"Galang, beliin Kakak martabak!"
"Galang, jemurin sepatu Kakak di luar!"
"Galang, ambilin paket Kakak!"
Stik PS yang dipegang anak berusia sepuluh tahun itu langsung dibanting ke karpet bulu yang didudukinya. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dengan wajah memerah ke telinga, menatap kakak perempuannya yang kini berdiri di salah satu anak tangga.
"Kenapa masih diem? Sana ambilin paket Kakak. Kurirnya udah nunggu."
"Gak mau! Capek! Sana Kakak ambil sendiri!" Anak bernama Galang itu lantas mencebikkan bibir.
"Nanti Kakak kasih duit buat beli kue cubit deh. Gimana?"
Galang terdiam selama beberapa saat. Anak itu lalu dengan cepat bangkit dari posisinya dan berjalan menuju pintu dengan kaki yang sedikit menghentak.
"Boong dosa loh ya!" ujarnya tanpa menolehkan kepala.
"Iya, iya!" Sang kakak lalu berjalan ke arah jendela dan melihat adiknya itu berjalan menghampiri seseorang yang berdiri di balik pagar rumah. Tidak lama kemudian Galang kembali ke dalam rumah.
"Nih! Belanja online terus. Beli apaan lagi sih? Kemarin beli kacamata item, sekarang apalagi? Kacamata kuda?"
"Husss ... anak kecil diem aja!" Gadis yang berkulit pucat itu membawa kotak berukuran sedang yang diberikan Galang dan berjalan kembali ke kamar.
Galang menatap punggung kakaknya yang menjauh. Anak itu menggelengkan kepalanya, merasa tidak mengerti kenapa ia bisa kebagian jatah memiliki kakak perempuan seperti itu.
"Namanya doang Mentari, tapi kenyatannya kayak Zombie!" Galang mendudukkan tubuhnya di depan PS yang masih menyala.
"Kakak denger loh!" sahut kakaknya dari atas.
"Giliran dijelek-jelekin aja pendengarannya langsung tajam."
"Galang~"
Galang berdeham pelan. Ia lantas kembali meraih stik PS yang tergeletak lalu kembali bermain. Weekend selalu saja seperti ini. Di saat teman-temannya bisa bermalas-malasan bahkan liburan, ia justru harus rela menjadi pesuruh kakaknya yang super aneh. Tentu saja, semua itu tidaklah gratis. Galang tidak akan sudi melakukannya jika bukan demi kue cubit Mang Asep. Menurutnya, kue cubit Mang Asep adalah kue cubit paling enak sepanjang sejarah. Padahal, dia sendiri baru hidup kurang lebih sepuluh tahun. Anak-anak memang selalu berlebihan.
"Ya Allah, ubahlah Kak Mentari jadi kue cubit. Biar dia ada gunanya. Biar dia bisa bikin kenyang."
"Gak usah doa yang aneh-aneh!" Mentari menjitak ujung kepala adiknya hingga anak itu mengaduh. "Sana beli kue cubit," ujarnya seraya memberikan sejumlah uang. Kedua mata Galang berbinar seketika. Anak itu langsung melesat ke pintu.
"Sekalian beliin kakak es krim yang kayak biasa ya!"
Galang yang hendak membuka pintu itu langsung terdiam dan menatap uang di tangannya. "Kok cuma segini? Kue cubitnya gimana?"
"Ya itu. Beli dulu es krim, terus sisanya lo beliin kue cubit." Mentari menguap dan mendudukkan dirinya di sofa.
"Ya gak bisa gitu dong!"
"Bisa. Udah, sana pergi. Kakak bisa mati kepanasan nih."
Demi kulit kerang ajaib, Galang ingin sekali menyeret kakaknya ke halaman rumah saat tengah hari, saat matahari sedang panas-panasnya. Lalu sambil memakan kue cubit, ia menonton kakaknya yang seperti cacing kepanasan.
Galang menutup pintu rumah dengan agak kasar hingga menimbulkan bunyi nyaring. Melihat itu, Mentari kembali menguap. Ia lalu membuka sebuah novel best seller karya salah satu penulis favoritnya. Saat ini ibunya tengah pergi, jadi rumah ada di dalam kuasanya. Selain itu, dia tidak memiliki jadwal les saat akhir pekan, membuatnya semakin leluasa berada di rumah.
Phobia yang dimiliki Mentari membuat aktivitasnya sangat terbatas di siang hari. Gadis itu akan cenderung mengurung dirinya di rumah selama seharian penuh, karena dia tidak bisa terkena sinar matahari seperti kebanyakan orang. Alih-alih menggunakan sunscreen, Mentari justru akan memakai jaket super tebal, kacamata hitam, masker, bahkan sepatu. Gadis itu hanya keluar saat sekolah, itu pun wajib mengenakan mobil dan Mentari tidak akan ikut kegiatan pembelajaran ketika outdoor lebih lama.
Sebagian orang yang tidak tahu kondisinya akan menyebutnya manja. Namun sebagian lain menyebutnya Heliophobia, di mana si penderita akan mengalami kecemasan bahkan ketakutan saat kulitnya terkena sinar matahari. Kulit mereka akan berubah menjadi merah, lalu terasa perih setelahnya, bahkan mengelupas. Hal yang sama pun terjadi pada mendiang neneknya. Karena itulah Mentari lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Jika ada tugas kelompok dari sekolah, maka teman-temannya yang akan datang ke rumah.
"Lama banget tuh anak." Mentari menutup buku di tangannya lalu beranjak menuju jendela, tapi tidak ada tanda-tanda adiknya pulang. Dia jadi curiga, jangan-jangan uang yang dia berikan semuanya dipakai untuk kue cubit. Pasalnya, Galang adalah penggemar kue cubit nomor satu. Jika di dunia ini ada penghargaan untuk penggemar kue cubit, maka anak itu akan langsung mendapatkan piala.
Sembari menunggu adiknya pulang, Mentari berjalan ke dapur lalu membuka kulkas. Ia mengambil beberapa butir anggur hijau lalu memakannya. Adiknya mungkin kini tengah mengantre, karena kue cubit Mang Asep memang selalu ramai apalagi saat hari libur. Jaraknya tidak begitu jauh dari rumah, hanya memerlukan waktu kurang dari lima menit jika berjalan kaki ke sana. Hanya sebuah kedai sederhana, tapi kue cubit buatan beliau memang selalu ramai sejak dulu, dari generasi ke generasi.
Tidak lama kemudian terdengar suara pintu dibuka. Mentari segera berjalan ke sana dan benar saja, adiknya sudah pulang dengan sebuah kantung kresek di tangannya.
"Kok lama? Ngantri ya?" tanya Mentari. Ia mengambil es krim dari dalam kresek.
"Enggak sih. Tadi itu pas beli es krim, aku ketemu sama orang yang kesasar, Kak. Dia orang baru ternyata, terus rumahnya itu di sebelah rumah kita, rumah yang kemarin dijual itu. Aneh sih, padahal jalan di komplek sini kan gak banyak yang belok-belok." Galang berujar seraya memakan lahap kue cubit yang masih hangat.
"Rumah yang di sebelah?"
Galang mengangguk. "Kayak bingung gitu. Kasihan."
"Lain kali gak usah baik-baik amat sama orang asing. Gimana kalo dia cuma pura-pura terus ada niatan jahat? Nanti lo diculik. Zaman sekarang banyak orang-orang jahat yang nyamar. Bahkan mereka bisa nyamar jadi korban kecelakaan di jalan. Pokoknya Kakak gak mau lo diculik," ujar Mentari. Ia mengambil remot TV dan mencari drama favoritnya.
Gerakan rahang Galang memelan, kedua matanya menatap Mentari. "Kakak bilang gitu karena nanti gak ada lagi orang yang bisa disuruh-suruh, 'kan?"
"Iyalah. Masa Kakak mau nyuruh ibu terus? Kan kasihan." Mentari meletakkan bungkus es krimnya ke atas meja dengan pandangan yang terfokus pada TV.
"Padahal aku juga tiap waktu disuruh-suruh terus. Dasar Zombie!"
"Diem! Lagi adegan seru!"
Galang memelototkan kedua matanya ke arah Mentari tanpa gadis itu sadari. Ia lalu memasukan kembali kue cubit ke dalam mulutnya.
"KUE CUBIT MANG ASEP, RASANYA A—"
Bukk!
Ucapan Galang terpotong saat sebuah bantal melayang ke wajahnya.
— TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Heliophobia ✔
Novela JuvenilVampir? Kelelawar? Manusia serigala? Bukan! Namanya Mentari Putri. Namun tidak seperti namanya, ia justru takut dengan sinar matahari. Bagaimana bisa? Gadis itu hanya akan keluar saat malam hari, sementara saat siang hari ia akan senantiasa mengurun...