2. Begal

336 76 27
                                    

Mentari berjalan menuruni satu per satu anak tangga dengan senyuman merekah. Begitulah kehidupan gadis bernama Mentari itu. Layaknya Putri Viona dalam cerita Shrek, ia akan senantiasa berubah menjadi manusia normal begitu matahari sudah terbenam. Bedanya, wajah Mentari tidak berubah seperti Putri Viona.

"Cieee ... ada zombie kegirangan." Galang melirik sinis kakaknya yang berjalan menuju pintu. Dengan mengenakan jaket, anak itu tahu ke mana kakaknya akan pergi.

"Ikut—"

"Gak!" potong Mentari cepat tepat ketika adiknya hendak berlari padanya.

"Pelit!"

"Lo pasti mau minta dibeliin kue cubit, 'kan? Gak ah! Gak ada kue cubit lagi! Mang Asep udah tutup." Mentari berdusta.

Galang melirik jam dinding. "Masih jam tujuh. Mang Asep tutup jam delapan. Aku gak bakalan minta dibeliin—"

"Pokoknya enggak! Lo kan hobinya ngabisin duit gue. Dasar tuyul!"

"Kalian bisa gak sih sehari aja gak ribut? Kepala Ibu pusing." Seorang wanita keluar dari dapur dengan salah satu tangan membawa secangkir teh.

"Kakak tuh, Bu. Masa aku pengin ikut aja gak boleh." Galang mencebikkan bibir seraya menunjuk kakaknya yang tengah menatapnya sinis dari ambang pintu.

Mentari memutar kedua bola matanya. "Dasar tukang ngadu."

"Biarin! Wleee~" Galang menjulurkan lidahnya.

"Udahlah, biarin. Kakak kamu kan kali siang kerjaannya ngurung diri di rumah, jadi malem dia pengennya pergi sendiri." Mala berusaha menengahi kedua anaknya.

"Haha. Sukurin!" Mentari tertawa puas.

"Sekarang gini aja. Kamu penginnya apa? Nanti biar kakak kamu yang beliin."

"Yes!!"

Mentari melotot. "Kok gitu?" Ia menatap sengit adiknya yang tersenyum penuh kemenangan.

"Aku mau sate sama martabak!" seru Galang.

Mentari mendengkus. "Gue beliin sate tikus lo ya!"

"Mentari~" Mala berdeham pelan. Sementara putri sulungnya langsung kabur. Ia berlari pelan membuka pagar rumahnya.

Langit tidak begitu cerah saat ia keluar. Udara pun terasa cukup dingin, membuat Mentari semakin mengeratkan jaket yang dikenakannya. Gadis itu menghirup napas dalam dan membuangnya perlahan.

Kepalanya menoleh ke sebuah rumah yang berada di sebelah rumahnya. Karena terlampau sering berada di dalam rumah, ia bahkan sampai tidak sadar kalau rumah yang semula kosong itu kini sudah berpenghuni entah sejak kapan.

Ponsel Mentari bergetar ketika beberapa pesan masuk ke ponselnya. Tanpa menghentikan langkahnya, ia membalas pesan itu satu per satu. Hingga tidak lama kemudian ia tiba di sebuah minimarket. Mentari memasukkan kembali ponselnya ke dalam jaket dan mengambil beberapa bungkus camilan.

Ketika ia hendak mengambil minuman, pandangannya tertuju pada seorang lelaki yang berdiri tidak jauh darinya. Mentari menatapnya sekilas, lalu kembali mengambil beberapa susu kotak.

Menyadari keranjang yang dibawanya mulai penuh, Mentari memutuskan untuk membawanya ke kasir. Namun tepat ketika ia berbalik, lelaki tadi berdiri di belakangnya hingga membuat Mentari berseru.

"S-sori, gue pikir gak ada orang di belakang gue," ucap Mentari. Namun lelaki itu justru menatapnya, dengan kening yang sesekali berkerut.

Nih cowok kenapa dah? Mencurigakan. Jangan-jangan dia begal. Lah, mana ada begal masuk minimarket.

Mentari berusaha menyingkirkan segala fitnah jahat di otaknya.

"Lo ... " Lelaki itu menggantungkan kalimatnya.

Mentari menaikkan salah satu alisnya. Ia sudah bersiap-siap menendang lelaki di depannya, berjaga-jaga jika lelaki itu akan melakukan hal-hal mengerikan padanya.

"Lo tadi ke sini bareng gue, 'kan?" lanjut lelaki itu.

"Hah?" Kedua netra Mentari berkedip dua kali dan gadis itu melanjutkan, "enggak kok. Gue ke sini sendiri. Lo salah orang kali, gue bahkan gak kenal sama lo."

Kening lelaki itu mengerut, "Masa sih? Terus gue ke sini mau ngapain?"

"Ya mana gue tahu, anjir. Ngapain nanya gue." Mentari membatin.

"Sori, ya. Gue buru-buru. Mungkin temen lo udah keluar duluan." Mentari segera bergerak menjauh. Ngeri juga lama-lama berdekatan dengan lelaki itu.

"Eh, tunggu!"

Kedua mata Mentari memelotot saat merasakan ada yang menyentuh pinggangnya.

"Kyaaaa!!!"

PLAK!

Seketika kegiatan beberapa orang yang ada di sana terhenti dan menatap dua remaja di belakang.

Mentari mengatur napasnya yang memburu. Beberapa detik kemudian ia tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan. Gadis itu menatap lelaki di depannya.

"I-ini ...  HP lo hampir jatoh," ucap lelaki itu dengan tangan yang terulur. Sementara tangannya yang lain memegang salah satu pipinya yang memerah.

Mentari berkedip melihat ponsel miliknya. Ia lalu melirik saku jaketnya dan ponselnya memang tidak ada di sana. Mentari menatap beberapa orang, lalu menerima ponsel itu.

"M-makasih." Dengan ragu ia mengangkat wajahnya dan menatap lelaki tadi. "Dan ... maaf," lirihnya dengan wajah merah padam.

***

Mentari menyodorkan sekaleng minuman dingin pada lelaki di sebelahnya. Lelaki itu menatapnya selama beberapa saat sebelum akhirnya menerimanya.

"Sori, ya. Gue panik banget soalnya tadi. Gue pikir lo begal yang mau macem-macem." Mentari malu mengatakannya. Tapi apa boleh buat, dia memang kaget tadi. Ia diam menatap air hujan yang menetes dari atap minimarket.

"Hm. Gue bisa ngerti kok," jawab lelaki di sebelahnya. Ia meletakkan kaleng minuman itu ke pipinya yang panas.

"Pasti sakit, ya?"

"Perlu gue jawab?"

Mentari kembali menunduk saat pandangannya dan lelaki itu bertumbuk. "Sori. Ya habisnya lo aneh banget nyangka gue bareng sama lo, padahal kita bahkan gak pernah ketemu."

Lelaki itu menghela napas. "Gue pikir tadi lo temen gue."

Salah satu alis Mentari naik. "Semirip itu ya?"

Lelaki itu tidak menjawab. Ia menatap Mentari, mengamati wajah gadis itu. Ia harus berhati-hati jika bertemu lagi dengannya. Bisa-bisa nanti tidak hanya pipi yang memar.

"Hujannya udah reda. Gue duluan, ya." Mentari pamit dan pergi dari sana. Ia teringat harus membeli pesanan adiknya yang super menyebalkan

Tidak lama setelahnya, ponsel milik lelaki itu bergetar. Ditatapnya selama beberapa saat layar datar itu sebelum ia menggeser tombol berwarna hijau yang ada di sana.

"Kamu di mana? Enggak nyasar lagi, 'kan?" Seorang wanita bertanya dari seberang sana.

Tidak ada jawaban.

"Alan?"

"Eh? I-iya?"

"Mama suruh sopir buat ke sana ya. Kamu di mana?"

"Di minimarket."

"Oke, kamu tunggu di situ. Jangan ke mana-mana."

Alan menghela napas pelan begitu panggilan ditutup. Ia menatap kendaraan yang berlalu-lalang di jalan selama beberapa saat. Lelaki itu lalu mengusap wajahnya kasar.


— TBC

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang