18. Bolos

141 35 5
                                    

Lala tidak henti-hentinya menatap layar ponsel dan pintu secara bergantian. Merasa semakin putus asa, akhirnya gadis itu memutuskan untuk pergi menemui Mentari Putri yang tak kunjung kembali dari perpustakaan. Sepuluh menit lagi bel pergantian jam akan berbunyi, namun Mentari belum juga menunjukkan batang hidungnya. Semua murid di kelas bahkan sudah mengganti seragam mereka dengan pakaian olahraga.

Tar, buruan ke kelas! KM dapet info kalo materi hari ini senam lantai!

Pesan yang dikirimkan Lala beberapa menit lalu bahkan tak juga dibaca. Apa mungkin Mentari ketiduran?

Kedua kaki Lala sudah hampir mencapai tangga namun gadis itu buru-buru kembali ke kelas saat melihat siluet Pak Chandra yang sudah menaiki satu per satu anak tangga.

"Mampus lo, Mentari Putri!" Lala mendudukkan tubuhnya di bangku dan berusaha menghubungi Mentari namun sahabatnya itu tak menjawab sama sekali.

"Gue curiga dia sengaja gak angkat telepon dari gue karena males masuk jam Pak Chandra." Lala mendengkus. Tepat setelah itu, Pak Chandra masuk ke dalam kelas.

Usai mengucap salam, satu per satu nama mulai dipanggil. Absen Lala dan Mentari berdekatan, membuat Lala gugup seketika, padahal yang sekarang tengah bermasalah adalah Mentari dan bukan dirinya.

"Lala Africia."

Lala berkedip dua kali dan refleks mengangkat salah satu tangannya ke udara. "Ha-hadir." Ia menggigit bibir bawahnya seraya melirik ke bangku kosong yang ada di sebelah.

"Mentari Putri."

Hening.

Lala menelan ludah saat semua mata tertuju padanya. Gadis itu kian gelagapan saat matanya bertumbuk dengan mata milik Chandra.

"Ke mana Mentari?" Suara khas Chandra memecah keheningan di sana.

"Me-Mentari tadi ngerjain tugas di perpustakaan, Pak. Udah ditelepon berkali-kali tapi gak diangkat. Tapi aku udah kirim chat—" Lala seketika mengatupkan bibirnya rapat saat Chandra melanjutkan kembali kegiatan mengabsen.

***

Mentari menguap entah yang ke berapa kali. Layar ponselnya berkali-kali menyala namun tak dia pedulikan, seolah sudah mengetahui kalimat seperti apa yang akan dilontarkan oleh si penelepon.

"Ah, gue laper." Gadis itu menggembungkan kedua pipinya. Suasana perpustakaan yang sepi ditambah gerimis di luar sana membuat rasa kantuk semakin menyelimuti meja yang ditempati oleh Mentari. Gadis itu kembali menguap.

Dia sudah terlalu malas bertemu dengan guru olahraga menyebalkan yang lahir di bulan purnama itu. Mendadak Mentari merindukan guru olahraganya yang lama. Meskipun sudah tua dan lebih galak, tapi Mentari lebih memilih gurunya yang lama. Toh dari dulu dia memang selalu kebagian tugas membuat makalah olahraga setiap kali praktik di lapangan.

Samar-samar terdengar beberapa suara langkah kaki mendekat diikuti oleh percakapan dengan intonasi yang rendah. Murid-murid dari kelas lain mungkin datang untuk meminjam buku paket atau mengerjakan sesuatu di sana, sama halnya seperti dirinya.

Mentari menatap setiap rintik yang jatuh melewati jendela di dekatnya. Ia menopang dagu sembari menatap langit yang masih berwarna kelabu.

"Lo ngapain bengong di sini?"

Mentari mengerjap pelan begitu lamunannya buyar. Gadis itu hampir saja menjatuhkan dagunya ke permukaan meja. Ia menoleh, menatap seseorang yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi yang ada di depannya.

"Ah, gue abis ngerjain tugas." Mentari menggaruk lehernya yang tidak gatal.

"Sendiri?" Alan menatap ke sekitar. Ia tampak mencari-cari si pemilik suara cempreng yang selalu bersama Mentari, namun ia tak menemukannya.

"Hm. Lala gak mau ikut." Mentari kembali menguap.

Kening Alan perlahan mengerut. "Bukannya sekarang kelas lo lagi jam olahraga? Kenapa lo masih di sini?"

"Gue males masuk."

"Lo bolos?" Kedua mata Alan membulat.

"Terdengar agak jahat tapi ya, gitulah pokoknya." Mentari mengangkat kedua bahunya. "Lo sendiri ngapain?"

"Gue lagi jamkos, terus ada tugas. Tapi karena di kelas berisik, jadi gue milih ngerjain di sini."

Mentari sedikit mengangkat kepalanya untuk melihat halaman buku Alan yang terbuka. "Oh, matematika?"

Alan mengangguk.

"Mau gue bantuin? Kelas gue udah belajar materi itu minggu lalu," tawar Mentari.

"Eh, serius?"

Kini giliran Mentari yang mengangguk. "Mana sini gue lihat."

***

Gerimis di luar sana berhenti tanpa disadari. Mentari yang semula tengah serius membantu Alan mengerjakan tugas itu pun melirik sebuah benda pipih di dekatnya yang sedari tadi bergetar.

"Temen lo tuh." Alan mengintip lewat ujung matanya.

Karena merasa tak enak, Mentari akhirnya menyerah dan memilih untuk mengangkat panggilan dari sahabatnya itu. Kasihan, karena mode ponselnya sengaja ia ubah menjadi diam membuat Lala yang tak tahu apa-apa itu bersemangat mengiriminya pesan dan panggilan.

"Kenapa baru diangkat sekarang?!"

Mentari refleks menjauhkan ponselnya dari telinga dengan kedua mata agak menyipit. Suara cempreng Lala memang tak ada duanya.

"Ini kan lagi di perpus, La. HP wajib silent,"  jawab Mentari apa adanya. Kedua matanya masih memerhatikan gerakan tangan Alan, takut-takut pemuda itu salah tulis.

Dengkusan pelan terdengar di seberang sana, terdengar seperti ada yang tak beres.

"Pak Chandra sekarang lagi ke situ."

Kedua alis milik Mentari saling bertaut. "Ha? Bukannya ini masih jam dia? Lo bilang katanya materinya senam lantai."

Di seberang sana, Lala tengah memijat pelipisnya. Entah sadar atau tidak, Mentari baru saja mengaku secara tidak langsung kalau dirinya sudah membaca pesan yang dikirimkan tadi dan gadis itu  sengaja tidak membalasnya.

"Denger, ya, Mentari Putri. Sekarang udah mau istirahat dan Pak Chandra udah keluar dari kelas."

"Ha?" Mentari berkedip dua kali. Ia memeriksa jam tangan miliknya dan kedua matanya membulat saat menyadari kalau jam Pak Chandra memang sudah berakhir. "Gue gak nyadar, La. Oke, bentar lagi gue ke kel—" Gadis itu hampir saja tersenyum lebar sebelum kedua matanya mendapati seseorang yang entah kapan sudah berdiri di dekatnya dengan kedua tangan yang masing-masing masuk ke dalam saku training.

Tangan Mentari perlahan turun dan ia mengabaikan panggilan Lala di seberang sana. Gadis itu langsung menutup sambungan telepon.

"Udah beres ngerjain tugasnya?" tanya Chandra dengan intonasi rendah. Khas ketika lelaki itu dalam mood  yang kurang bagus.

Mentari membuang pandangannya ke arah lain. Ia merutuk dalam hati, harusnya dia memeriksa jam tangannya sejak tadi.

"Mentari gak bermaksud bolos kok. Saya yang minta dia bantu ngerjain tugas." Alan menunjukkan halaman bukunya.

Kedua pupil mata Mentari melebar begitu mendengar jawaban Alan. "Hah? Eng—"

Mata Chandra menatap Alan selama beberapa saat, sebelum akhirnya beralih kembali menatap Mentari. "Buat makalah tentang senam lantai dan saya ingin kamu kumpulkan besok. Dan—" Chandra membuang napas pelan menatap dua remaja yang duduk di sana. "Ikut saya ke bawah."

"Saya tadi jamkos dan nyuruh Mentari buat bantu ngerjain tugas. Dia udah bilang harus masuk di jam Bapak tapi saya yang nyuruh supaya dia tetep di sini." Alan mengangkat wajahnya dan menatap Chandra.

Mentari hampir saja berdiri saat menyadari atmosfir di sana berubah menjadi kurang menyenangkan.

"Kalau begitu kamu juga ikut ke bawah." Chandra melangkah pergi sesaat setelah mengatakannya.

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang