37. Membuka Mulut yang Berujung Kemelut

92 26 0
                                    

Mentari berkali-kali mengecek bagian dalam tas sekolah miliknya dan ia benar-benar tak menemukan obatnya di sana. Padahal, ia selalu membawa serta obatnya ke sekolah namun entah kenapa benda itu justru tak ada di sana.

"Gak mungkin jatoh, kan. Apa mungkin anak-anak lain buka tas gue selama gue gak ada?" gumam Mentari. Di detik berikutnya gadis itu menggelengkan kepala, tak mungkin jika teman-teman sekelasnya melakukan hal sejauh itu. Lagi pula sebelum itu terjadi, Lala pasti akan habis-habisan meneriaki mereka semua.

Mentari mencoba mengingat-ingat apa dirinya sempat mengeluarkan obat itu dari dalam tas namun rasanya tidak. Ia juga tidak terlalu sering meminum obatnya jika tak ada keluhan berat yang ia rasakan. Ia lebih sering menggunakan sunscreen, karena memang kondisinya mulai membaik sebelumnya walau ia masih takut untuk melakukan kegiatan outdoor tanpa perlindungan sama sekali.

"Apa mungkin, Alan ngambil obat gue?" Mendadak Mentari terpikir dengan hal itu, namun kembali ia tepis. Untuk apa juga Alan mengambil obatnya. Ia yakin jika Alan memang memiliki obat, namun jenis obat yang diminum oleh lelaki itu pasti berbeda dengan miliknya.

Usai menyerah mencari keberadaan obat lamanya, Mentari lalu berjalan menuju jendela kamarnya dan gadis itu perlahan membuka gorden yang masih menutup, membuat ia refleks memejamkan kedua matanya rapat dan kembali menutupnya. Kedua kakinya kembali bergerak mundur dan ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke permukaan lantai.

Jika seperti ini terus, ia tak akan pernah bisa bertemu dengan teman-temannya lagi di sekolah. Ia sudah melangkah cukup jauh, namun harus kembali ke titik awal lagi. Bahkan hanya dengan menatap cahaya super terang di luar sana, seluruh tubuh Mentari terasa merinding. Gadis itu memeluk kedua lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sana.

"Tahu gak sih, kemarin cewek pengidap fobia aneh itu pelukan sama Pak Chandra di koridor."

Mentari menutup kedua sisi telinganya dengan tangan saat suara-suara itu mulai berdatangan mengganggunya.

"Caper banget kayaknya sama guru yang muda. Fobia matahari apaan? Dasar manja."

Napas Mentari memberat bersamaan dengan kepalanya yang terasa berputar. Gadis itu mulai terisak di tempatnya dengan tangan yang masih menutupi telinga.

"Yang bikin gue heran itu kenapa Pak Chandra selalu bertingkah seolah jadi tamengnya si Mentari atau siapalah itu. Lo sadar gak sih, tiap ada sesuatu juga Pak Chandra kayak selalu siaga gitu kalo nyangkut soal Mentari. Aneh kan, gue curiga kalo mereka berdua emang ada hubungan."

"Diam!!"

"Dia tuh aslinya emang manja. Tinggal di goa kali, jadi fobia sama matahari."

"GUE BILANG DIAM!!!"

Mala langsung menerobos masuk ke dalam kamar usai mendengar teriakan Mentari dari sana. Wanita itu menatap putrinya yang sudah meraung-raung seraya menutup kedua telinga.

"Mentari, ini Ibu. Coba bilang sama Ibu, ada apa, hm?" Mala memeluk erat putrinya lalu mencoba menatap wajah gadis itu. Ia mengusap kedua permukaan pipi Mentari yang sudah basah.

"Tolong suruh mereka diam, Bu! Mentari gak mau denger suara mereka!"

Mala berusaha menenangkan Mentari yang semakin berontak dan dengan susah payah ia kembali menarik kepala putrinya agar bersandar di dadanya. "Tenang, Mentari, atur napas kamu. Mereka enggak ada di sini dan kamu aman sama Ibu. Ibu ada di sini."

Usai Mala mengatakan itu, Mentari langsung memeluknya erat.

Mala mengusap punggung Mentari setelah dirasa putrinya itu mulai tenang dan napasnya mulai kembali teratur secara perlahan. Padahal Mentari sudah bersusah payah sampai ke tahap yang lebih baik, namun hanya karena kalimat yang keluar dari mulut-mulut tak bertanggung jawab, putrinya kembali dipaksa kembali ke titik awal lagi.

Mentari bisa berinteraksi dengan orang lain di luar sana walau masih terbatas, tapi itu sudah bagus untuknya. Mungkin selama ini gadis itu sudah terlalu banyak menampung kalimat-kalimat mengerikan, dan ia sudah mencapai batasnya.

Perasaan bersalah semakin menyelimuti Mala, mungkin ia terlalu memaksakan kondisi Mentari. Namun ia melakukan hal itu juga masih dalam pantauan psikiater putrinya, dan ia berusaha agar melakukannya dengan hati-hati.

***

Chandra berjalan menuju ke lapangan dengan membawa sebuah bola basket di tangannya. Lelaki itu berjalan menyusuri koridor dengan diikuti dua murid laki-laki yang sebelumnya menyusulnya ke ruang guru.

Ia beberapa kali memantulkan bola ke permukaan lantai sebelum akhirnya kedua kakinya berhenti saat berpapasan dengan beberapa murid perempuan. Chandra menatap satu per satu dari mereka dan ia langsung melempar bola di tangannya ke belakang. Beruntung kedua murid di belakangnya itu bisa menangkapnya dengan cepat.

"Kalian ke lapangan terlebih dulu dan lakukan pemanasan," titah Chandra tanpa menolehkan kepalanya. Dua murid di belakangnya menjawab dengan serentak dan mereka pergi terlebih dulu ke lapangan.

Tanpa mengalihkan pandangannya sama sekali, Chandra masih memperhatikan murid-murid di depannya. Tak ada satu pun dari mereka yang berani mengangkat wajah dan menatap ke arahnya.

"Ada apa?" tanya Chandra.

Masing-masing dari ketiga gadis itu menelan ludah dan menyikut satu sama lain.

"Saya ada jadwal sekarang, jadi jangan membuat saya membuang-buang waktu."

"Emm— begini, kami— mau minta maaf soal kejadian beberapa waktu lalu." Akhirnya salah satu dari mereka berujar dengan kepala yang masih menunduk.

Kening Chandra mengerut menatap mereka bertiga. Helaan napas kemudian terdengar setelahnya, "Kenapa kalian meminta maaf sama saya?"

"I-itu—"

"Saya tidak butuh permintaan maaf dari kalian. Seharusnya kalian sendiri tahu kepada siapa kalian harus meminta maaf."  Chandra menginterupsi, "Sekarang saya harus mengajar, jadi silakan kembali ke kelas."

Chandra baru saja hendak melangkah dari sana namun rupanya hal itu tak dibiarkan begitu saja. Salah satu gadis itu segera menahan salah satu lengannya.

"Tapi kami belum sempat ketemu sama Mentari. Ja-jadi kami berpikir, kalau Bapak sudah bertemu dengan Mentari dan bisa menyampaikan permintaan maaf kami."

"Kamu tahu istilah diam itu emas?" tanya Chandra, "Itu cocok untuk kalian bertiga. Mungkin kalian tidak ingin mendengar kalimat ini keluar dari mulut saya, tapi diamnya kalian itu adalah cara kalian dalam membantu Mentari. Dan jika kalian memang tidak tahu apa-apa, sebaiknya tutup mulut kalian rapat-rapat. Paham?" Ia menekankan di bagian akhir ucapannya, membuat gadis yang tadi memegang lengannya itu seketika melepaskannya dan tak ada satu pun dari ketiga gadis itu ada yang kembali angkat bicara.

"Tapi Mentari yang pertama kali narik rambut saya!" Tiba-tiba gadis yang satunya membela diri, membuat Chandra mengalihkan atensinya.

"Dia tidak akan melakukan itu jika sejak awal kalian bisa menjaga lisan!" tegas Chandra. "Kalian pikir Mentari baru kali ini menerima kalimat-kalimat buruk seperti itu? Tentu saja tidak. Bahkan jauh sebelum dia bersekolah di sini, dia sudah lebih banyak mendapat olokan yang lebih mengerikan, tapi apa? Dia berhasil menahannya. Dan kemarin itu, dia sudah berusaha menahannya tapi setiap manusia itu memiliki batas kesabaran. Dan kalian yang menghancurkannya."

Gadis yang tadi sempat membela diri itu kembali menundukkan kepala dan meremas jemari tangannya.

"Silakan kembali ke kelas dan saya harap kejadian memalukan seperti kemarin tidak terulang lagi. Seharusnya kalian bisa memberikan contoh dan kesan yang baik sebelum lulus, bukannya malah mempermalukan diri dan mencoreng nama kalian. Bukan hanya itu, saya beserta guru-guru lain, dan juga nama sekolah bisa ikut tercoreng," ujar Chandra. Ia menatap kembali ketiga gadis di hadapannya sebelum akhirnya benar-benar pergi dari sana.

—Tbc

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang