57. Serendipity

62 18 0
                                    

Alan menjatuhkan tubuhnya di atas sofa begitu tiba di rumahnya. Dewi yang saat itu sedang menonton TV pun sampai beralih menatap lelaki itu.

"Chandra gak mampir dulu ke sini?"

"Enggak." Pandangan Alan berfokus pada langit-langit rumah, "Katanya ada janji sama teman." Ia melanjutkan.

Dewi menatap putranya selama beberapa saat sebelum akhirnya wanita itu menyunggingkan seulas senyuman tipis. "Bisa kebetulan begini, ya. Kamu pindah rumah ke sini dan pindah ke sekolah yang sama kayak Mentari, eh, gak tahunya gadis itu tetangga sebelah kamu. Dan ternyata Mentari deket sama Chandra yang di mana Chandra itu adalah temen masa kecil kamu."

Alan masih bergeming di posisinya. "Kira-kira kalau misalkan kita waktu itu enggak jadi pindah rumah, apa mungkin kita bertiga gak bakal ketemu?"

"Enggak juga kok."

Mendadak Alan beralih menatap mamanya. "Kenapa bisa gitu?"

"Kamu pikir hidup itu hanya tersusun dari satu jalan cerita aja? Enggak, kan? Ada berbagai jalan yang bisa kamu tempuh, Lan. Jalan manapun yang kamu pilih, kamu akan tetap berakhir di tempat yang sudah direncanakan Tuhan, walau perjalanannya berbeda-beda. Tuhan itu Maha Pintar, tahu, kan? Semua yang kamu alami sekarang itu, enggak semata-mata hanya kebetulan yang kamu temukan," jelas Dewi. Wanita itu kemudian menyesap teh yang dibuatnya beberapa saat lalu tak lama sebelum Alan kembali. "Mungkin saja, jika saat itu kita gak pindah rumah, kamu akan bertemu dengan Chandra dulu. Atau mungkin, kamu akan bertemu dengan Mentari di perguruan tinggi yang sama atau di sebuah olimpiade antar sekolah. Atau bisa saja kalian tak sengaja bertemu di rumah sakit. Chandra adalah putra dari Dokter Erwin, lalu Mentari juga sering memeriksa kesehatannya di rumah sakit yang sama dengan kamu. Banyak sekali jalan yang sudah Tuhan siapkan yang mungkin jumlahnya gak akan bisa kamu bayangkan."

Tak pernah terbesit dalam pikirannya kalau alur dari skenario kehidupan akan serumit itu. Mungkin mamanya benar, walau ada takdir yang bisa diubah, tetapi hal itu tak sepenuhnya mengubah keseluruhan jalan cerita.

"Intinya, pertemuan kalian bertiga itu memang sudah direncanakan sejak jauh hari. Tidak menutup kemungkinan juga kalau kalian memang sudah pernah bertemu di masa lampau. Mungkin saja saat Mama mengandung kamu, Mama pernah gak sengaja ketemu sama Tante Mala yang sedang mengandung Mentari. Gak ada yang tahu, kan?"

Pening sekali rasanya jika menelusuri alur kehidupan. Jalan manapun yang Alan ambil, ia akan berakhir di tempat yang sama. Mungkin, salah satu takdirnya memang untuk bertemu kembali dengan Chandra dan juga bertemu dengan orang baru yang memiliki kondisi yang hampir sama seperti dirinya. Mentari Putri.

***

Mentari meletakkan nampan berisi gelas yang sudah kosong dan juga stoples camilan di atas permukaan meja. Suara yang ditimbulkan membuat bocah di belakangnya tersentak pelan.

Galang sesekali melirik kakaknya, mengecek apakah kakaknya masih marah atau tidak.

"Kak—"

"Diem!" Mentari langsung menginterupsi. Gadis itu memutar tubuhnya ke belakang hingga benar-benar bisa menatap adiknya.  Ia mencoba mengatur napas beberapa kali, lalu membuangnya secara perlahan.

"Denger baik-baik ya, Galang. Tolong kalau  ada tamu di rumah, jaga sikap sama omongan lo," ujar Mentari pelan namun dengan sedikit tekanan di setiap katanya.

"Kan, aku gak tahu kalau itu Kak Alan sama guru olahraganya Kakak. Aku pikir kakak punya pacar dua." Bocah lelaki itu berujar polos, membuat Mentari memijat pelipisnya.

"Semakin lo banyak omong, semakin gue pengen mukulin lo sampe gigi lo ompong!"

Galang langsung menutup mulutnya dengan buku yang ia bawa. "Tapi kan, mereka berdua gak marah pas denger aku ngomong! Malahan Kak Alan juga bantuin aku ngerjain PR!" ujarnya.

"Tetep aja, Galang. Lo harus tetep jaga sikap!" Mentari mendadak gemas sendiri. Jemari tangannya tak bisa diam dan ia ingin sekali meremas-remas adiknya hingga berubah menjadi seperti gumpalan kertas kusut.

"Kalian ini. Ngeributin apa lagi sih?" Mala berjalan memasuki dapur seraya menggelengkan kepala usai melihat kelakuan kedua anaknya.

"Kak Mentari baperan, Bu!" Galang langsung beralih ke dekat ibunya sebagai bentuk pertahanan diri.

"Enak aja, lo yang mulai! Masa dia bilang kalo Pak Chandra sama Alan itu cowokku. Mereka langsung ketawa lah! Bikin malu aja!" Dengan langkah lebar Mentari langsung menghampiri Galang namun bocah itu selalu menggunakan sang ibu sebagai tamengnya.

"Udah, udah. Kamu juga, Lang. Lain kali jangan asal ceplas-ceplos begitu, gak baik." Mala membuang napas pelan seraya melirik putra bungsunya. Hal itu membuat Mentari tersenyum puas sementara Galang  langsung mencebikkan bibir.

Usai keributan di sana mereda, mereka bertiga pun segera makan malam.

"Sayang banget, padahal tadi Ibu mau sekalian ngajakin Pak Chandra makan malam di sini," ujar Mala.

"Ada janji sama temennya." Mentari berujar pelan.

"Tapi jujur Ibu agak kaget loh pas tahu kalo Pak Chandra sama Alan itu temena sejak lama. Kok bisa kebetulan begini, ya? Berarti selama ini kita semua selalu bertemu di tempat yang sama." Mala tertawa pelan.

"Pak Chandra juga pernah bayarin jajan aku lho, Bu!" Galang menyahut dengan antusias.

"Oh, ya? Kalian pernah ketemu sebelumnya?"

"Iya, pernah. Pas aku sama Kak Mentari keluar buat jajan."

Sementara Galang bercerita soal Chandra, Mentari sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Mau gue ngungkapin semuanya ataupun enggak, toh semua ini bakalan tetep terjadi. Entah itu jadi neurolog atau guru olahraga seperti sekarang, keduanya tetep keputusan yang gue ambil sendiri dan sebentar lagi, tugas gue selesai di sini. Kondisi Mentari perlahan membaik dan gue harap lo bisa jaga dia."

Setelah semuanya terungkap, Chandra justru memutuskan untuk pergi. Mentari sendiri tak habis pikir kenapa dirinya harus melupakan lelaki sebaik itu. Ia yang saat itu sedang dilanda ketakutan dan panik menjadi tak bisa mengingat wajah orang yang sudah menolongnya. Mungkin seharusnya ia harus mengingat-ingat wajah orang yang pernah menolongnya agar bisa membalas budi.

Namun hal seperti itu juga tak masalah jika tak dilakukan, mengingat banyak sekali orang yang kita temui dalam hidup. Bahkan walau dengan doa yang disampaikan dari lubuk hati paling dalam, Tuhan masih bisa mendengarkan. Banyak hal baik yang bisa kita lakukan dengan cara apapun, tanpa harus ditunjukkan pada semua orang.

"Kamu dari kemarin pergi ke rumah sakit sendirian, ya?" Suara Mala membuat Mentari tersadar dari lamunannya.

"Kenapa gak bilang sama Ibu? Kasihan Lala juga ikut khawatir karena ibu tanyain."

"Maaf, Bu." Mentari menunduk.

"Tadi Ibu nelepon Dokter Wira dan katanya kamu memang sebelumnya ke sana juga tapi bukan untuk periksa. Terus mau apa kamu pergi ke sana?"

"I-itu—"

"Ketemu sama Pak Chandra," celetuk Galang tiba-tiba.

Kedua mata Mentari seketika membulat. "Jangan mulai, ya!" tegurnya. Ia lalu membuang napas pelan, "Mentari cuma mau mastiin beberapa hal."

"Soal apa?"

"Soal kondisi Alan." Mentari menunduk.

—TBC

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang