15. Kutukan II

165 41 7
                                    

Cuaca pagi ini begitu cerah dengan sinar matahari yang dikombinasikan dengan langit biru dan awan-awan putih bersih. Artinya, tak ada tanda-tanda akan datangnya hujan.

Mentari membuang napas. Hari yang cerah berarti dia harus mengurung diri, dan itu seperti salah satu kutukan di dalam hidupnya. Di saat yang bersamaan, dia melihat segerombolan murid memasuki lapangan di bawah sana. Entah kelas berapa, namun melihat ada Chandra ada di sana membuat Mentari yakin kalau itu adalah kelas sebelas.

"Minggu depan, kamu ikut praktik ke lapangan." Pria itu tersenyum manis, lalu menepuk pelan bahu Mentari beberapa kali sebelum akhirnya pergi.

"Sial. Kayaknya minggu depan gue beneran harus siapin mental." Mentari menatap sinis ke arah guru yang tengah mengawasi murid-muridnya yang sedang melakukan pemanasan.

"Tar, lo gak masuk?" Lala berjalan menghampiri Mentari yang masih berada di luar padahal bel jam pertama sudah berbunyi.

"Males," jawab Mentari seraya mengubah posisinya menjadi menghadap Lala.

"Kenapa sih? Cowok bernama Alan itu bikin ulah lagi sama lo?"

Mentari menggeleng.

"Terus- ah, paham gue sekarang." Lala tiba-tiba menyeringai begitu melihat pemandangan di bawah sana. "Pantesan lo dari tadi gak mau masuk. Gak tahunya lagi lihatin Pak Chandra," godanya.

"Menurut lo dia serius gak sih sama ucapannya kemarin? Sumpah ya, baru kali ini gue disuruh ikut praktik ke lapangan."

"Jadi lo gugup?"

Mentari memutar kedua matanya. "Bukan masalah gugup, tapi lo sendiri tahu kan kondisi gue kayak gimana. Kemarin aja pas berangkat sama Alan gue kayak mau sekarat, apalagi minggu depan di jam kedua. Bisa mati gue!"

"Tapi, Tar. Gue rasa Pak Chandra cuma gertak lo aja. Gak mungkin juga dia beneran nyuruh lo masuk lapangan." Lala ikut menyandarkan punggungnya.

"Entah dia itu cuma gertak atau serius, yang jelas gue gak suka sama guru yang satu itu." Mentari menghela napasnya.

***

Galang menatap kakaknya yang sedari tadi hanya diam di depan laptop yang masih menyala. Bocah itu lalu diam-diam duduk di sebelah kakaknya, menatap apa yang sedang Mentari kerjakan.

"Kirain ngerjain makalah olahraga lagi," ujarnya santai dengan mulut yang sibuk mengunyah kue cubit.

Mentari mengerjap, lalu tersadar dari lamunannya. "Gak usah ganggu."

Galang mencebik. "Oh, iya, Kak. Kenapa Kak Alan berangkat bareng Kakak terus?"

"Kenapa emang?"

"Gak sih, cuma aneh aja karena gak biasanya. Emangnya Kak Alan udah tahu kalo Kak Mentari itu vampir?"

Mentari melirik adiknya tajam, namun bocah di sebelahnya itu hanya memandangnya dengan tampang tanpa dosa.

"Udah."

"Terus dia gak takut?"

Mentari berdecak. "Kenapa juga dia mesti takut? Gue bukan vampir beneran."

"Tapi –"

"Berisik! Ganggu aja, sana pergi! Kakak banyak PR!" usir Mentari. Ia paling malas jika adiknya itu sudah ikut nimbrung setiap sedang mengerjakan tugas.

Galang memeletkan lidahnya, lalu dengan cepat pergi dari kamar Mentari sebelum sebuah bantal melayang ke kepalanya.

Ia lalu berjalan menuju halaman rumahnya dan duduk di sebuah bangku yang ada di sana. Di saat yang bersamaan, dia melihat sebuah mobil lewat dan berhenti di depan rumah Alan.

Heliophobia ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang