19. Hukuman

144 32 3
                                    

"Ada apaan nih rame-rame?" Lala menerobos kerumunan di depan kelasnya usai melihat beberapa teman-teman kelasnya pergi dengan buru-buru seolah ada hal menarik di luar sana.

Kedua mata gadis itu menyipit usai ia sampai di luar dan mencoba memastikan kalau memang ada yang salah dengan penglihatannya kali ini, namun begitu tahu kalau murid yang ada di bawah sana adalah teman sebangkunya, gadis itu pun menepuk jidat seketika.

"Mampus!" Lala memijat pelipisnya. Gadis itu berharap semoga saja langit yang sekarang ini masih berwarna abu-abu tidak berubah cerah secara tiba-tiba dan membuat Mentari menggelepar di bawah sana.

Di bawah sana, Mentari dan Alan berjalan menghampiri Chandra yang sudah menunggu mereka di lapangan basket dengan kedua tangan yang masuk ke dalam saku celana. Mentari yang biasanya bawel dan tak bisa diam setiap kali beratap muka dengan guru olahraganya itu, kini mendadak menjadi murid pendiam. Gadis itu hanya bisa menunduk. Habislah dia kali ini, Chandra benar-benar akan mengamuk padanya.

"Kalian tahu kenapa saya menyuruh kalian ke sini?" tanya Chandra seraya menatap dua murid di hadapannya. Mata amber miliknya lalu beralih pada Mentari dan menatap gadis itu penuh. "Saya tahu kalau kamu hampir tidak pernah aktif di jam saya. Yang kamu lakukan adalah menyimak teman-teman kamu, lalu mengerjakan makalah sesuai dengan intruksi yang saya berikan. Tapi apa kamu tahu kalau materi kali ini dilakukan di dalam kelas? Sekalipun tidak ada praktik, harusnya kamu tidak seenaknya mengabaikan jam saya, Mentari Putri. Ini tidak hanya belaku pada jam saya, tapi juga guru yang lain."

"Tapi saya ketiduran—"

"Saya tidak menerima alasan apapun," tegas Chandra. Mentari yang semula mengangkat wajahnya seketika kembali menunduk dan menggigit bibirnya.

"Mentari udah mau pergi tapi saya tahan karena saya suruh buat bantu ngerjain tugas." Alan tiba-tiba berujar.

Mentari yang berdiri tepat di sebelahnya seketika membulatkan kedua matanya dan menyikut lengan lelaki itu. "Kenapa lo ngomong gitu?!" ujarnya pelan.

Kedua mata Chandra langsung berpindah pada Alan hingga kedua mata mereka bertumbuk. "Saya belum bicara sama kamu," ujarnya.

"Saya hanya mencoba menjelaskan karena Anda seperti menyudutkan Mentari."

"Saya tidak menyudutkan dia, karena memang kenyataannya dialah yang salah. Dia dengan seenaknya tidur dan bahkan mengabaikan jam saya. Jangan mentang-mentang karena dia tak bisa ikut praktik di luar, dia bisa memperlakukan gurunya dengan seenaknya."

"Mentari memiliki alasan kenapa dia bisa tertidur di sana. Apa Bapak gak tahu? Dia semalaman mengerjakan tugas makalah yang Bapak berikan," ujar Alan.

Mentari berkedip dua kali mendengar ucapan Alan. Ia sama sekali tak menyangka karena Alan akan mengeluarkan kalimat seperti itu hadapan Chandra.

"Bapak nggak tahu, kan?" tegas Alan saat Chandra ytak merespon kalimatnya barusan.  "Saya ini tetangganya Mentari dan adiknya cukup sering cerita sama saya kalau kakaknya kurang tidur karena harus ngerjain makalah."

Chandra mengerutkan dahi lalu menoleh ke arah Mentari selama beberapa saat. Lelaki itu terlihat terkejut. Apakah Alan sedang berbohong padanya hanya untuk membela Mentari?

"Apapun alasannya, saya tidak peduli. Dia sendiri sebagai seorang murid harusnya bisa me-manage waktunya. Lagi pula mengerjakan makalah itu tidak menghabiskan waktu sampai seminggu, jadi tidak ada alasan kurang tidur karena mengerjakan tugas makalah dari saya. Paham?" Chandra menatap Alan dan Mentari secara bergantian. "Dan sebagai tambahan, Alan. Kamu ikut saya hukum karena mencoba membela teman kamu yang salah," tambahnya.

"Hah? Tunggu, Pak. Alan enggak salah. Hukum saya aja, Alan gak usah—"

"Silakan keliling lapangan ini sebanyak dua puluh putaran dan pulang sekolah nanti, bersihkan toilet."

"Loh, Pak. Tapi—" Ucapan Mentari kembali terputus saat Alan secara tiba-tiba menarik tangannya.

"Kok lo ngomong kayak tadi, Lan?" ujar Mentari. Gadis itu berusaha mengimbangi laju kaki Alan yang sedikit leih cepat darinya.

"Emangnya lo mau dihukum sendiri?"

"Ya gak mau sih, tapi kan lo gak perlu bohong kayak tadi. Apalagi sekarang lo malah ikut dihukum," ujar Mentari.

"Mau lo jujur atau enggak, si Chandra itu bakalan tetep hukum lo. Iya, kan?"

"I-iya sih."

"Ya udah. Gak usah dibikin ribet. Sekarang anggap aja lo lagi praktik. Jarang-jarang kan lo bisa lari-lari di lapangan kayak gini tanpa perlu pake jaket pink lo itu?" cibir Alan.

Mentari tertawa pelan. "Sialan lo!" Gadis itu memukul lengan Alan dan berusaha mendahuluinya.

***

"Masih mau bolos di jamnya Pak Chandra, Nona Heliophobia?" Lala menyodorkan sebotol air mineral pada Mentari. Gadis itu juga membelikan Alan sebelum akhirnya ikut duduk di sebelah Mentari yang masih tepar di permukaan lapangan basket.

"Dia ngambeknya bikin berat badan gue turun," keluh Mentari yang masih mengatur napas. "Cukup deh, kali ini gue kapok bolos di jam dia. Tapi gak tahu deh kalo bulan depan." Kalimatnya seketika membuat Alan tertawa. Pemuda itu hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Terus dia? Kenapa bisa ikut dihukum? Lo bikin ulah apaan lagi, Tar?" tukas Lala seraya melirik Alan yang duduk di sebelah Mentari.

"Maksudnya Alan? Dia lagi gak ada kerjaan aja. Makanya mau ikut dihukum. Bisa-bisanya dia ngibulin Pak Chandra, pake bilang gue kurang tidur gara-gara ngerjain makalah?" Mentari terbahak. Ia meninju pelan bahu Alan hingga pemuda yang tengah mengenggak air itu hampir tersedak.

"Hah?" Lala berkedip tak mengerti.

"Udahlah, intinya nih cowok mau nemenin gue dihukum, gitu katanya. Iya gak, Lan?" Mentari menaik-turunkan kedua alisnya seraya menyikut lengan Alan.

"Terserah lo deh." Alan menaikkan satu alisnya.

"Terus tugas makalah lo gimana, Tar?" tanya Lala.

"Dikumpulin minggu depan, bareng sama makalah materi hari ini. Ah, capek deh. Bisa-bisa gue jadi duta makalah nih!" Mentari mendudukkan tubuhnya dan segera meminum air pemberian Lala. Gadis itu lalu mendongak dan menatap langit yang tampak masih mendung. Sepertinya kali ini matahari sedang tidak dalam mood bagus untuk muncul.  "Ah, kapan lagi ya gue bisa duduk bebas di lapangan kayak gini." Ia terkikih.

"Itu artinya lo harus berterima kasih sama gue," ujar Alan.

Mentari refleks menyikut perut pemuda itu hingga mengaduh. "Inget, pulang sekolah ntar gue sama lo masih ada tugas bersihin toilet."

  
— TBC

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang