40. Perhatian Lebih

103 25 2
                                    

"Demi apa, Mentari, ini beneran lo? Gue gak salah lihat, kan?" Lala melebarkan kedua pupil matanya begitu melihat siapa yang masuk ke dalam kelas.

"Enggak kok, La. Ini gue, Mentari Putri." Mentari melepaskan jaketnya dan menyampirkannya di sandaran bangku sebelum akhirnya duduk di sana.

"Lo beneran udah gak apa-apa, Tar? Gue gak nyangka kalo lo bakalan balik ke sekolah dalam waktu yang cepet."

Mentari tersenyum usai mendengarnya, "Gue masih bisa mikirin tugas sekolah, La," candanya seraya tertawa pelan. "Eh, BTW ada tugas gak?"

"Enggak sih, cuma latihan aja itu pun dikerjain di sini," ujar Lala. Ia mengeluarkan buku paket miliknya lalu menunjukkan beberapa nomor latihan soal di salah satu halaman.

"Oke deh, gue tandain dulu. Ntar kalo ada yang gak gue ngerti, gue tanya lo, ya? Hehe." Mentari menandai latihan soal itu dengan menggunakan highlighter berwarna kuning.

"Gimana keadaan kelas selama gue gak masuk? Gue ketinggalan berita apa?" tanya Mentari.

"Enggak ada berita apa-apa sih. Hanya aja— gue denger kalo murid-murid kelas dua belas yang kemaren gangguin lo kena skors selama beberapa hari." Lala menurunkan intonasi bicaranya di akhir kalimat.

"Oh, ya?"

"Hm. Tapi mereka pantes dapetin itu sih. Setidaknya mereka harus dapet pelajaran. Tapi kalo guru baru yang waktu itu hukum kalian, gue belom denger kabarnya gimana. Kayaknya sih, dia kena ceramah kepala sekolah atau gak sama guru-guru yang lain karena gegabah," jelas Lala.

"Tapi, La. Gue juga salah sih karena terlalu pake emosi."

"Enggak, enggak. Lo gak salah, Tar. Kalo gue jadi lo, gue mungkin bakalan ngelakuin hal yang lebih parah lagi. Gue pasti udah mecahin kaca di toilet pake kepala mereka. Bagaimana pun, murid-murid kayak mereka itu gak bisa dibiarin gitu aja atau mereka bakalan semakin semena-mena apalagi mereka itu kelas dua belas. Jadi, please, lo gak usah ngerasa bersalah sama mereka sedikit pun. Selama ini lo justru nahan diri, Mentari. Jadi wajar kalo kemarin lo balas nyerang mereka."

Tak ada lagi kalimat balasan yang keluar dari bibir Mentari setelahnya.

"Oh, iya, Tar. Lo tahu gak, kalo pas Pak Chandra bawa lo ke rumah sakit, Alan juga ikut?"

"Alan?" Mentari mengerutkan dahi. Ia memang tak begitu mengingat apa saja yang terjadi usai dirinya pingsan. Di saat kesadarannya semakin menipis, ia mendengar suara Chandra dan juga beberapa orang asing lainnya, namun ia tak tahu kalau ternyata Alan ikut ke rumah sakit.

"Itu yang sempet gue denger dari murid lain. Kayaknya sih, mereka masih satu kelas sama Alan. Gue gak sengaja denger obrolan mereka pas di kantin," ujar Lala. "Dan ... gue rasa lo gak usah nanyain gimana reaksi Pak Chandra deh. Teriakan dia aja cukup kedengeran sampe sini sewaktu petugas rumah sakit dateng." Lala menggosok hidungnya seraya tersenyum simpul.

Namun dibanding terkesima, Mentari justru bereaksi sebaliknya. Ia semakin bertanya-tanya kenapa Chandra selalu sigap setiap kali fobianya kambuh? Memangnya siapa dia? Lelaki itu bukanlah dokter pribadinya, jadi kenapa juga dia harus sekhawatir itu?

"Tapi, Tar. Gue kagum lho, sama Pak Chandra. Meskipun di mata lo dia itu nyebelin, tapi dia emang bener-bener naruh perhatian lebih sama lo. Lo yakin sebelumnya gak pernah ketemu sama Pak Chandra? Kayaknya dulu sewaktu dia pertama kali ngajar di kelas kita, dia udah sering merhatiin lo seakan-akan dia udah tahu kalo lo pengidap heliofobia."

"Tapi gue gak pernah ketemu sama dia sebelumnya, La," jawab Mentari.

"Atau mungkin ... gue yang gak inget?" batin gadis itu.

***

Lala menatap Mentari yang mengeluarkan sesuatu dari dalam tas usai pelajaran berakhir.

"Lo mau ngapain, Tar?" tanya Lala.

"Gue mau ngumpulin makalah olahraga yang belom sempet gue kumpulin. Keburu lupa lagi ntar," jawab Mentari. "Eh, iya, La. Lo kalo mau ke kantin, duluan aja, ya. Gue mau ke ruang guru dulu ngumpulin ini. Ntar gue nyusul."

"Oke deh."

Lala dan Mentari lantas segera keluar kelas setelahnya. Walau kejadian itu sudah berlalu, namun Mentari masih menyadari ada beberapa pasang mata yang menatap ke arahnya begitu ia lewat.

"Eh, Pak Chandra hari ini ada jadwal kan, ya?" Tiba-tiba Mentari berujar. Gadis itu tak ingin terpengaruh dengan orang-orang di sekitarnya dan mencoba mengalihkan perhatiannya sendiri.

"Harusnya sih ada."

"Bagus deh. Soalnya gue gak mau pergi ke meja dia tapi orangnya gak berangkat. Dia tuh tiap kali gue ngumpulin makalah, pasti harus bener-bener keliatan sama mata dia sendiri, baru bisa masuk nilai." Mentari mendengkus pelan.

Namun reaksi Lala justru mengundang tatapan heran Mentari, karena gadis itu tiba-tiba saja tertawa pelan.

"Kenapa lo ketawa? Gue kan lagi gak bercanda, La."

"Gila ya, Tar. Gue gak habis pikir kalo lo masih aja kesel sama Pak Chandra. Kalo gue jadi lo sih, pasti gue udah naksir duluan. Apalagi dia perhatian banget. Lo gak ngerasa gitu, ya?" tanya Lala. Dan dengan polosnya Mentari menggelengkan kepala.

Lala tersenyum simpul. Ada-ada saja hubungan antara guru dan murid ini, pikirnya. Mungkin jika suatu saat nanti Mentari benar-benar berbalik menyukai Chandra, ia akan berpura-pura terkejut.

"La, enggak usah mikirin yang aneh-aneh!" tegur Mentari. Ia seakan-akan bisa membaca isi kepala Lala saat ini. Gadis itu kembali mendengkus, kemudian berpisah dengan Lala saat ia memasuki ruang guru.

Beberapa guru yang sudah cukup mengenal Mentari pun menyapa dan bertanya tentang kondisinya usai insiden beberapa waktu lalu.

Kedua kaki milik Mentari semakin bergerak mendekati salah satu meja. Ia sempat menatap sang pemilik meja itu yang terlihat agak terkejut menatap kedatangannya.

"Maaf, mengganggu, Pak. Saya mau ngumpulin mak—"

"Kamu udah ngerasa baikan?" Chandra menginterupsi.

Mentari terdiam sejenak, sebelum akhirnya ia menjawab, "Hm. Makanya hari ini bisa masuk. Ngomong-ngomong, Pak. Ini makalah yang waktu it—"

"Jangan terlalu maksain diri."

Mentari melirik ke sekitarnya, memastikan kalau guru-guru yang ada di sana tak memperhatikan mereka berdua. Gadis itu kemudian berdeham pelan, "Pak, bisa biarin saya ngomong gak? Saya mau ke kantin, temen saya udah nunggu. Sekarang, saya mau ngumpulin makalah beberapa minggu lalu, maaf karena telat. Harusnya kemarin udah dikumpulin tapi saya malah masuk rumah sakit," ujarnya. Namun suasana di antara mereka justru malah berubah saat Mentari sadar kalau Chandra masih menatapnya. Gadis itu mendadak canggung, entah kenapa.

"Ba-Bapak dengerin ucapan saya, gak?!" Mentari lagi-lagi mulai dibuat kesal. Ia mencoba menahan volume suaranya agar tak mengundang perhatian guru-guru yang lain.

Di saat itulah, Mentari justru melihat Chandra malah menyunggingkan seulas senyuman. Lelaki itu kemudian menganggukkan kepala.

"Kamu udah bisa marah-marah ke saya itu artinya kamu udah cukup sehat," ujar Chandra. "Dan makalahnya, biar saya periksa nanti. Sekarang saya mau istirahat. " Ia kemudian beranjak dari kursinya.

Hanya saja sikap Chandra itu selalu sukses membuat Mentari terbengong-bengong. Entah kenapa, guru olahraganya itu memang memiliki aura yang aneh setiap kali mengobrol dengannya, entah hanya perasaannya saja atau apa.

"Kenapa masih diem? Katanya mau ke kantin. Mau bareng saya?"

Kedua mata Mentari seketika mengerjap dan gadis itu langsung berbalik. Dengan langkah lebar, ia berjalan mendahului Chandra keluar dari ruangan, membuat lelaki itu kembali menaikkan kedua sudut bibirnya.

—tbc

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang