36. Hubungan Kuat

96 28 0
                                    

"Kayaknya dari kemarin Mama gak lihat Mentari. Dia bener-bener sakit?" tanya Dewi seraya mengumpulkan peralatan makan di atas meja.

"I-iya, tapi dia mungkin dia agak mendingan sekarang." Alan berujar usai meminum sisa air di dalam gelas miliknya.

"Mama belum sempet jenguk, masih banyak kerjaan. Ngomong-ngomong soal Mentari, kayaknya anak itu kalo siang gak pernah keluar rumah, ya. Anaknya juga gak banyak tingkah, biasanya gadis-gadis lain kalo siang suka nongkrong sama temen-temennya apalagi kalo libur. Tapi kayaknya Mama gak pernah lihat Mentari panas-panasan di luar. Bener-bener anak rumahan." Dewi terkikih pelan.

Alan tersedak pelan usai mendengar ucapan mamamya. Andai saja mamanya tahu kondisi Mentari seperti apa, pasti ia akan menarik kembali semua kalimat yang diucapkannya tadi.

Usai makan malam, Alan meminum obatnya dan kembali ke kamar. Lelaki itu mendudukkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu mengecek notifikasi yang masuk, hingga ia menyadari kalau pesan yang ia kirimkan pada Mentari ternyata sudah dibaca walau gadis itu tak membalasnya.

Alan terdiam sejenak sebelum akhirnya kedua sudut bibirnya naik dan membentuk seulas senyuman tipis. Walau bukan hal yang begitu besar, namun hal itu sudah cukup bisa bernapas lega karena  setidaknya Mentari masih memiliki keinginan untuk berinteraksi dengan dunia luar walau gadis itu tak membalas setiap pesan yang ia terima dan hanya membacanya.

Haruskah Alan menemuinya sekarang?

Tidak, ini sudah malam. Mungkin Mentari sudah tidur.

Tapi, tidak ada salahnya mencoba, kan?

Alan membuang napasnya dan dengan sedikit berlari, ia bergerak menuju pintu namun sebelum ia benar-benar membukanya, benda itu sudah lebih dulu dibuka oleh Dewi.

"Lan, ada telepon dari Dokter Erwin."

Mendadak senyuman Alan memudar usai mendengar ucapan mamanya. Benar juga, sudah beberapa waktu terakhir Alan tak pergi menemui dokternya setelah hasil laboratorium miliknya dibawakan oleh Chandra. Ia sempat ke rumah sakit saat Mentari mengalami terkena serangan panik namun ia tak terpikir sama sekali untuk menemui Erwin di ruangannya.

***

Pintu kamar yang beberapa terakhir menutup itu perlahan dibuka dan salah satu kaki milik pemiliknya bergerak melewatinya.

Gadis itu menuruni satu per satu anak tangga dan samar-samar ia bisa mendengar suara Galang dari arah dapur. Bocah itu terdengar menceritakan sesuatu yang ia lakukan bersama dengan teman-temannya selama berada di sekolah kemarin.

Mala yang sedang membersihkan peralatan memasaknya itu sesekali merespon ucapan putra bungsunya.

"Kak Mentari!" Galang tiba-tiba berseru.

Mendengar itu, Mala sontak memutar tubuhnya ke belakang dan melihat Galang yang sudah beranjak dari kursi untuk memeluk erat kakaknya. Mereka yang biasanya bertengkar hampir setiap waktu itu mendadak membuat pemandangan cukup haru pagi ini.

"Aku ... laper." Mentari berujar pelan seraya menatap ibunya yang masih bergeming.

Kedua sudut bibir Mala naik dan wanita itu pun segera mencuci tangannya untuk segera menyiapkan sarapan. Sementara Galang menarik salah satu kursi dan mempersilakan kakaknya agar duduk.

Mentari tersenyum tipis dan menggumamkan terima kasih seraya mengusap lembut puncak kepala adiknya.

"Masih panas. Tiup dulu, ya." Mala meletakkan semangkuk sup di depan Mentari. Ia hendak mengambil nasi namun Mentari menahan tangannya dan memberi kode kalau ia bisa mengambilnya sendiri, membuat Mala kembali menyunggingkan seulas senyuman. Walaupun secara perlahan, tapi ia senang karena Mentari sudah mau keluar dari dalam kamarnya.

Usai sarapan, Galang berpamitan dan mencium tangan ibu dan juga kakaknya.

"Aku seneng Galang gak nangis lagi. Dasar cengeng," ujar Mentari tak lama setelah Galang pergi.

"Justru Galang yang seneng liat kamu lagi. Dia kesepian selama kamu di kamar. Yah, sesekali main sama temen-temennya di luar sih, tapi pas pulang langsung murung lagi." Mala mendudukkan dirinya di kursi lain.

"Tapi aku seneng karena dia bisa akrab sama Alan, jadi setidaknya dia ada temen di sini."

"Hm. Ibu juga berpikir gitu. Ngomong-ngomong soal Alan, Galang sempet cerita sama Ibu. Katanya kemarin Alan manggil-manggil dia pake nama Gilang." Mala tertawa pelan, "Terus katanya sebelum tahu kalo Alan tinggal di sini, Galang pernah bantuin dia nyari jalan pulang. Eh, ternyata rumahnya malah di sebelah rumah kita. Anak itu, dasar. Semoga dia gak kesasar lagi, ya."

Mentari menatap permukaan sup di depannya. Berbicara tentang Alan, ia tak membalas pesan yang dikirimkan oleh Alan dan hanya membacanya. Ia juga belum mengucapkan terima kasih karena sudah membawakan tas miliknya dan— soal Chandra, ia juga belum melakukan hal yang sama.

"Oh, iya, Bu. Yang kemarin ngasih tahu Ibu pas aku masuk rumah sakit siapa? Seingatku, aku gak bawa HP," tanya Mentari seraya beralih menatap ibunya.

"Dokter Wira."

"Dokter Wira?" Mentari membeo.

Mala menganggukkan kepalanya.

Mentari membuang napasnya pelan. Semula ia berpikir kalau Alan yang memberitahu ibunya, tapi hal itu tidak mungkin karena lelaki itu tidak memiliki nomor ponsel ibunya. Chandra juga tidak mungkin. Jadi, satu-satunya hal masuk akal adalah kalau Dokter Wira yang memberitahu ibunya. Ya, mungkin seperti itu.

***

Alan melepaskan helm miliknya begitu sampai di parkiran. Bersama dengan beberapa murid lain, ia berjalan menuju koridor, sesekali menyapa beberapa murid dari kelas lain yang cukup akrab dengannya. Namun langkah lelaki itu mendadak berhenti dan ia berbalik ke belakang, tepatnya ke arah gerbang. Kedua matanya mencoba mencari-cari sosok yang memakai jaket merah muda bertelinga kucing yang biasanya berlari mendahului orang-orang di sana, namun kali ini Alan tak menemukannya. Sewaktu ia berangkat pun mobil milik Mala masih berada di dalam garasi. Kemungkinan hari ini Mentari masih belum bisa berangkat.

Ia bertanya-tanya tentang kondisi Mentari, namun jangankan untuk menanyakannya langsung, pesannya bahkan tak kunjung mendapat balasan. Mungkin Mentari masih belum bisa bertemu dengan orang-orang di luar. Lalu mengenai obat milik gadis itu, apa tidak apa-apa kalau Alan merahasiakannya? Apakah Mentari nanti akan mencurigai dirinya kalau ialah yang sudah mengambil obat itu secara diam-diam?

Tapi di sisi lain, entah hanya perasaannya saja atau memang Chandra lebih tahu tentang kondisi Mentari? Chandra selalu sigap jika menyangkut tentang kondisi Mentari. Apakah karena ayahnya seorang dokter?

Tidak, rasanya bukan hanya karena hal itu. Lalu karena apa? Chandra dan ayahnya seakan memiliki hubungan yang cukup kuat dengan Mentari.

"Kayaknya gue harus nyari tahu banyak hal. Dokter Erwin juga kayaknya tahu soal ini," batin Alan. Di saat yang bersamaan, sebuah mobil terlihat memasuki gerbang dan melesat menuju parkiran khusus guru yang letaknya berbeda dengan parkiran murid.

Alan menatap mobil itu selama beberapa saat, sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan langkahnya menuju ke kelas. Ia lupa kalau pagi ini adalah jadwal piketnya. Ia pun mempercepat langkahnya namun lagi-lagi langkahnya berhenti.

"Kelas gue ... di mana?"

—Tbc

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang