk dahinya pelan. "Ya udah, lo sekarang di mana? Share lock coba, ntar gue ke sana sama nyokap," ujar Mentari.
Sambungan telepon dimatikan setelahnya dan Alan mengirimkan lokasi di mana dirinya berada. Mentari mengerutkan dahi, mencoba mengenali daerah itu.
"La, lo tahu daerah ini gak?" Mentari menunjukkan layar ponselnya pada Lala, namun sahabatnya itu justru menggelengkan kepala.
"Emang kenapa sih, Tar? Alan kenapa?"
"Dia nyasar, La." Mentari membuang napasnya pelan. Gadis itu lalu mengetikkan sesuatu untuk menyuruh Alan mengambil foto bangunan apa saja yang ada di sekitarnya.
"Nyasar?" Lala membeo. "Kok— bisa nyasar?"
Bagaimana menjelaskannya pada Lala?
Mentari menggigit bibir bawahnya, berusaha memilih kata-kata yang pas agar Lala tak terkejut atau parahnya tak percaya dengan jawaban yang akan ia katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Fiksi RemajaVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...